Mengenal Tradisi Penamaan Hari dan Bulan dalam Islam

Penamaan nama bulan-bulan di atas menjadi bagian bulan Islam dengan meneruskan tradisi sebelumnya dan Islam memberikan nuansa baru dengan ciri khas tersendiri. 3 min


-2
gambar: pasberita.com

Tahun baru umat Islam 1 Muharram 1441 H bertepatan dengan tanggal 1 September 2019. Penetapan tahun baru ini  dalam sejarahnya dimulai sejak masa Umar ibn al-Khattab sebagai khalifah al-rasyidin ke dua setelah megalami kesulitan dalam administrasi persuratan. Pelaksanaan penghitungannya mundur dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw. ke Madinah. Adanya kalender Islam ini menyisakan beragam pertanyaan terkait penamaan hari dan bulan di dalamnya.  Islam sebagai agama terakhir yang diturunkan oleh Allah swt. apakah mengadopsi beragam system yang ada sebelumnya ataukah menciptakan sendiri tentang penamaan hari dan bulan sebagaimana dalam tahun Hijriyah.

Berbicara tentang penanggalan akan sampai pada penamaan hari-hari dan bulan dalam setiap  minggunya dan bulannya selama setahun hitungannya. Hal tersebut menghasilkan konsep penamaan hari dalam setiap minggunya seminggu selama tujuh hari dalam sepekan terdapat penamaan khusus. Demikian juga terhadap penamaan bulan-bulan dalam setiap bulannya yang jumlahnya sebanyak dua belas. Kedua tatanan dalam penanggalan tersebut berawal dari beragam tradisi yang berkembang sebelum Islam.

Pola akulturasi leksikal dalam penamaan hari merupakan sebuah keniscayaan dalam sejarah. Konsep yang ada adalah gabungan dari bahasa dari bahasa Arab, Inggris, Prancis, Portugis dan Spanyol. Bahasa-bahasa tersebut menjadi bagian nama hari-hari yang berkembang sekarang. Hal tersebut diungkapkan oleh Cecil H. Brown yang telah melakukan survey atas 148 bahasa. Sehingga menururnya paling tidak ada empat pola yaitu adopsi berdasar kontak bahasa, kemudian menerjemahkannya dan memperluasnya serta membuat pola yang baru. Dengan demikian, penamaan hari merupakan kolaborasi akulturasi bahasa dari yang sederhana melalui terjemah kemudian menjadi nama baru.

Nama hari dalam tradisi Arab bukan merupakan nama melainkan nomor urutan. Hal tersebut dijelaskan  oleh Nachum Dershowitz dan Edward M. Reingold. Sebagai ututan pertama adalah al-ahad yang berarti satu sebagai urutan nomor yang pertama. Hal tersebut juga berlaku pada nama hari kedua, ketiga dan keempat yang dalam bahasa Arab dikenal dengan al-isnain, al-sulasa, al-arbi’ah dan al-khamis. Nama-nama tersebut adalah senin, selasa, rabu dan kamis. Dengan demikian, nama-nama hari dalam tradisi Arab berasal dari angka nomor urut.

Pola penamaan di atas berbeda dengan hari ke enam dan ke tujuh. Nama keenam adalah al-jumu’ah dan ke tujuh adalah al-sabt. Hari Jum’at sebagai penamaan dari hari keenam (al-sadis) merupakan adopsi dari peristiwa di Madinah yang umat Islam berkumpul pada rumah seorang sahabat untuk mejalankan ibadah bersama-sama berkumpul dan menjadikan istilah jumu’ah. Hal tersebut sebagai informasi dari Mahmud al-Alusi (w. 1270 H.).  Hari sabtu adalah nama tersebut adalah pinjaman dari kata shabbath dalam tradisi Yahudi yang bermakna istirahat. Dengan demikian, nama dua hari terakhir beraal dari adaptasi peristiwa penting dalam Islam dan Yahudi.

Hal di atas sesuai dengan kebiasaan sebelum Islam dan Islam memberikan nuansa baru sebagaimana dalam sumber ajarannya. Q.S. al-Tawbah (9): 36 menjelaskan hitungan bulan yang di dalamnya terdapat bulan haram. Tradisi penghormatan bulan-bulan tersebut terdapat dalam sejarah sebelum Islam dan Islam memuliakannya dengan beragam ajaran kebaikan  di dalamnya.

