Tradisi ngaji Al-Qur’an di Jawa terbilang unik dan menarik untuk dinarasikan ulang. Setidaknya, apa yang penulis alami dan rasakan selama proses belajar Al-Quran sejak kecil bersama kawan-kawan di era tahun tujuh puluhan hingga delapan puluhan.
Dulu anak-anak sehabis bermain seharian penuh di sawah dan sungai, begitu sudah hampir Maghrib mereka pulang siap-siap pergi ke Masjid atau Langgar, atau kadang juga disebut dengan istilah nggon ngaji (tempat untuk belajar Al-Qur’an).
Mereka bersiap-siap membawa oncor atau blarak untuk penerangan ketika pulang bakda Isya’. Mengingat, dulu suasana malam hari cenderung gelap gulita, harus melewati sungai atau tempat yang angker. Belum ada penerangan listrik di jalan yang dilalui. Di langgar atau nggon ngaji juga belum ada listrik, sebagai gantinya Pak Kiai atau Guru Ngaji menggunakan senthir atau lampu teplok. Namun hal itu tidak menyurutkan mereka untuk tetap semangat belajar Al-Qur’an.
Begitu azan Maghrib berkumandang anak-anak lalu membaca puji-pujian baca salawat sembari menunggu para jamaah datang. Mereka kemudiansalat Maghrib berjamaah, lalu baca wirid dan doa.Setelah itu, mereka antri sambil menyiapkan bacaan yang maudisetorkan di hadapan Pak Kiai.
Dalu, umumnya Pak Kiai galak dalam mengajari ngaji. Jika belum lanyah (lancar) maka belum berpindah ke baris atau ayat berikutnya. Kadang harus mengulang sampai sepuluh kali, bahkan kadang Pak Kiai sampai gebrak meja atau dampar, jika santri berkali-kali salah. Tapi hal itu tidak menyurutkan para santri untuktetap mengaji. Masih kuat tertanam dalam benak para santri bahwa marahnya Kiai itu ikhlas dan akan membawa berkah jika santri tetap sabar.
Ini tidak lepas dari doktrin kitab kuning seperti Kitab Ta’lim Muta’alim karya Syaikh al-Zarnuji dan juga kitab Adabul Alim wal Mutaallim karya Syaikh Hasyim Asyari. Di dalam kedua kitab tersebut diajarkan tentang beberapa etika dan syarat seorang santri jika ingin sukses dalam mengaji.
Metode pembelajaran baca Al-Qur’an juga cukup unik yaitu diawali dengan proses pembelajaran Al-Qur’an untuk memperoleh akurasi dalam tata cara membaca Al-Qur’an yang sesuai dengan teori ilmu Tajwid.
Berbeda dengan sekarang, yang guru ngajinya datang ke rumah muridnya, dulu para santri yang datang kepada guru ngaji, bisa di Langgar atau rumah Kiai.
Metode yang digunakan adalah metode baghdadi, yaitu dengan meng-eja. Misalnya alif fathah:a, ba’ fathah: ba dan seterusnya. Hingga kemudian anak santri mampu membaca Al-Qur’an. Di samping itu, para santri juga harus menghafal surat-surat Juz ‘Amma dengan menggunakan Kitab Turutan. Disebut demikian, karena di dalam kitab tersebut terdapat urut-urutan surat-surat pendek dari Surat al-Duha hingga al-Nas.
Tidak hanya itu, para santri saat itu juga diajari untuk bisa membaca bacaan-bacaan salat dan dipraktikkan, dengan menggunakan kitab Pasolatan. Bisa dimengerti mengapa dulu KH Sholeh Darat juga menulis kitab Pasholatan, sebagai salah satu referensi dalamproses transmisi dan transformasi pengetahuan.
Setelah santri dirasa sudah dapat mengaji secara nggladak, yakni langsung membacatanpa dieaja, santri lalu memasuki ngaji Al-Qur’an, hingga kemudian sampai khatam tiga puluh juz.
Begitu sudah khatam ngaji di hadapan Pak Kiai, maka santri akan dikhatami dengan membaca surat-surat pendek di hadapan masyarakat termasuk di hadapan bapak ibunya.
Acara khataman biasanya dibarengkan dengan peringatan maulid Nabi atau Isra Miraj.Prosesi khataman dimulai dengan diarak keliling kampung, naik kuda bagi santri laki-laki dan naik becak bagi santri perempuan, lengkap dengan iringan rebana atau kencrengan dan juga barongan.
Sungguhmerupakan kebahagiaantersendiri bagi santri dan tentu juga bagiorangtuanya, jika sudah bisa khatam Al-Qur’an. Sebab hal itu menjadi tangga bagi proses belajar agama berikutnya,dengan mengaji kitab kuning atau dilanjutkan ke pondok pesantren.
Walhasil, proses ngaji Al-Qur’an era tujuh puluhan memang membawa kesan yang cukup unik dengan segala suka dan dukanya. Hemat penulis, tradisi tersebut masih layak dilestarikan demi menjaga kualitas pembelajaran Al-Qur’an yang lebih otentik sebab talaqqi dari guru ke murid benar-benar bisa dirasakan.
One Comment