Kesantunan Lisan dan Bina-Damai Antar Umat Beragama

Perdamaian antara umat manusia, terlebih antar penganut agama-agama merupakan syarat mutlak dari terwujudnya peradaban yang mulia.1 min


Sumber gambar: Kanalinspirasi.com

Perdamaian antara umat manusia, terlebih antar penganut agama-agama merupakan syarat mutlak dari terwujudnya peradaban yang mulia. Jika perdamaian ini tidak bisa terwujud, maka kekacauan dan bencana kemanusian akan mewabah.

Konflik yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika merupakan bukti nyata tidak terwujudnya perdamaian antar manusia. Banyak yang harus menjadi korban. Mulai dari stabilitas negara hingga darah manusia. Sehingga, sudah menjadi kewajiban semua manusia mewujudkan perdamaian.

Rusaknya perdamaian umumnya terjadi karena tindakan-tindakan yang tidak terpuji, seperti ucapan-ucapan kotor. Sehingga dapat menimbulkan gesekan antar kelompok dan bisa menyulut konflik. Ucapan-ucapan kotor ini di antarnya seperti fitnah, dusta serta ejekan.

Ucapan memang tidak memiliki wujud seperti pedang yang bisa melukai kulit. Namun ucapan kotor dapat menyinggung perasaan dan membuat orang lain sakit hati, terlebih jika sasarannya adalah kepercayaan atau agama seseorang. Maka hal ini bisa memicu konflik antar umat agama.

Dalam Islam banyak nas yang menjadi rambu-rambu agar manusia tidak tergelincir lisannya pada ucapan yang kotor atau ejekan pada kepercayaan atau agama lain. Salah satunya adalah QS. Al-An’am: 108 yang berbicara tentang larangan bagi umat Islam menghina sesembahan agama lain. Ayat ini salah satu bukti bahwa Islam berusaha menutup segala kemungkinan konflik yang ditimbulkan dari ucapan yang tidak baik.

Para mufasir memberikan beragam penjelasan atas ayat ini. Salah satunya, al-Nasafi menjelaskan bahwa larangan dalam ayat ini diberlakukan agar Allah tidak menjadi bahan hinaan penganut agama lain karena umat Islam sendiri menghina sesembahan mereka. Larangan ini secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya konflik yang lebih besar. Terlebih isu-isu agama merupakan hal yang sangat sensitif.

Beberapa mufasir kenamaan Indonesia juga melakukan penafsiran atas ayat ini. Salah satunya adalah Buya Hamka yang menulis Tafsir Al-Azhar, suatu karya tafsir yang sangat kental dengan nuansa keindonesiaan. Beliau berpendapat bahwa daripada menghina atau mencaci, lebih baik menunjukkan secara logis bagaimana keburukan menyembah berhala.

Selain ayat di atas, pentingnya menjaga lisan juga disingung oleh Nabi Muhammad dalam hadisnya. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya No. 10, Nabi bersabda al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi, muslim sejati adalah seseorang yang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.

Dari Hadis ini dapat dipahami bahwa ketidak-terjagaan lisan seseorang itu bisa berakibat buruk pada pihak lainnya. Seperti merasa menghina, mengolok-olok maupun memfitnah. Terlebih jika yang menjadi sasaran adalah sesembahan atau ajaran agama lain. Maka hal ini dapat menimbulkan mudharat yang lebih serius.

Terlepas dari beberapa hal di atas, sejatinya memang setiap penganut agama tidak menjadikan sesembahan agama lain sebagai bahan olok-olok. Pada aspek yang lebih luas, hal ini juga termasuk larangan mengolok-olok ajaran agama lain. Sehingga, keharmoninasan dan kerukunan antar penganut agama dapat terjamin. Hal ini akan sangat membantu dalam terjaganya stabilitas keamanan suatu negara, baik negara tersebut berbentuk republik, monarki atau lainnya.


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
0
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Fahrudin

Warrior

Alumni Prodi IAT IAIN Jember. Sekarang sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals