Secara faktual, bangsa Indonesia dengan Pancasilanya adalah bangsa religius. Mereka memeluk berbagai agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan aliran kepercayaan. Ironisnya, salah satu lembaga keagamaan kita terdahulu pernah mengeluarkan fatwa tentang pengharaman terhadap pluralisme.
Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan semua agama sama. Kita semua mengakui dan menyadari, bahwa setiap agama mempunyai ajaran yang berbeda-beda. Tetapi, perbedaan tersebut bukanlah alasan untuk menebarkan konflik dan perpecahan. Perbedaan justru dapat dijadikan sebagai katalisator untuk memahami anugerah Tuhan yang begitu nyata agar senantiasa terajut keharmonisan dan toleransi.
Pada abad ini, umat manusia bisa dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kata lain, manusia kini dianggap telah dewasa sehingga dapat menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar, dan tidak perlu lagi dipaksa-paksa seperti orang yang belum dewasa. Oleh karena itu, Tuhan tidak lagi mengirimkan Rasul untuk mengajari mereka tentang kebenaran lagi. Deretan Nabi dan Rasul sudah ditutup dengan kedatangan Nabi Muhammad, lengkap dengan dasar-dasar pokok ajaran yang terus mampu dikembangkan sesuai zaman dan tempat.
Baca Juga: Jejak Langkah Strategi Dakwah Rasulullah di Madinah |
Bisa kita contoh, dalam satu masa seorang Presiden Iran bersikap toleran terhadap umat Kristen dalam acara Natal. Tentang pesan natal Presiden Rafsanjani, dimuat dalam buku “Pintu-pintu Menuju Tuhan” karya Nurcholis Madjid.
Sebagian dari pesan Presiden Iran itu mengandung beberapa hal yang patut untuk kita teladani dan renungkan maknanya, karena sangat kontekstual dengan Indonesia masa kini:
“Masa ini, ketika tirai besi sistem kepalsuan komunisme mulai runtuh satu persatu, dan dunia Barat maupun Timur mulai merasakan sebagian hukuman Tuhan berupa buah pahit penyelewengan moral serta azab atas hilangnya cita-cita kemanusiaan sejati, maka jalan satu-satunya agar selamat dari berbagai kesengsaraan dan penderitaan batin adalah membina hubungan dengan para pribadi suci dan berpegang dengan tali yang kukuh dari para Nabi dan Wali.”
“Sudah sepatutnya bagi kaum bebas untuk berjuang menegakkan keadilan dan mencari kekuatan dalam ajaran-ajaran yang menjamin keselamatan, yang berasal dari agama-agama Ketuhanan untuk melapangkan jalan menuju kebahagiaan abadi. Hendaknya jangan lagi ada kesempatan bagi munculnya materialisme lain sebagai ganti materialisme Marxis yang bertentangan dengan kebahagiaan hakiki umat manusia itu.”
“Sebagaimana para Nabi saling mendukung kebenaran satu sama lain, maka para penganut semua agama samawi, khususnya para warga Negara kita yang beragama Kristen, mempunyai hak untuk dimuliakan, dihormati dan didukung oleh Pemerintahan Islam (Iran). Kami berdoa kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa untuk kebahagiaan dan keselamatan kaum Tauhid (para penganut monoteisme) dari semua hamba Allah, dengan harapan semoga tahun baru ini menjadi tahun kebaikan, berkah, kemakmuran, dan kesentosaan bagi seluruh umat Kristen dunia.”
Begitulah kutipan pesan Natal seorang kepala Negara Islam. Alangkah tepatnya seruan Rafsanjani agar semua mereka yang mengaku sebagai penganut agama yang benar bersatu melawan kezaliman dan penindasan, tanpa memandang siapa yang tertindas dan siapa pula yang menindas. Sebab prinsip menegakkan keadilan yang tidak bisa ditawar-tawar dan jika seruan itu bisa dibenarkan dalam kerangka hubungan antara berbagai agama, maka lebih-lebih lagi harus diwujudkan dalam kerangka hubungan intra-Islam, yakni kalangan kaum Muslim sendiri.
Baca Juga: Natal dan Atmosfer Kebudayaan Masyarakat Indonesia |
Pelembagaan prinsip kebebasan beragama pertama kali dibuat oleh Rasulullah. Sesudah beliau hijrah ke Madinah dan harus menyusun masyarakat majemuk guna mengakomodir masyarakat non Muslim. Maka dari itu, prinsip kebebasan beragama adalah kehormatan bagi manusia dari Tuhan, karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Hal itu diingatkan dalam Q.S. 10:99 “Walau seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua?!” Tentu tidak perlu lagi ditegaskan bahwa semua resiko pilihan itu adalah tanggung jawab sepenuhnya manusia sendiri.
Oleh sebab itu, perbedaan dan keragaman merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Apalagi dalam perbedaan dan keragaman tersebut tersimpan keistimewaan, yang mana antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain bisa saling mengisi dan menyempurnakan.
Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments