Manusia adalah makhluk yang unik, ia diberikan daya untuk mengembangkan potensi bawaan yang ada dalam dirinya, untuk mengembangkan potensi bawaan yang ada dalam diri manusia dapat ditempuh melalui jalur pendidikan. Potensi bawaan yang ada dalam diri mausia ini bersifat laten, maksudnya adalah potensi ini bisa berkembang dan juga tidak berkembang tergantung pada manusia tersebut, yang hal ini tentu sangat dipengaruhi berbagai faktor baik intern maupun ekstern yang melingkupinya. Potensi bawaan yang ada pada manusia ini adalah merupakan karunia dari Tuhan.
Di dalam ajaran Islam dipercaya bahwa ketika Allah mengembuskan atau meniupkan ruh dalam diri manusia, maka pada saat itu manusia memiliki potensi potensi bawaan yag berasal dari Allah, atau dengan kata lain manusia memiliki sebagian sifat-sifat ketuhanan. Adapun sifat ketuhanan yang dibawa manusia itu adalah sifat-sifat sebagaimana yang tertuang dalam al-Asma al-Husna, hanya saja kalau Allah serba Maha sedangkan manusia hanya diberikan sebagiannya saja.
Sebagian sifat ketuhanan yang menancap pada diri manusia dan dibawanya sejak lahir itulah yang disebut fitrah. Misalnya al-‘alim ( Maha Mengetahui ), manusia juga diberi kemampuan/potensi untuk mengetahui sesuatu; al-‘Afuw al-Ghafur ( Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun), manusia juga diberi kemampuan untuk memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain; al-Hadi ( Maha Pemberi Petunjuk ), manusia juga diberi kemampuan untuk mendidik atau memberi pengajaran, demikian seterusnya.
Untuk membahas teori bawaan dalam Islam, terlebih dahulu kita harus memahami proses kejadian manusia dan nilai pendidikan Islam yang terkandung didalamnya. Salah satu ayat al-Quran yang berbicara tentang proses kejadian manusia adalah Q.S. Al-Mukminun [23] ayat 12 – 14, yang berbunyi:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (14)
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah ( 12)Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)(13)Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik (14)”.
M. Quraish Shihab menyimpulkan melalui ayat ini bahwa proses kejadian manusia secara fisik / materi terdiri dari lima tahap, yaitu 1) nuthfah; (2) ‘alaqah; (3) mudlghah atau pembentukan organ-organ penting, yang dalam Q.S. al-Hajj ayat 5 ditegaskan adanya mudlghah mukhallaqah ( Mudlghah yang terbentuk secara sempurna ) dan mudlghah ghairu mukhallaqah ( mudlghah yang cacat atau tidak terbentuk secara sempurna ); (4) ‘idgham ( tulang ); (5) lahm ( daging ).
Setelah melalui berbagai evolusi tersebut, kemudian menjelma menjadi makhluk yang berbentuk lain, yang menurut istilah alQuran disebut “khalqan akhar”. Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud “Tsumma ansya’naahu khalqan akhar” adalah kemudian Tuhan meniupkan ruh kedalam diri manusia sehingga ia bergerak dan menjadi makhluk lain ( berbeda dari sebelumnya ) yang memiliki pendengaran, penglihatan, indera yang menangkap pengertian, gerakan dan sebagainya. Dari sini dapat dipahami bahwa proses kejadian manusia, baik secara fisik / materi maupun non fisik / immateri melalui enam tahap, yaitu tahap pertama ( nuthfah ) sampai tahap kelima ( lahm ) merupakan tahap fisik / materi, sedangkan tahap keenam merupakan tahap non fisik / immateri.
Dari beberapa uraian tentang proses kejadian manusia tersebut, maka dapat ditemukan nilai nilai pendidikan yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut:
Pertama, salah satu cara yang ditempuh oleh al-Quran dalam menghantarkan manusia untuk menghayati petunjuk-petunjuk Allah ialah dengan memperkenalkan jati diri manusia itu sendiri, bagaimana asal kejadiannya, dari mana datangnya dan bagaimana dia hidup. Ini sangat perlu diingatkan kepada manusia melalui proses pendidikan, sebab gelombang hidup dan kehidupan seringkali menjadikan manusia lupa, sehingga dengan pengenalan jati diri ini manusia akan tersadar dan tahu tugas mereka diciptakan oleh Allah.
Kedua, ayat ayat yang menyangkut proses kejadian manusia tersebut secara implisit mengungkapkan pula kehebatan, kebesaran, dan keagungan Allah dalam menciptakan manusia, sebagaimana ditunjukkan pula oleh Allah pada ayat-ayat lain tentang kebesaran dan kehebatan-Nya dalam menciptakan alam semesta ini. Pendidikan dalam Islam antara lain diarahkan kepada peningkatan Iman, pengembangan wawasan atau pemahaman serta penghayatan secara mendalam terhadap tanda-tanda keagungan dan kebesaran-Nya sebagai Sang Maha Pencipta.
Ketiga, proses kejadian manusia menurut al-Quran pada dasarnya melalui dua proses dengan enam tahap yaitu proses fisik / materi atau jasadi dengan lima proses dan proses non fisik / immateri dengan satu tahap tersendiri. Secara fisik manusia melalui tahap nuthfah, ‘alaqah, mudlghah, ‘idham, lahm yang membungkus ‘idham atau mengikuti bentuk rangka yang menggambarkan bentuk manusia.
Sedangkan secara non fisik / immateri yaitu merupakan tahap pengembusan / peniupan ruh pada diri manusia sehingga ia berbeda dengan makhluk lainnya. Pada saat itu manusia memiliki berbagai potensi, fitrah, dan hikmah yang hebat dan unik baik lahir maupun batin; bahkan pada setiap anggota tubuhnya, yang dapat dikembangkan menuju kemajuan peradaban manusia. Pendidikan dalam Islam, antara lain diarahkan kepada pengembangan jasmani dan rohani manusia secara harmonis, serta pengembangan fitrah manusia secara terpadu.
Keempat, proses kejadian manusia yang tertuang di dalam al-Quran tersebut ternyata semakin diperkuat oleh penemuan penemuan ilmiah, sehingga lebih memperkuat keyakinan manusia akan kebenaran alQuran sebagai wahyu dari Allah bukan hanya sekedar buatan atau ciptaan Nabi Muhammad. Pendidikan dalam Islam antara lain diarahkan kepada pengembangan semangat ilmiah untuk mencari dan menemukan kebenaran ayat-ayat-Nya.
Konsep Fitrah sebagai Teori Bawaan dalam Islam dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam
Teori bawaan di dalam Islam mengenalkan konsep fitrah. Seperti yang telah disebutkan dalam sebuah hadits “ setiap anak yang lahir, dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua oragtuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau majusi sehingga dia dapat berbicara“. Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa kondisi fitrah pada manusia ini bisa berkembang dan juga tidak berkembang (tetap tersembunyi).
Secara ringkas perkembangan keadaan fitrah ini dipengaruhi oleh lingkungan yang melingkupi manusia itu. Ketika manusia itu masih bayi dan hanya berinteraksi secara intens dengan orang tua maka orang tuanya lah yang mengembangkan fitrah anak ini, tetapi setelah anak bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas maka linkungan tersebut akan membentuknya pula.
Adapun ditinjau dari segi bahasa, fitrah berarti sifat tertentu yang mana setiap yang maujud disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia ( yang ada sejak lahir ). Sedangkan menurut alQuran surat ar-rum ayat 30, Allah menyebutkan kata fitratallohi yaitu suatu kekuatan / daya untuk mengenal / mengakui Allah ( keimanan kepadaNya ) yang menetap / menancap pada diri manusia sejak awal kejadiannya, untuk komitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepadanya, cenderung kepada kebenaran ( hanif ), dan pitensi itu merupakan ciptaan Allah.
Menurut Hasan Langgulung, ketika Allah mengembuskan atau meniupkan ruh dalam diri manusia, maka pada saat itu manusia memiliki sebagian sifat-sifat ketuhanan sebagaimana yang tertuang dalam al-Asma al-Husna, hanya saja kalau Allah serba Maha sedangkan manusia hanya diberikan sebagiannya saja. Sebagian sifat ketuhanan yang menancap pada diri manusia dan dibawanya sejak lahir itulah yang disebut fitrah. Misalnya al-‘alim ( Maha Mengetahui ), manusia juga diberi kemampuan / potensi untuk mengetahui sesuatu; al-‘Afuw al-Ghafur ( Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun), manusia juga diberi kemampuan untuk memaafkan dan mengampuni ksalahan orang lain; al-Hadi ( Maha Pemberi Petunjuk ), manusia juga diberi kemampuan untuk mendidik atau memberi pengajaran, demikian seterusnya.
Sebagian sifat-sifat ketuhanan (potensi / fitrah) itu harus ditumbuhkembangkan secara terpadu oleh manusia dan diaktualkan dalam kehidupan sehari hari, baik dalam kehidupan individu maupun sosialnya, karena kemuliaan seseorang disisi Allah lebih ditentukan oleh sejauh mana kualitasnya dalam mengembangkan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya, bukan dilihat dari aspek materi, fisik dan jasad. Islam menentang faham materialisme, dimana pandangan yang mencintai materi secara berlebihan, karena pandangan seperti itu bisa merusak pengembangan sebagian sifat-sifat ketuhanan (fitrah manusia) serta dapat mengahalangi kemampuan seseorang yang dalam menangkap kebenaran ilahiah yang bersifat immateri.
Bila ditinjau dari berbagai aspek tersebut, maka fitah manusia ada banyak macamnya, yang terpenting di antaranya yaitu: 1) fitrah bergama: fitrah ini merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk selalu pasrah, tunduk dan patuh kepada Tuhan. Fitrah ini merupakan sentral yang mengarahkan dan mengontrol perkembangan fitrah-fitrah lainnya. 2) fitrah berakal budi: fitrah ini merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk berfikir dan berdzikir dalam memahami tanda-tanda keagungan Allah, berkreasi berbudaya, serta memahami persoalan dan tantangan hidup yang dihadapinya dan berusaha memecahkannya; 3) fitrah kebersihan dan kesucian: fitrah ini merupakan potensi bawaan yang mendorong manusia untuk selalu berkomitmen terhadap kebersihan dan kesucian diri dan lingkungan; 4) fitrah bermoral / berakhlak; 5) fitrah kebenaran; 6) fitrah keadilan; 7) fitrah persamaan dan persatuan; 8) fitrah individu; 9) fitrah sosial; 10) fitrah seksual; 11) fitrah ekonomi; 12) fitrah politik; 13) fitrah seni.Fitrah manusia tersebut harus ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayat.
Selain teori bawaan dalam Islam ada beberapa teori bawaan yang dirumuskan oleh para ilmuwan barat, yang bisa kita jadikan perbandingan dan temukan relevansinya terhadap pendidikan Islam, di antaranya adalah sebagai berikut:
Teori Tabula Rasa John Locke
Teori Tabula Rasa (John Locke dan Francis Bacon) Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi (a sheet ot white paper avoid of all characters). Jadi, sejak lahir anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Di sini kekuatan ada pada pendidik. Pendidikan dan lingkungan berkuasa atas pembentukan anak.
Pendapat John Locke seperti di atas dapat disebut juga empirisme, yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui alat indera. Kaum behavioris juga berpendapat senada dengan teori tabula rasa itu. Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan, atau sifat-sifat yang turun-temurun. Semua Pendidikan, menurut behaviorisme, adalah pembentukan kebiasaan, yaitu menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam lingkungan seorang anak.