Di awal penetapan sebagai kalender Islam, awal bulan di dalamnya melahirkan beragam pendapat. Setidaknya terdapat  tiga  pendapat yakni diawali bulan Muharram, Rajab, Ramadhan atau Haji. Muharram adalah nama bulan di awal dalam tradisi Arab, sedangkan Rajab merupakan bulan agung yang dimuliakan pada masa sebelum Islam. Bulan mulainya Hijrah Nabi saw. Rabi’ al-Awwal. Namun, yang dipilih adalah Muharram  sesuai uslan Usman ibn Affan.

Muharram sebagai awal bulan di tahun hijriyah juga didukung oleh dalil normatif. Hal tersebut sebagaimana dalam pemafsiran Q.S. al-Fajr di dalamnya adalah fajr bulan Muharram yakni awal tahun baru. Tafsir tersebut disebutkan oleh Ibn Abbas (w. 78 H.). sebagaimana ungkapan al-Tabari dalam kitabnya Tarikh al-Umam wa al-Mulk.

Urutan bulan-bulan dalam tahun hijriyah juga mengikuti tradisi sebelum Islam. Kedua belas bulan tersebut adalah muharram, safar, rabi’ al-awwal, rabi’ al-akhir, jumada al-awwal dan jummada al-akhir, rajab, sya’ban, ramadhan, syawwal, dzul qo’dah dan dzul hijjah. Penamaan dan urutan di dalamnya memiliki makna yang terkait tradisi di dalam sebelum Islam dan Islam memberikan makna tersendiri.

Makna nama bulan-bulan di atas dapat beragam sesuai  kebiasaan yang ada. Muharram sebagai bulan haram yang dalam tradisi sebelumnya pra Islam selalu ada hal yang dimanipulasi. Safar sebagai ungkalan kosong di mana pada masa itu mereka bepergian untuk perang sehingga rumah mereka sepi dan kosong tidak berpenghuni. Rabi’ adalah dari kata al-irtiba’ yang berarti musim semi. Hal tersebut jika Rabi’ al-Awwal maka mulai nesim semi dan rabi’ al-akhir adalah akhirnya musim semi.

Rajab artinya bulan yang agung dan dihormati masyarakat. Sedangkan bulan sya’ban berarti beraneka macam. Dalam bulan tersebut sudha boleh mengadakan peperangan dan karenanya dalam bulan tersebut lahirlah banyak serangan. Untuk ramadhan pasa awalnya bermakna panas yang memiliki cuasa yang panas. Sawwal bermakna meningkat dan dzul qo’dah nermakna duduk dari kata qu’ud yang dimaksud adalah diam diri setelah berperang yakni istirahat. Khusus dzul hijjah bermakna waktu pelaksanaan haji.

Penamaan nama bulan-bulan di atas menjadi bagian bulan Islam dengan meneruskan tradisi sebelumnya dan Islam memberikan nuansa baru dengan ciri khas tersendiri. Hal tersebut seperti adanya tradisi puasa di bulan Ramadhan atau bulan lain. Terjadi beragam tradisi yang mengitari dalam bulan-bulan dalam setiap tahunnya. Sebagaimana dalam Q.S. al-Tubah (9): 36 terdapat empat bulan yang merupakan bukan yang mulia. Salah satu keempat bulan tersebut adalah bulan Muharram. Sebuah bulan di awal tahun kalender hijriyah.

Sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a. dari Imam Muslim menjelaskan tentang puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Allah yakni bulan Muharram dan salat yang paling utama setelah salat wajib lima waktu adalah salat tahajjud atas salat lail. Hadis tersebut diriwayatkan oleh para ahli hadis lain dalam Imam Nasa’i, Imam Turmuzi dan Imam Ahmad. (MAS)


Like it? Share with your friends!

-2
Dr. H. Muhammad Alfatih Suryadilaga, S.Ag. M.Ag. (alm.)
Almarhum Dr. H. Muhammad Alfatih Suryadilaga, S.Ag. M.Ag. adalah Wakil Dekan Bidang Akademik Fak. Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga (2020-2024). Beliau juga menjabat sebagai Ketua Asosasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA) dan Ketua Yayasan Pondok Pesantren al-Amin Lamongan Jawa Timur. Karya tulisan bisa dilihat https://scholar.google.co.id/citations?user=JZMT7NkAAAAJ&hl=id.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals