Melalui buku Tahafut Al-Falasifah, kekacauan pemikiran para filosof, Al-Ghazali melancarkan kritik keras terhadap para filosof dalam 20 masalah, tiga dari masalah tersebut menurut Al-Ghazali dapat menyebabkan kekafiran. Permasalahan dimaksud: Pertama, Qidamnya alam. Kedua; Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Ketiga: tidak adanya pembangkitan jasmani.
Baca juga: Kesalahan-kesalahan Para Filosof Menurut Al-Ghazali
Sehubungan dengan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali itu, Ibnu Rusyd tampil membela para filosof dari serangan dan pengkafiran. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku Tahafut al-Tahafut, Kekacauan dalam Kekacauan, yang menunjukan secara tegas bahwa Al-Ghazalilah yang sebenarnya dalam kekacauan pemikiran. Bukan para filosof. Berikut penjelasan Ibnu Rusyd terhadap Al-Ghazali dalam tiga masalah tersebut.
1. Tentang Qidamnya Alam
Pendapat filosof bahwa alam kekal, dalam arti tidak bermula, tidak dapat diterima kalangan teologi Islam. Sebab, menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta adalah, mengadakan sesuatu dari tiada, (creation ex nihilio). Kalau alam tidak dikatakan tak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan. Dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini membawa kekufuran. Demikian gugatan Al-Ghazali, dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah.
Ibnu Rusyd, begitu pula para filosof lainnya berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada atau kekosongan tidak mungkin berubah menjadi ada. Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.
Pernyataan bahwa creatio ex nihilio tidak didukung oleh dasar syari’at yang kuat, disanggah oleh Ibn Rusyd. Tidak ada ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari dirinya, dan kemudian dijadikanlah alam ini. Ini kata Ibn Rusyd hanyalah merupakan pendapat dan Interpretasi kaum teolog.
Ibnu Rusyd begitu pula para filosof lainnya berpendapat bahwa creatio ex nihilio, tidak mungkin terjadi dari yang tidak ada (al-‘adam) dari kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada, (al-wujud), yang mungkin terjadi ialah “ada”, yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk yang lain.
Pernyataan bahwa creation ex nihilio tidak didukung oleh dasar syariat yang kuat, disanggah oleh Ibnu Rusyd. Tidak ada ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari dirinya, dan kemudian barulah dijadikan alam ini.
2. Tentang Pengetahuan Tuhan
Masalah kedua yang digugat oleh Al-Ghazali dan dianggapnya dapat membawa kekufuran ialah masalah Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui tentang dirinya tetapi pengetahuannya itu bersifat universal, tidak dapat dibenarkan sebab menurut Al-Ghazali, setiap yang maujud diciptakan karena kehendak Tuhan. Dan juga setiap yang terjadi di alam ini ada atas kehendaknya.
Tentunya seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan. Sebab, yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu secara rinci.
Kalau Al-Ghazali mengatakan menurut para filosof Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, maka oleh Ibnu Rusyd dijawab, Al-Ghazali dalam hal ini salah faham, sebab para filosof tidak ada yang pernah mengatakan demikian.
Yang ada adalah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi, di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia. Menurut Ibnu Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filosof timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia.
Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh dari indra, dan dengan panca indra ini pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu, selalu berubah dan berkembang, sesuai dengan pengindraan. Sedangkan pengetahuan tentang sesuatu yang universal, diperoleh melalui akal, dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juz’iyah) materi itu.
Selanjutnya, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa, pengetahuan Tuhan merupakan sebab (bagi wujudnya perincian) yang tidak berubah oleh perubahan yang dialami juz’iyah. Tuhan juga mengetahui apa-apa yang terjadi dan sesuatu yang telah terjadi, pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu, yang telah lampau, sekarang, dan akan datang.
Meskipun demikian pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat kulliyah atau juz’iyah. Sebab kedua sifat itu merupakan kategori-kategori. Manusia, bukan merupakan kategori ilahi sebenarnya. Bentuk pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh Tuhan sendiri.
3. Tentang Bangkitnya Jasmani
Masalah ketiga yang digugat oleh Al-Ghazali, dan dianggapnya dapat membawa kekafiran ialah pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani di akhirat oleh para filosof. Al-Ghazali dalam kita Tahafut al-Falasifah telah mengkafirkan filosof yang mengatakan bahwa di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani.
Pengkafiran ini, menurut Al-Ghazali karena pendapat para filosof tersebut sangat bertentangan dengan ayat-ayat Alquran yang dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami berbagai kenikmatan jasmani di dalam surga, atau kesengsaraan jasmani di neraka. Ajaran Alquran dalam masalah ini tidak dapat ditakwilkan.
Dalam membantah gugatan dan vonis Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa filosof tidak menolak adanya kebangkitan bahkan semua agama samawi mengakui kebangkitan ukhrawi. Hanya saja sebagian berpendapat bahwa kebangkitan tersebut dalam bentuk rohani, dan sebagian yang lain berpendapat bahwa, dalam bentuk rohani dan jasmani sekaligus.
Meskipun Ibnu Rusyd cenderung berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat nanti dalam wujud rohani saja, ia tidak menafikan kemungkinan kebangkitan jasmani bersama-sama rohani. Kaluapun kebangkitan ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik dimana ruh-ruh akan menyatu kembali dengan jasad sebagaimana keadaanya semula di dunia.
Tetapi jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia itu sendiri. Sebab jasad yang di dunia telah hancur dan lenyap disebabkan kematian. Sedangkan yang hancur mustahil kembali seperti semula.
Para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena meraka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur-unsur fisik manusia yang telah mati akan diproses oleh alam. Proses alam yang panjang tersebut, tidak menutup kemungkinan mengubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain. Dengan demikian jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangikitkan dalam bentuk fisik yang tidak sempurna.
Ibnu Rusyd sendiri melihat bahwa Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, mengatakan bahwa, kebangkitan tidak hanya dalam bentuk rohani. Akan tetapi dalam tulisannya pada buku yang berbeda, ia mengatakan bahwa kebangkitan, bagi kaum sufi akan terjadi hanya dalam bentuk rohani tidak dalam bentuk jasmani. Karena itu, Al-Ghazali telah membatalkan sendiri gugatan dan vonisnya terhadap para filosof.
Sunguh pun Demikian Ibnu Rusyd berpendapat bahwa bagi orang awam, soal pembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, dan tidak hanya dalam bentuk ruhani. Karena kebangkitan jasmani lebih mendorong kaum awam untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan.
Baca tulisan-tulisan Rizal Mubit lainnya: Kumpulan tulisan Rizal Mubit
0 Comments