Media Mengaburkan Esensi Perjuangan Mahasiswa (Demo Mahasiswa Cianjur dan Polisi Terbakar)

Kepentingan rakyat mesti dilangit-juangkan, meminjam petuah Bung Karno, Kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan.2 min


8

Tanpa mengurangi rasa duka dan empati kepada pahlawan keamanan negara (polisi), atas insiden terbakarnya tiga aparat di Cianjur saat mengamankan demo. Di sini saya ingin tegaskan, bahwa kejadian tersebut merupakan imbas dari ketidakbescusan pejabat, bukan salah mahasiswa apalagi polisi. Peristiwa tesebut (15/8) harus menjadi pelajaran bagi aktivis mahasiswa di seluruh Indonesia, untuk sigap mengawal kebijakan daerah. Hiruk-pikuk isu nasional jangan sampai membelakangi persoalan yang tak kalah akut di daerah. Dan ingat, aparat keamanan bukan musuh kita!

Ban dibakar, coretan pilox, bendera perlawanan, lagu-lagu perjuangan, pagar polisi, tidak akan pernah absen, akan selalu menjadi ornamen dalam setiap aksi demonstrasi mahasiswa. Ya, kepentingan rakyat mesti  dilangit-juangkan, meminjam petuah Bung Karno, “Kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat, dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan”. Dan mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat.

Karenanya, aksi di Cianjur tidak bisa disorot sepenggal. Saya tidak membela oknum pelempar bensin, yang belum bisa dibuktikan apakah mahasiswa atau penyusup. Siapa pun itu, tindakan tersebut tetap tidak bisa dibenarkan. Tapi kalau memang pelakunya adalah oknum dari kelompok peserta aksi, yang harus kita pertanyakan adalah organisasi yang mengadernya, korlapnya, terutama seniornya!

Jelas sekali, polisi totalitas dalam mengamankan aksi. Mereka sudah bertugas dengan baik, menjaga keamanan dan menjamin kelancaran aksi. Meski menurut saya, baiknya bapak-bapak polisi tidak harus sampai mematikan kobaran api dari ban yang dibakar itu. Karena sepengalaman saya, membakar ban adalah simbol ‘kemarahan’ mahasiswa, sulit untuk dielakkan saat kekecewaan memuncak, itu lebih baik dari pada bentrokan. Cukup melokalisir titik massa sehingga tidak melebar.

Mahasiswa juga demikian, masih memiliki kesadaran untuk menyuarakan aspirasi sangat baik, tapi jangan sampai kecolongan, korlap harus bekerja sama dengan aparat agar target tercapai, kecuali terlihat indikasi aparat sudah ‘terkondisikan’ oleh lawan. Peserta aksi harusnya dapat dikondisikan, apalagi organ yang terlibat adalah cipayung plus, sangat memalukan tak bisa mengontrol emosi saat tarung di lapangan, hingga merugikan masyarakat dan mahasiswa itu sendiri.

Lihatlah, aksi mereka mengusung pesan kerakyatan. Tuntutan yang disuarakan massa aksi sangat aktual di tengah rakyat. Belum jelasnya arah 6 program strategis “Cianjur Jago”, seperti kesejahteraan warga  di bidang sosial, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan hidup. Selain itu, minimnya lapangan pekerjaan, belum terlaksananya reformasi agraria dan morat-maritnya kedaulatan pangan, meniscayakan kritik dan protes secara masif.

Faktanya, tidak hanya di Cianjur, ada banyak pemerintah daerah yang gagal menyelesaikan persoalan dasar rakyat, janji semanis madu, realitas sepahit empedu, mereka perlu dikawal, ditegur, dan tentu saja didemo! Tapi jangan korbankan rakyat, apalagi menjadikan aparat musuh.

Jangan sampai riuhnya pemberitaan terkait kisruh politik nasional mengaburkan fokus kita terhadap lambannya kerja pemerintah daerah. Janji politik yang tak kunjung terbukti, pengabaian penderitaan rakyat, mesti disambut oleh mahasiswa sebagai mandat perjuangan.

Menghabiskan anggaran yang besar, pilkada sebagai dampak dari otonomi daerah harusnya mampu mengubah wajah pembangunan. Tapi kini malah menjadi karpet merah bagi mereka yang sekadar ingin menenggak kekuasaan dan popularity-oriented, yang sering sekali bersekutu dengan koorporasi dalam memenangkan pilkada.

Hal yang tak kalah memuakkan, media tidak tertarik (barangkali alergi) dengan narasi perjuangan, yang muncul di akar rumput, terutama media mainstream seperti TV  dan media cetak milik para cukong. Aksi mahasiswa hanya dilihat sebatas tragedi tanpa visi, seolah mahasiswa bergerak tanpa dasar ideologi dan nurani. Mahasiswa di mata media selalu diframing sebagai petaka (baca: berandal), mengobrak-abrik emosi demi kepentingan materi, memenjarakan informasi, tak peduli titik persoalan, yang penting sesuai selera pasar.

Teruslah bergerak mahasiswa, tingkatkan bobot perkaderan agar emosi kalian tidak mudah dimainkan oleh pejabat dan kaki tangannya. Arahkan perhatian khusus pada kebijakan daerah tanpa mengecilkan isu nasional. Jadikan insiden Cianjur sebagai pelajaran, dan ingat, “Aparat bukan musuh kita!”


Like it? Share with your friends!

8
Saipudin Ikhwan
Mahasiswa Kajian Komunikasi dan Masyarakat Muslim, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals