Pada mulanya kegotongroyongan dan kesukarelaan warga adalah komponen pendukung yang selalu dilibatkan negara dalam urusan perjuangan meraih kemerdekaan. Pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, juang-gumul bersama demi mengusir mereka yang merampas kemerdekaan.
Mimpi Indonesia merdeka, membawa warga ke medan perang, masuk organisasi tentara, atau sekadar memendam kebencian hingga pada saatnya meledak menjadi semangat juang yang membara. Heroisme mereka terekam dalam yel-yel “Belanda kita seterika, Inggris kita linggis”.
Suryadi (2011), mengatakan penjajah yang datang silih berganti tidak menghapus mimpi warga, bahkan menjadi adrenalin yang memompa keberanian untuk tampil—minimal menyemai—mereka yang merampas kemerdekaan.
Kini kita semua telah sampai pada saat yang berbagia yakni hidup merdeka dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, penting bagi segenap kewargaan memanfaatkan kesempatan yang berbahagia ini untuk merawat hidupnya masing-masing. Namun jauh lebih penting, memiliki “rasa tanggung jawab merawat hidup bersama”.
Setiap problem yang mengemuka di era kekinian mesti diselesaikan secara saksama dan diharapkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Mengingat republik yang kita pijak adalah milik bersama, yang hari-hari ini kerap dililit problem politik. Tengok pewartaan di media, para elit parpol dan relawan saling menyerang dan bertahan menggunakan “berodongan kata-kata bernada nyindir bahkan fitnah”.
Beragam acara televisi nasional yang diharapkan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa justru terjebak dalam kepentingan politik. Kajian Prasetiyo (2016), mengonfirmasi hal dimaksud bahwa peran media massa telah terkontaminasi dengan kepentingan politik dan standar ganda sehingga hanya berita-berita yang menguntungkan pihak tertentu, mendapat porsi besar dalam pemberitaanya.
Jangan heran bila ada kebenaran yang berat sebelah dalam sebuah pemberitaan tentang politik di media. Lebih dari itu, konsep politik yang mendewaskan segenap kewargaan hanya ada di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan yang diatur para broker.
Keragaman bangsa yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Kasih telah dijadikan ikon politik sehingga simbol-simbol agama dan etnik menjadi identitas politik yang penting. Landscape Nusantara telah dikotak-kotakkan menurut kamus kepentingan masing-masing, sehingga kepentingan pribadi telah diletakkan di atas kepentingan bangsa.
Suryadi (2011), mengeluhkan hubungkan antarelemen bangsa yang selama berpuluh-puluh tahun rukun tercabik-cabik. Sentimen antaretnik dan agama yang dibangkitkan kelompok yang bernafsu memancing di air keruh telah menjadikan Indonesia yang majemuk ibarat hamparan rumput kering yang mudah terbakar. Tak pelak lagi, integritas Indonesia hanyalah diikat seutas tali yang amat rapuh.
Kehidupan berdemokrasi yang semestinya menjadi wahana untuk saling menguatkan dan menyatukan kekuatan melawan musuh bersama justru berubah menjadi wahana saling menjatuhkan dan menyingkirkan. Demokrasi dan hak-hak sosial dikapling berdasarkan status kepribumian, atau asal-usul genologis.
Secara politik, menurut Thomas Hobes dalam Levianthan (1651), manusia adalah serigala antar sesamanya (homo homini lupus), itulah yang diusung sebagai konsep utama teorinya. Mengingat bahwa manusia pada dasarnya hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak milik, sehingga akan menjurus pada perang antar semua melawan semua.
Gara-gara politik kawan bisa jadi lawan, dan lawan bisa jadi kawan. Kemarin sore para elit parpol dan relawan bisa duduk bersama bertukar ide soal kepentingan politik sampai pada urusan “titik dan koma” rancangan visi-misi ke depan, besok paginya bisa saling berseberangan soal kepentingan itu. Bahkan menggunakan cara-cara santun mereka saling menginjak ke bawah, menjilat ke atas, dan menyikut ke samping. Semuanya bisa terjadi dalam hitungan detik tergantung iklim kepentingan politik.
Cara Merawat
Sebagai warga negara yang baik dan cerdas (smart and good citizen) mesti hidup dengan tujuan yang positif yakni merawat hidup bersama. Jangan lupa pada sistem demokrasi kita yang membuka ruang kebebasan bagi berbagai aspirasi dan partisipasi warga. Merawat hidup bersama hendaknya dilakukan melalui beragam cara seperti berikut.
Kesatu, mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan. Tetap bersatu walaupun dalam banyak hal kita berbeda. Perbedaan bukanlah alasan untuk saling memusuhi, saling menjatuhkan, saling memfitnah apalagi saling membantai. Justru perbedaanlah yang menjadi kekuatan bagi bangsa untuk bersatu melawan musuh bersama.
Kedua, menunggang pada budaya gotongroyong demi menggapai mimpi Indonesia yang adil dan makmur. Segenap kewargaan hendaknya sama dapat, sama rasa, dan bahu-membahu membangun perekonomian negara. Sambil mencegah perkembangbiakan musuh bersama seperti KKN, teroris, narkoba, illegal logging, illegal fishing, trafficking, hoax, hate speech dan lainnya.
Ketiga, merawat akal sehat menjadi mutlak agar setiap pendapat selalu mendapat tempat dalam setiap perdebatan. Pepatah Itali mengingatkan: “Bila akal sehat tertidur, maka para monsterlah yang menguasai malam”.
Meminjam kalimat Rocky Gerung, marilah merawat Republik dengan akal sehat, agar para monster tidak menguasai malam, agar kita dapat nyenyak sepanjang malam. Warga mesti dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka berargumen dan diwajibkan “melihat dunia” melalui “kecerdasan” dan “perdamaian”.
Meski bukan perkara mudah untuk menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab merawat hidup bersama, namun sebagai bangsa yang besar mesti optimis bahwa selalu ada orang baik, yang terus berusaha, berikhtiar, dan bekerja untuk menghadirkan perbaikan bagi semua, karena bagi mereka apapun yang terjadi republik harus tetap berdiri.***
0 Comments