Al-Ghazali merupakan orang yang sangat produktif. Karyanya sangat banyak, mulai dari kitab yang tertebal sampai yang tipis. Di salah satu karyanya, beliau pernah menulis kitab yang berjudul Asrar al-Siyam (Rahasia Puasa). Dalam kitab tersebut secara umum al-Ghazali meringkas tentang hakikat dan hikmah puasa.
Puasa adalah seperempatnya keimanan di antara seluruh level keimanan manusia. Dalam hal ini al-Ghazali mengambil dua dari hadis Nabi tentang “puasa itu setengah dari kesabaran dan kesabaran adalah setengah dari keimanan”, dari situlah beliau menyimpulkan, oooh, berarti puasa itu seperempatnya keimanan.
Kenapa demikian? Karena puasa memiliki keistimewaan, bahwa puasa itu jika dibandingkan dengan barang yang ada di bumi ini, di alam semesta ini, dia seperti Masjidil Haram. Masjidil Haram adalah bait Allah, padahal semua bumi dan alam semesta ini adalah milik-Nya, tetapi Masjidil Haram disebut sebagai baitullah (rumah Allah) karena diistimewakan. Seperti itulah istimewanya puasa dibanding ibadah-ibadah yang lain.
Dalam kitab Asrar al-Siyam, al-Ghazali menyebutkan salah satu hadis yang berbunyi “Sesungguhnya setan itu berjalan masuk ke dalam diri manusia melalui aliran darah, maka sempitkanlah aliran darah manusia dengan lapar”. Dari sini memiliki arti bahwa setan akan sulit mempengaruhi manusia jikalau manusia tersebut dalam kondisi lapar, yaitu dalam keadaan berpuasa.
Dalam banyak filosofi menyebutkan bahwa manusia itu sering dikuasai oleh nafsunya, dan nafsu tersebut bisa melemah jika kondisinya dalam keadaan lapar. Maka itulah mengapa Allah melatih manusia untuk melaparkan diri di bulan puasa ini, yaitu dalam rangka agar manusia tidak selalu disetir dan dikungkung oleh hawa nafsunya.
Dalam hal ini terkhusus untuk kaum muda, tidak harus menunggu nanti, lusa ataupun tua untuk menjadi orang baik, untuk melatih nafsu, karena dalam sebuah hadis meyebutkan bahwa Allah membanggakan anak muda di hadapan malaikatnya yang mampu melatih hawa nafsunya.
Al-Ghazali juga meneyebutkan dalam Asrar al-Siyam bahwa puasa itu mempunyai berbagai dimensi dan akan sangat baik jika semuanya terpenuhi. Pertama, dimensi kepatuhan, bahwa puasa itu menunjukkan kepatuhan kita kepada Allah. Kedua, dimensi riyadah, bahwa puasa itu adalah saat yang tepat untuk kita melatih dan melakukan riyadah dalam menaklukkan hawa nafsu lahir dan batin.
Ketiga, puasa adalah pengorbanan dan persembahan kepada Allah, puasa adalah mengorbankan enaknya fisik, nyamannya ruhani demi menjalankan perintah Allah. Keempat, puasa adalah penyucian jiwa (tazkiyat an-nafs), dengan berpuasa bisa dijadikan ajang untuk melatih ruhani dari hasrat duniawi. Kelima, puasa adalah perjuangan, jihad, mujahadah, Rasulullah menyebutkan bahwa jihad yang paling besar adalah jihad menaklukkan diri sendiri, menaklukkan hawa nafsu.
Keenam, puasa adalah keikhlasan, di mana puasa adalah ibadah yang hanya diketahui oleh diri sendiri, puasa tidak bisa dipamerkan dan ditunjuk-tunjukkan, hanya Allah yang tahu manusia tersebut benar-benar berpuasa atau tidak, maka dari situ puasa memiliki dimensi keikhlasan. Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan bahwa puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalas, karena hanya Aku yang tahu apakah puasa itu ikhlas atau tidak.
Dimensi terakhir dari puasa bahwa puasa adalah hikmah dan i’tibar. Dari puasa banyak sekali hikmah dan i’tibar yang bisa terambil. Puasa mengajari tentang kelemahan manusia, mengajari bahwa dimensi ruhani itu sangat penting dalam dimensi beragama, puasa mengajarkan bagaimana hidup untuk tidak disetir oleh hawa nafsu, puasa mengajari tentang kelemahan dan keterbatasan kita sebagai manusia.
Puasa juga mengajarkan kepekaan dan kepedulian sosial, dengan berpuasa kita jadi tahu ada banyak orang yang masih menderita, masih sengsara terkhusus mereka yang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam mencari makan dan itulah yang kita rasakan sendiri secara langsung saat berpuasa.
Dengan ini, akan sangat baik jika semua konteks puasa tersebut bisa diwujudkan. Sehingga puasanya semakin tahun semakin meningkat kualitasnya dan tidak sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa ada orang yang berpuasa fisiknya, jasmaninya, namun tidak berpuasa ruhaninya, maka sungguh manfaat puasa tidak didapatkan sepenuhnya, dan Allah tidak membutuhkan puasa yang seperti itu. Naudzubillah…
0 Comments