Teori Navitisme (Schopenhauer)
Teori nativisme merupakan lawan dari empirisme. Nativus (latin) berarti karena kelahiran. Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak sejak dilahirkan sudah mempunyai berbagai pembawaan yang akan berkembang sendiri menurut arahnya masing-masing. Pembawaan anak-anak itu ada baik dan ada yang buruk. Pendidikan tidak perlu dan tidak berkuasa apa-apa. Aliran Pendidikan yang menganut paham nativisme ini disebut aliran pesimisme. Sedangkan yang menganut empirisme dan teori tabula rasa disebut aliran optimisme.
Kedua teori tersebut ternyata berat sebelah. Kedua teori tersebut ada benarnya dan ada pula yang tidak benarnya. Maka dari itu, untuk mengambil kebenaran dari keduanya, William Stern, ahli ilmu jiwa bangsa Jerman, telah memadukan kedua teori itu menjadi satu teori yang disebut teori konvergensi.
Teori Konvergensi (William Stern)
Menurut teori konvergensi hasil pendidikan anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pembawaan dan lingkungan. Diakui bahwa anak lahir telah memiliki potensi yang berupa pembawaan. Namun pembawaan yang sifatnya potensial itu harus dikembangkan melalui pengaruh lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan, oleh sebab itu tugas pendidik adalah menghantarkan perkembangan semaksimal mungkin potensi anak sehingga kelak menjadi orang yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, nusa, dan bangsanya.
Hak negara terhadap pengajaran dan pendidikan juga diterimanya dari Tuhan (bukan negara polisi atau totaliter), seperti hak orang tua terhadap anaknya. Tetapi, hak itu bukan karena kedudukannya sebagai orang tua, melainkan karena gezag atau kekuasaan yang menjadi milik negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsanya, yang sudah menjadi tujuan negara itu sendiri.
Negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi warga negaranya, sesuai dengan dasar-dasar dan tujuan negara itu sendiri, yaitu mengatur kehidupan umum menurut ukuran-ukuran yang sehat sehingga menjadi bantuan bagi pendidikan keluarga dan dapat mencegah apa-apa yang merugikan perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya.
Apabila keluarga tidak mungkin lagi melaksanakan pendidikan seluruhnya (misalnya pendidikan kecerdasan, pengajaran, dan sebagian dari pendidikan sosial ; perkumpulan anak-anak), disitulah negara, sesuai dengan tujuannya, harus membantu orang tua dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dan badan-badan sosial lainnya. Demikian juga, negara berhak dan berkewajiban melindungi anak-anak, bila kekuatan orang tua – baik material maupun moral – tidak dapat mencukupi, misalnya karena kurang mampu, tidak sanggup, atau lalai.
Jadi, jelas di sini bahwa hak orang-orang itu tidak mutlak. Hak itu terikat oleh hukum alam dan hukum Tuhan, dan pendidikan itu harus pula sesuai dengan kesejahteraan umum. Tetapi, hak negara yang demikian (turut campur tangan) tidak untuk menduduki tempat orang tua, namun hanya untuk menambah yang kurang saja. Apabila perlu – misalnya, hak orang tua itu dicabut (gila dan sebagainya) – negara harus berusaha memberikan pendidikan kepada si anak, yang sedapat-dapatnya mendekati pendidikan keluarga si anak atau menyerahkan anak itu pada keluarga lain, tidak perlu menjadikan anak milik negara.
Lebih lanjut, negara harus berusaha dan memberi kesempatan agar semua warga negara mempunyai pengetahuan cukup tentang kewajiban-kewajiban sebagai warga negara dan sebagai anggota bangsa yang mempunyai tingkat perkembangan jasmani dan rohani yang cukup, yang diperlukan untuk kesejahteraan umum (pendidikan kewarganegaraan), dan tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan yang berlaku di negara yang bersangkutan. Negara berhak memiliki sendiri apa yang perlu untuk pemerintahan dan untuk menjamin keamanan, juga untuk memimpin dan mendirikan sekolah-sekola diperlukan untuk mendidik pegawai-pegawai dan tentaranya, asal pemimpin ini tidak mengurangi hak-hak orang tua.
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment