Rasionalisme Pencerahan dan ‘Adabi Ijtima’i Muhammad Abduh: Sebuah Refleksi

Melihat fenomena sekarang ini dimana kondisi umat Islam mengalami kelemahan dan kemunduran, agaknya pemikiran Abduh masih sangat relevan untuk dijadikan refleksi3 min


3

Pergulatan tafsir modern sejak awal abad 19 hingga kini masih menjadi perbincangan hangat di kalangan pemerhati Islamic Studies, baik dari kalangan muslim maupun non-muslim (orientalis). Muhammad Abduh, digadang-gadang sebagai embrio modernisasi di dunia Islam, khususnya kajian al-Qur’an.

M. Quraish Shihab dalam bukunya Studi Kritis Tafsir Al-Manar memberikan gambaran singkat menyangkut asal mula munculnya modernisasi Muhammad Abduh. Modernisasi Muhammad Abduh bersumber dan berakar pada “the idea of progress” masa pencerahan Eropa abad 19.

Kemajuan demi kemajuan yang dicapai oleh Eropa pasca runtuhnya imperium-imperium Islam membawanya pada puncak kejayaan. Perkembangan sains dan ilmu pengetahuan di Eropa mengalami kemajuan yang cukup pesat hingga jauh meninggalkan dunia Islam. Transmisi ilmu pengetahuan serta invasi kekuasaan menjadi program tetap demi sederet keuntungan negara serta kesejahteraan rakyat.

Mesir sejak ekspedisi Napoleon (1798) merupakan bagian dari sasaran Eropa dalam mentransmisikan ilmu pengetahuan dan sains serta invasi kekuasaannya. Transmisi ilmu pengetahuan dan sains yang dilancarkan oleh Eropa sangat mempengaruhi tatanan pemerintahan serta cara berpikir bangsa Mesir. Melalui refleksi terhadap realitas tersebut, muncullah Muhammad Abduh dengan ide pembaharuannya (M. Quraish Shihab: 1994, 17).

Muhammad Abduh hidup dalam suatu masyarakat yang sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan mendasar di Eropa. Perbedaan yang sangat kontras, di mana saat itu masyarakat Mesir merupakan suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syariat Allah atau meng-istinbath-kan hukum.

Mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berlandaskan kurafat.

Sementara itu, di Eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu, ditambah lagi dengan kecaman-kecaman tajam yang dilontarkan oleh orientalis terhadap ajaran-ajaran Islam.

Dalam pandangan Abduh, kekalahan serta ketertinggalan Mesir terhadap Eropa disebabkan karena ketidakmampuan orang-orang Mesir untuk keluar dari jerat dogmatisme. Lemahnya penguasaan terhadap bahasa Arab juga menjadi faktor lain sehingga orang-orang Mesir tidak memiliki cukup alat guna mengkaji ulang kitab-kitab yang ditulis oleh para cendekiawan muslim pendahulunya.

Hal inilah yang menjadi salah satu faktor kekakuan orang-orang Mesir dalam berpikir. Akibatnya, orang-orang Mesir kemudian terlalu asyik dengan cara-cara berpikir yang berlandaskan warisan kebudayan berpikir klasik (taqlid), sehingga tidak memiliki kreatifitas yang inovatif dalam melahirkan pandangan-pandangan baru untuk kemaslahatan, lebih-lebih menghadapi zaman yang selalu menuntut perubahan.

Melihat hal demikian, Abduh semakin keranjingan untuk mendobrak kejumudan masyarakat Mesir pada saat itu. Untuk itu menurut Abduh ada beberapa unsur yang harus dilakukan di antaranya: kembali kepada sumber yang murni yakni al-Qur’an dan Hadis, memberikan porsi yang cukup terhadap akal pikiran dalam penafsiran serta penyelarasan terhadap logika zaman.

Upaya ini sangat penting dan diharapkan menjadi “vitamin” pencerahan berpikir. Menurut Abduh, al-Qur’an dan hadis merupakan sumber utama ajaran Islam, tetapi ia menegaskan bahwa, pemikiran merupakan sarana terpenting guna memahami keistimewaan kandungannya (baca: tafsir). Dengan demikian, Abduh tampak sangat menekankan peranan akal -tanpa meninggalkan tradisi- dalam mencari mutiara makna al-Qur’an.

Kembali kepada sumber murni dengan pendekatan logika zaman merupakan kunci utama untuk keluar dari belenggu dogmatisme. Sebab, pemahaman terhadap al-Qur’an tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.

Penilaian Abduh terhadap kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya yang tidak lain kecuali memaparkan berbagai pendapat ulama yang berbeda, tidak hanya berakibat pada kebekuan berpikir, tapi juga kurang dimengerti oleh kalangan awam, disebabkan kitab-kitab tafsir tersebut hanya berkelindan pada persoalan gramatikal (M. Quraish Shihab: 1994, 22).

Menurut Abduh sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, masyarakat tidak membutuhkan penafsiran semacam itu, yang mereka butuhkan adalah petunjuk-petunjuk yang dapat mengantarkan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Penafsiran yang hanya berfokus pada persoalan gramatikal pada akhirnya hanya akan menjauh dari tujuan diturunkannya al-Qur’an, sehingga penafsiran al-Qur’an tidak mampu menjawab persoalan zaman (M. Quraish Shihab: 1994, 22).

Hal itulah yang kemudian oleh para mufasir maupun pemerhati Qur’anic studies menyebutnya dengan corak penafsiran ‘adabi ijtima’i. Corak ini menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk al-Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan (M. Quraish Shihab: 1994, 25).

Melihat fenomena yang ada sekarang ini di mana kondisi umat Islam mengalami kelemahan dan kemunduran, agaknya pemikiran Abduh masih sangat relevan untuk dijadikan sebagai sebuah refleksi.

Dalam hal pendidikan, misalnya. Jika kita telisik lebih dalam, kita akan menemukan sistem pendidikan Islam saat ini kurang critical thinking, yakni masih menerapkan gaya indoktrinasi pendidikan dogmatis yang menyebabkan peserta didik hanya mengikuti tanpa mengetahui secara rasional sebab-sebab, alasan-alasan, asal-muasal, latar belakang dari sebuah ilmu atau ajaran.

Selain itu, salah satu hal yang menarik untuk diperhatikan adalah terlepasnya dunia pendidikan dari realitas masalah yang terjadi di masyarakat sekitar. Hal ini menyebabkan pendidikan Islam teralienasi dari realitas sehingga peserta didik tidak terbiasa dengan problem solving.

Padahal, sudah sejatinya dunia pendidikan Islam dapat menimbulkan kesadaran pada setiap individu akan realitas dan masalah di sekitarnya. Sudah sejatinya dunia pendidikan Islam menerapkan metode rasional dan relevan dengan realitas masalah yang terjadi pada umat Islam.

Selain dalam hal pendidikan, contoh lainnya ialah dalam hal pemikiran. Dalam hal pemikiran masih banyak gejala-gejala takfiri yang terjadi di masyarakat sehingga menimbulkan perpecahan yang berujung pada konflik horizontal.

Sudah seharusnya kita menerapkan pemikiran rasional, kontekstual, kritis, dan terbuka atas segala persoalan. Sudah saatnya kita mengedepankan nilai-nilai toleransi terhadap pemikiran dan pemahaman orang lain, bukan bersifat dualistis dan selalu merasa bahwa diri sendiri yang paling benar.

Adapun dalam hal teknologi, kemajuan umat Islam bukan dengan cara memusuhi Barat, tetapi menjadikan orang-orang Barat sebagai partner, karena kemajuan Islam tidak terlepas dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi modern banyak dihasilkan oleh orang-orang Barat. Islam bukanlah agama yang statis dan tidak berkembang.

Referensi:

M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994).


Like it? Share with your friends!

3
Syafi’ah

Syafi’ah, lahir di Indramayu pada 06 Januari 1998. Saat ini tengah mengenyam pendidikan di UIN Sunan Kalijaga jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals