Nasib Menyajikan Anak-Anak Ruhani Pram ke Meja Makan Malam tanpa Tusuk Gigi

Tetapi cita-cita Pram bukanlah memerdekakan dan membebaskan buku-bukunya, melainkan memerdekakan dan membebaskan generasinya, angkatan muda, yang selalu dielu-elukan4 min


2
2 points
Anak-anak ruhani Pram
Foto: goodnewsfromindonesia.id

Menyajikan anak-anak ruhani Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya, Pram) ke meja makan malam, sama dengan memberikan makan bagi perut peradaban. Ia mengandung gizi dan vitamin yang dibutuhkan tubuh. Empat sehat, lima sempurna.

Di tahun-tahun orde baru, anak-anak ruhani Pram adalah barang terlarang. Membawanya adalah haram. Membacanya adalah ancaman. Dan mengamalkannya adalah kematian. Karya-karya Pram adalah buron kelas kakap di era itu.

Bagi Pram, karyanya adalah anak-anak ruhani. Anak-anak itu dilahirkan dalam perpustakaannya [terutama sekali di saat-saat menjalani penjara demi penjara]. Perpustakaan Pram tak hanya di rumah dalam pengertiannya secara harfiah, tapi juga dalam reruntuhan perang maupun comberan penjara (Dahlan 2021, 100).

Anak-anak ruhani Pram inilah yang di kemudian hari menjelajah di setiap jiwa pembacanya, mengarungi berbagai lintasan sejarah, dan tak kemput dibicarakan.

Barangkali, kita bisa menyebut anak-anak ruhani Pram ini sebagai kredo pembebasan dan perjuangan yang tak pernah habis dimakan waktu. Meski sebenarnya Pram dan anak-anak ruhaninya sempat diberandal orde baru dan dikemplang lawan politiknya di kesusastraan, ia tetaplah emas di samudera yang luas.

Di era kiwari anak-anak ruhani Pram resmi lepas dari buronan. Semua boleh membacanya. Membawanya. Mendiskusikannya. Mengulasnya. Iya, anak-anak ruhaninya telah merdeka dan bebas sebagaimana cita-cita Pram.

Baca juga: Quo Vadis Kemerdekaan?

Kemerdekaan yang Pram Inginkan dan Lain-lainnya

Tetapi cita-cita Pram bukanlah memerdekakan dan membebaskan buku-bukunya, melainkan memerdekakan dan membebaskan generasinya, angkatan muda, yang selalu dielu-elukan agar tak jadi jongos, yang mengemis dan mengesot meminta belas kasihan pada budaya peradaban yang sembah-menyembah pada kekuasaan.

Dalam istilahnya dahulu, Pram melarang tunduk pada pemerintahan Belanda yang telah menjarah dan menjajah bangsanya secara barbar.

Masalahnya, meski kolonialisme dari luar sudah tidak mengepung Indonesia, kolonialisme itu bertransformasi jadi otoritarianisme di wajah kekuasaan hari ini. Dalam praktik yang berbeda, tindakan kekuasaan itu mencerminkan penjajahan dan penjarahan yang serupa. Faktanya, kekuasaan hari ini berlomba-lomba membangun gedung dan rumah-rumah mewah yang di saat bersamaan tanah-tanah rakyat dirampas.

Sehingga, menyajikan ulang anak-anak ruhani Pram ke meja makan malam adalah usaha untuk menyadarkan bahwa situasi sulit yang pernah diteliti dan dialami Pram secara langsung ternyata tidak benar-benar hilang. Penarikan pajak tinggi yang pernah dilakukan raja-raja di Jawa, tetap ada hingga kini. Peperangan yang pernah dilakukan antar kerajaan di Jawa, dalam bentuk konstelasi politik modern, tetap langgeng hingga kini. Penangkapan tanpa proses pengadilan yang pernah terjadi di era kerajaan dahulu, dalam praktik hukum modern, tetap dilanjutkan juga hingga kini. Artinya, misi pembebasan anak-anak ruhani Pram tetap dilanjutkan.

Muhidin menulis, “dari pemeriksaan yang cukup detail dan bercorak tuturan perjalanan ini, membiak sebuah ingatan yang satire, bahwa kita adalah bangsa kaya yang lemah. Bangsa yang sejak lama bermental diperintah oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa yang penguasaannya lebih asyik menumpuk-numpuk ambisi berkuasa daripada menggerai kesejahteraan bagi warganya,” (Dahlan 2021, 82).

Sampai di sini, kita bisa mengatakan bahwa sajian makan malam dengan menu anak-anak ruhani Pram selain barang wajib, makanan ini tidak akan pernah habis dan tak akan pernah selesai kita makan. Bahkan setelah Pram menuju kehidupan ke altar keabadian. Dari sana Pram akan berteriak kencang, “Angkatan muda harus bisa melahirkan pemimpin, jangan jadi ternak saja dan sibuk mengurus diri sendiri. Angkatan muda harus bekerja dan berproduksi. Jangan jadi pengonsumsi. Negara ini sudah terpuruk karena konsumsi terus-terusan. Bahkan, tusuk gigi pun harus impor. Memalukan.” (Dahlan 2021, 6)

Setelah waktu makan malam beres, tetapi makanan belum habis, ternyata kita juga bingung mengatasi gigi berlubang. Di meja makan malam ternyata tidak ada tusuk gigi. Sebab, baru kemarin sore tusuk gigi itu dicuri oleh turis. Ini berarti, barang yang jelas-jelas telah kita beli dari penjualnya, suatu waktu bisa jadi bukan lagi milik kita. Bisa jadi ia dirampas. Hilang. Atau apapun. Maka selama anak-anak ruhani Pram masih bebas berkeliaran dan bisa sesuka hati kita baca, bawa, dan diskusikan, menjaganya adalah fardu ‘ain. Sungguh amat memalukan andai nasib anak-anak ruhani Pram serupa dengan tusuk gigi yang kita impor itu.

Indonesia Sebelum dan Setelah Pram

Indonesia, sebelum dan setelah Pram mangkat, rasa-rasanya masih menyimpan borok yang belum sembuh. Kita ambil contoh dalam soal politik, misalnya. Baju politik kebangsaan kita ternyata nirgagasan dan serba compang-camping di sana-sini. Cita-cita politik kita, sejauh ini, belum ada yang menampilkan secara konkrit alternatif atas problem-problem yang sedang berlangsung di Indonesia. Buktinya, banyak orang berseliweran ke sana-sini bawa spanduk dan baliho besar-besar, tanpa visi-misi dan program yang jelas.

Kemuliaan politik kita hanya berlangsung secara visual, seperti pamer atribut kampanye media sosial dan pose foto (Jehamat). Artinya, semua ini berlangsung hanya pada level merebut hati pemilih, bukan pada apa yang ia tawarkan untuk menjawab problem-problem. Politik kita amat narsistik dan serba tidak substansial. Apesnya, banyak masyarakat kita yang malah terhibur, bahkan memeriahkan praktik politik kita yang amat payah itu.

Bahwa dalam proses kampanye, orientasinya memang untuk memperkenalkan dan merebut konstituen. Tetapi kalau tujuannya hanya berkenalan dan merebut hati konstituen, ini lebih cocok digunakan dalam pemilihan ketua kelas saja. Tidak lebih dan tidak kurang.

Artinya, politik kebangsaan kita baru sampai pada, “Anda makan dengan tangan kiri atau kanan?”, bukan pada substansi pokoknya. Wajah politik kita seperti kehilangan edukasinya. Sekilas, yang kita bayangkan adalah mereka yang memiliki harta adalah individu atau kelompok yang paling mungkin memiliki potensi terjun dan terlibat dalam politik elektoral, tanpa mengukur kemampuan berpolitik dan bekerja di pemerintahan. Dan tentu, masalah ini lahir dan bersumber dari ongkos politik yang mahal.

Dalam sebuah riset (Masykurilla) tertulis, Kementerian Dalam Negeri pernah melakukan riset, biaya politik calon kepala daerah yang perlu dipersiapkan mencapai Rp 25 miliar-Rp 30 miliar. Tingginya ongkos ini pada akhirnya berefek pada usaha mengembalikan modal, bukan fokus pada target kerja-kerja kepemerintahan. Dan tentu itu adalah dua hal yang bertentangan satu sama lain. Kalau dipikir-pikir, ini semacam arena judi. Mereka bertaruh uang dan kembali menghisap uang. Dengan kata lain, akan terjadi korupsi.

Dengan begitu, fakta ini menunjukkan bahwa kapasitas calon politisi yang berasal dari kelompok miskin, memiliki idealisme, cita-cita politik yang jelas, tetapi lagi-lagi ia adalah orang miskin, musykil untuk masuk dan terlibat dalam politik. Kalau pun ada, mungkin bisa dihitung jari.

Baca juga: Tantangan 75 Tahun Indonesia Merdeka

Posisi Pram dalam Laju Peradaban

Dalam melihat perkembangan peradaban, Pram tidak menjadi satu-satunya orang yang diuntungkan dan dirugikan. Pram, sebagai sebuah nama, penulis, sastrawan, dan aktivis, hanya digunakan untuk membatasi fakta sejarah dan relevansinya hari ini supaya tidak bias.

Cita-cita kebangsaan Pram semata-mata diangkat ke permukaan untuk menjadi pengingat bahwa negara-bangsa kita pernah terjerembab, hina, dijajah karena bangsanya belum memiliki kesadaran politik. Untuk itulah, anak-anak ruhani Pram perlu disajikan ke meja makan malam untuk menguatkan kredo pembebasan sekaligus memberi gizi yang baik bagi tubuh bangsa kita.

Refrensi

Muhidin M. Dahlan. Pramoedya Ananta Toer Yang Berumah dalam Buku. (Yogyakarta: Warning Books, 2021)

Lasarus Jehamat. “Caleg Baliho” dan Realitas Politik Kita(detikNews, 2018)

Eren Masykurilla. Biaya Politik Tinggi Pemicu Korupsi(Kompas, 2023)

Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

2
2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals
situs toto toto 4d toto 4d toto 4d idnslot slot88 toto 4d toto 4d togel viral dana toto scatter hitam