Di sela-sela mengerjakan tugas akhir saya mau curhat sedikit tentang fenomena yang cukup bagus. Langsung saja ceritanya ya.
Beberapa hari lalu, di kampus saya ada gerakan pembela hak-hak mahasiswa. Sebut saja Aliansi Mahasiswa. Gerakan ini cukup bagus untuk sebuah ‘grasak-grusuknya’ pikiran mahasiswa yang sedang kena sentuhan jiwa aktivis. Iya semacam aktivis 98 itu. Jiwa-jiwa semacam Sue Hok Gie berhasil merasuk ke alam pikir mereka.
Walaupun gerakan dimulai dari propaganda media, Aliansi Mahasiswa adalah percontohan yang sukses dari aktivis milenial era post-truth abad 21 yang aktivitasnya memang harus memanfaatkan media sosial untuk ‘demo kampus’. Sasarannya bukan lagi kaca atau bangku supaya rusak, tapi langsung menyasar kepada eksistensi seseorang. Sekali tarik pelatuknya; Dooorrr.. Hancur…
Baca juga: “Meme” Sebagai Metode Gerakan Baru Mahasiswa Milenial
Fenomena menarik yang perlu saya tuliskan juga ialah ketika virus Corona memaksa kampus tunduk pada segala macam aturan yang dibuat pemerintah. Banyak kampus di berbagai wilayah di Indonesia ‘merumahkan’ mahasiswanya. Asyik memang jika dilihat selayang pandang. Seperti bakalan rebahan dan tidur nyenyak di rumah sambil tidak memikirkan tugas apapun.
Namun anggapan seperti itu ternyata salah besar. Merumahkan mahasiswa bukan berarti terputus dari segala ikatan belajar-mengajar. Kalau kata teman saya, ternyata lebih berat kuliah daring dibandingkan secara konvensional. Tugas berseliweran di sana-sini. Kelas daring juga bikin pusing.
“Kampus harusnya peduli dengan kantong kering kami!” ucap salah satu mahasiswa. Gelombang protes akhirnya bermunculan di sana-sini.
Baca juga: Mahasiswa Kupu-Kupu Juga Aset Bangsa
Sampai akhirnya, Ujian Tengah Semester hadir di tengah-tengah mereka. Jelas! Banyak yang menolak karena himbauan physical distancing menghalangi mereka untuk keluar sekedar beli kouta atau membayar biaya administrasi. Ada juga yang beralasan karena sudah pulang ke rumah, yang letaknya sangat jauh dari kampus. Ya kalau pakai jalan kaki bisa satu mingguan kira-kira. Yang sudah pasti bakal kena tangkap petugas medis. Terus dianggap ODP atau PDP. Keluar kota tanpa ijin? Oh. Bukan pilihan tepat.
Di saat kesulitan seperti ini menghantui, relevansi aktivis dengan baju aliansinya segera ditemukan. Aliansi Mahasiswa ini mendesak kampus untuk membuat toleransi kepada para mahasiswa. Intinya aja sih, supaya mahasiswa tetap bisa ikut Ujian Tengah Semester tanpa syarat administrasi.
Jreng! Benar saja. Kampus mengabulkan desakan aliansi mahasiswa ini. Pihak aliansi girang tiada terkira mengerti desakan dikabulkan. Padahal sudah mafhum bagi mahasiswa aktivis kalau setiap desakan apapun pasti mengalami kesulitan untuk dikabulkan. Agaknya dalam hati mereka “ini satu langkah lebih maju dibanding ekspektasi.”
Baca juga: Menjaga Eksistensi Gerakan Mahasiswa
Mahasiswa juga akhirnya bahagia. Sepakat dengan tuntutan aliansi mahasiswa untuk ‘semua bisa ikut Ulangan Tengah Semester tanpa syarat administrasi’. Bagi mahasiswa, aliansi ini menjadi representasi paling cocok hari ini. Istilah kerennya ya tempat paling cocok untuk sambatan.
Fenomena Corona, Aliansi Mahasiswa dan problematika yang hadir di dalamnya merupakan hal unik yang patut dicermati. Hal pertama yaitu semua tertegun ketika dihadapkan dengan virus Corona. Termasuk dari yang terkecil sampai yang besar. Dari Amerika, China hingga setingkat desa. Banyak dari mereka tak siap dan gagap menghadapi pagebluk Corona ini. Sikap mental juga begitu kentara ketika misalnya seorang mayat positif Corona ditolak dari tanah kelahirannya.
Hal paling sulit adalah ketika negara-negara tak mampu bangkit dari keterpurukan. Dunia tampak seperti akan kiamat. Tapi dalam situasi tak menentu ini masih ada secercah harapan yang muncul. Satu persatu negara mulai bangkit. Dunia mulai membuka mata sedikit demi sedikit.
Situasi yang sama juga terdapat dalam proses perkembangan aktivisme mahasiswa. Satu yang masih bisa menjadi harapan adalah ketika bermacam kreativitas bermunculan untuk menggantikan metode lama. Saya adalah orang pertama yang mengapresiasi dengan mahasiswa yang mendayagunakan akalnya untuk memahami dunia hari ini. Setelah itu merespon dengan cantik dan ciamik. Saya kasih empat jempol.
Dosen dan Mahasiswa: Gagap Pagebluk
Saya bukan tidak yakin jika dosen atau para ahli tak bisa hilangkan pageblug Corona. Saya yakin jika mereka sudah berusaha untuk usir virus Corona. Dengan segala macam cara pastinya.
Tapi saya punya sedikit keraguan. Mungkin ini wajar. Sebab faktanya Indonesia makin “down” menghadapi pageblug. Bahkan sudah mulai menerapkan PSBB. Keraguan ini datang dari pertanyaan: ke mana para pakar, dosen atau mahasiswa? Kenapa ahli pikir seperti para dosen dan mahasiswa tidak dikerahkan ke dalam upaya penyelesaian pageblug?
Baca juga: Menakar Maslahah di Balik Kebijakan PSBB
Justru mereka malah dirumahkan! Pemerintah dalam hal ini, menurut saya, kurang memberikan ruang kepada rakyatnya. Harusnya pemerintah tidak hanya membuat peraturan soal larangan keluar rumah dan lain sebagainya. Pemerintah juga harus jeli melihat bahwa mahasiswa, dosen dan pakar bisa diajak untuk menyelesaikan pageblug. “Jika APBN tak mendukung?” ucap mereka. Waduh, kalau seperti ini saya tak bisa menjawab.
Sebelum benar-benar tidak ada harapan, mengutip dari kata-kata Yuval Noah Hararri bahwa sebenarnya kita kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Ada krisis kepemimpinan global (Times, 15 Maret 2020). Keadaan ini ternyata, jika menurut Samuel Santosa dalam artikelnya disebut dengan hilangnya semangat budaya gotong royong (Geotimes, 14 April 2020). Iya, intinya jika kita kembali pada prinsip gotong royong maka bisa dipastikan Corona hilang dari bumi Indonesia.
Tapi apakah yang dimaksud gotong royong? Di mana perbedaan gotong royong dulu dengan model gotong royong hari ini? Hari ini sebenarnya budaya gotong royong masih ada. Bukan berarti hilang sama sekali. Budaya gotong royong hari ini didasarkan pada inti matrealistik. “Kalau ada uangnya ya saya ikut!”
Baca juga: Merawat Hidup Bersama
Ini menjadi masalah serius. Manusia menjadi ‘satu dimensi’ yang matrealistik dan orientasinya juga senantiasa matrealis. Lalu pertanyaan selanjutnya, Jika tidak iming-iming matralis apakah kita akan tergerak? Untuk sementara jawaban masih ambigu: bisa iya dan bisa tidak.
Ini kritik serius!
Baiklah saya akan runut kenapa bisa Corona menjadi kritik serius yang membuat gagap manusia. Satu hal yang perlu dipahami bahwa Corona itu tak bisa dilihat secara kasatmata. Anggap saja dia non matrealistik. Sementara manusia yang hari ini terpasung dalam dimensi matrealistik harus berhadapan dengan dunia non matrealistik. Berhadapan dengan dunia yang dikecewakannya dulu di awal-awal kemunculan gerakan Renaisans dan modernisasi.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, orang matrealis hari ini diserang oleh sesuatu yang non matrealis. Apa jadinya? Gagap dan tak bisa banyak berbuat. Kalau saja mahasiswa, dosen dan pakar mau bekerja mencari solusi tanpa perlu ada kucuran dana APBN itu adalah hal yang menggembirakan dari pada sekedar memberi peluang mahasiswa untuk ‘boleh ikut Ulangan Tengah Semester tanpa biaya administrasi.’ []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
Terimakasih sudah membaca juga tulisan saya di geotimes tempo hari , salam