Tulisan ini dibuat saat sedang viralnya kasus bullyng terhadap seorang siswi SMPN di kota Pontianak, Kal-Bar yang bernama Audrey. Pelaku bullying adalah sekelompok siswi SMA dari kota yang sama.
Tulisan ini tidak hendak mengulas apalagi merekonstruksi kejadian bullying di Pontianak, namun sekedar merespon beberapa alternatif solusi yang dihadirkan pihak-pihak terkait seperti KPPAD, Kepolisian, Kuasa hukum dan lainnya hingga netizen medsos dalam konteks tindakan kriminal yang dilakukan seorang anak atau yang biasa dilategorikan di bawah umur.
Lalu, tulisan ini akan melihat apakh al-Qur’an bisa turut serta memberikan alternatif atau inspirasi dalam masalah kontemporer ini?. Seiring mencuatnya kasus Audrey, semua pihak terfokus pada UU PA (Undang-undang perlindungan anak).
Secara singkat, hukum Negara kita membedakan penyelesaian kasus hukum anak-anak dan orang dewasa, dan anak-anak yang di maksud di sini adalah yang berumur 12 hingga 18 tahun.
Pada intinya, Negara ingin benar-benar menjaga kehidupan mental, sosial, spiritual, pendidikan anak, dan ini adalah alasan yang bagus. Namun, faktanya, tujuan ini pulalah yang berkontribusi melahirkan anak-anak pelaku kekerasan dan tindak kriminal lain hingga pembunuhan.
Dengan dalih menjaga masa depan siswa, siswa yang sering kali absen, tidak pernah mengerjakan tugas, bahkan terlibat tawuran hingga melukai siswa lain pun asal sudah terdaftar UN harus tetap di UN kan, demi menjaga masa depan katanya (kata Kepala sekolah).
Di kasus lain, seorang Kepala sekolah di Surabaya yang menjewer muridnya akhirnya harus berurusan dengan hukum, bahkan ada pula guru masuk penjara akibat menjewer muridnya. Entah apakah ini hasil penafsiran UU PA atau memang tersebut di UU PA, yang jelas fakta itu banyak.
Sebaliknya, Video viral beberapa siswa merokok di kelas, duduk di atas meja, dan itu terjadi saat guru sedang mengajar, tidak akan masuk ranah hukum, penyelesaian hanya kekeluargaan, lagi-lagi dengan alasan “demi anak”.
Padahal dalam video viral tersebut jelas-jelas siswa yang merokok itu memegang leher gurunya, dan bersikap sangat tidak pantas. Kejadian di Gresik itu cukup diselesaikan dengan permintaan maaf saja.
Penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat kasus-kasus anak ini dan merespon juga mencari solusinya dalam al-Qur’an dan sunnah, soal ada tidaknya keterkaitan dengan hukum kontemporer itu urusan lain.
Maka, ada satu kisah yang mungkin populer, khususnya bagi yang sering membaca surat Al-Kahfi. Ketika Nabi Musa as dan Nabi Khidr as berjalan lalu bertemu dengan seorang anak, tiba-tiba Nabi Khidr as langsung membunuh anak itu. Sontak Nabi Musa as kaget dan protes, “apakah kau telah membunuh jiwa yang suci?”.
Singkat cerita, dari protesnya Nabi Musa as itu, ia harus berpisah dengan Nabi Khidr as yang tak lain adalah gurunya sendiri. Lalu Nabi Khidr menjelaskan bahwa anak itu memiliki 2 orang tua yang mukmin, dan besarnya anak itu akan menjadi menjadi jahat pada orang tuanya, durhaka dan kafir. Dan Nabi Khidr mengetahui bahwa Allah akan mengganti anak yang durhaka itu dengan anak yang sholeh.
Dalam satu riwayat, Rasulullah saw menyebutkan, jika seorang anak mencapai umur 10 tahun enggan melaksanakan sholat setelah dari umur 7 tahun diajarkan, dicontohkan dan diperintahkan sholat, maka anak itu boleh di pukul (fadhribuh).
Sebagian Agamawan (ustadz) menolak arti ini (pukul), dan mengalihkannya kepada arti lain yaitu “memberi contoh” dengan berdalil pada ayat 26 QS Al-Baqarah “Dharaba matsalan”, maka penulis tegaskan, bahwa ayat tersebut memiliki susunan kata dan konteks yang berbeda dengan hadis.
Ketika “dharaba” disambung dengan “matsal” (contoh, permisalan) maka jelas artinya memberi atau menghadirkan contoh, karena objek nya “matsal” maka tidak mungkin artinya memukul contoh.
Tapi ketika “dharaba” dihubungkan dengan objek benda atau materi, jelas bukan memberi atau menghadirkan lagi, tapi memukul. Jadi hadis itu jelas berbunyi, “jika sepuluh tahun belum juga sholat maka pukullah dia”, tentu dengan dhorban tarbawiyyan (pukulan mendidik).
Dari Teori (UU PA), fakta lapangan, dan inspirasi al-Qur’an dan hadis, penulis ingin katakan, jangan berlindung di bawah slogan “perlindungan anak” hingga menganggap wajar tindak kriminal yang dilakukan anak yang sudah jelas merugikan orang lain tanpa alasan yang benar, bahkan tak jarang melukai hingga merusak kehormatan orang lain bahkan menghilangkan nyawa.
Bolehlah di sebut pertanggung jawaban bukan hukuman, atau boleh juga disebut pembinaan, dibedakan penyelesaiannya dengan kasus di atas 18 tahun, silahkan. Namun, perlu diingat, meremehkan perbuatan anak-anak yang demikian, akan melahirkan banyak anak-anak lain yang serupa bahkan lebih.
Maka, hadirkan satu konsep ta’dzir yang jelas dan membuat kapok, bahkan hingga hukuman fisik pun tidak mengapa asal terukur, bukan sekedar klarifikasi dan minta maaf, karena negara kita berdasar hukum bukan berdasar klarifikasi.
Dan, kasus guru dimasukkan penjara atau tersentuh kasus hukum saja karena menjewer murid adalah hal konyol yang terjadi di akhir zaman ini, mudah-mudah hal-hal ini tidak terjadi lagi.
One Comment