Tradisi Berjanjen Masyarakat Kedungharjo

Seperti itulah gambaran masyarakat Kedungharjo dalam meresepsi kehadiran kitab al-Barzanji yang hadir di tengah-tengah mereka3 min


Sumber Foto: Tribunnews.com

Marhaban man ro`a wajhaka yas’ad * Marhaban ya karimal walidaini

Kalimat di atas adalah salah satu bait yang sempat saya dengar di antara riuhnya suara dendang maulid al-Barzanji dari surau-surau di desa yang kebetulan jaraknya tidak terlalu berjauhan. Saya pastikan kalimat yang saya dengar di atas adalah dendangan yang berasal dari Masjid Jami’. Sebab selain suaranya yang paling keras, suara pelantunnya juga merdu, setidaknya untuk ukuran telinga saya.

Ya. Sudah sepekan lebih suasana usai Maghrib di desa saya, Kedungharjo, Mantingan, Ngawi, menjadi meriah berisi lantunan maulid Al-Barzanji yang saling bersahutan antara surau satu dengan yang lain. Artinya selama itu pula masyarakat Kedungharjo dengan antusiasnya menyambut datangnya bulan Rabiul Awal hingga hari ke dua belas esok. Semua kegiatan yang dilakukan masyarakat lepas Maghrib, terutama anak-anak kecil hingga remaja, dialihkan ke kegiatan berjanjen. Misalnya di Surau Darussalam, jika di malam-malam biasanya para remaja mengaji Al-Qur’an kepada Kiai Zaini, sang imam surau, maka pada bulan Rabiul Awal—orang Jawa menyebutnya, Sasi Mulud—diliburkan selama dua belas hari, diganti dengan berjanjen.

Kata berjanjen diambil dari nama sang pengarang kitab al-Barzanji, Sayyid Ja’far bin Hasan bin Abd al-Karim al-Barzanji al-Husainiy (w. 1177 H). Kitab tersebut memiliki judul asli ‘Iqd al-Jawahir fi Maulid al-Nabiyi al-Azhar. Namun demi asas simpel, orang-orang lebih sering menyebutnya Maulid Barzanjiy dan upacaranya disebut berjanjen. Kebiasaan yang sebenarnya kurang pas, sebab rata-rata orang-orang yang membacanya setiap malam Jum’at atau dua belas hari selama Sasi Mulud tidak mengetahui judul dan nama asli pengarang kitab maulid tersebut. Tetapi hal itu bukanlah masalah berarti.

Maulid Barzanjiy sendiri merupakan produk sastra Arab yang berbentuk (natsar)prosa, yang berisi tentang sejarah kehidupan Kanjeng Nabi, terdiri dari 19 pasal dan berakhir “ah” pada setiap rimanya. Sementara dalam bentuk nazamnya terdiri dari 18 pasal dengan 247 bait dan menyusun rima akhir “nun”. Hitungan tersebut kemungkinan bisa salah sebab kesilapan saya dalam menghitung ditambah belum saya bandingkan antara kitab yang saya pegang terbitan Nur Cahaya, Semarang (tanpa tahun) dengan kitab al-Barzanji cetakan penerbit lainnya.

Belum saya dapatkan keterangan yang memuaskan mengenai kapan dan bagaimana tradisi berjanjen tersebut berjalan di Desa Kedungharjo. Malah ketika saya menyodorkan pertanyaan kepada ibu saya, yang saya dapatkan hanya jawaban kecut, “Awit jaman ra enak!” Akan tetapi, terdapat indikasi bahwa Kiai Dimyathi lah yang pertama kali memperkenalkannya sekitar delapan dekade yang lalu (Maret lalu peringatan haul ke 55 Kiai Dimyathi). Sebab beliau dan masjidnya lah yang menjadi rujukan semua tradisi yang berjalan di desa Kedungharjo. Tentu perhitungan yang saya lakukan ini cenderung subjektif dan sangat memungkinkan salah. Maka perlu untuk dikaji lebih serius.

Kemudian ada satu hal lagi yang sukar dipastikan, adalah mengenai muasal pola lagu ketika membawakan prosa al-Barzanji. Namun perkembangan di berbagai surau di Kedungharjo memperlihatkan bahwa teks al-Barzanji yang dibawakan secara lisan ini, memiliki lagu yang beraneka ragam sesuai dengan kemahiran masing-masing. Ada yang berlanggam Jawa atau pun ala-ala Hijaz yang tidak begitu saya kuasai.

Baca Juga: Bulan Rajab dalam Tradisi Islam dan Agama Samawi

Acara berjanjen merupakan salah satu tradisi keagamaan masyarakat Kedungharjo yang biasa dilakukan pada momen tertentu yang disakralkan oleh masyarakat setempat, di antaranya adalah upacara pernikahan, upacara kelahiran bayi, akikahan, khitanan, upacara penyambutan haji dan terutama menyambut Sasi Mulud itu sendiri.

Bisa jadi tradisi berjanjen di tempat lain memiliki kesamaan pada momen-momen di atas. Misalnya di Banyuwangi. Namun ada beberapa hal yang mungkin berbeda dalam rangkaian pembacaan teks al-Barzanji. Pertama, menyambut Sasi Mulud, bahwa pembacaan al-Barzanji dilakukan masyarakat Kedungharjo ketika menyambut Sasi Mulud selama duabelas malam. Malam pertama sampai ke sebelas dilakukan sekadarnya; dimulai lepas Maghrib dan selesai sebelum Isya. Lalu malam duabelas adalah malam puncak. Siangnya masyarakat akan menyiapkan langsangan atau sedekah bumi, yang kemudian dibawa ke surau ketika Maghrib tiba.

Rangkaian pembacaan teks al-Barzanji dimulai setelah dzikir salat selesai. Semua jamaah kemudian duduk melingkar, lalu sang imam mengawalinya dengan tawasul kepada Kanjeng Nabi, para ulama, wali dan leluhur desa. Barulah al-Barzanji didengarkan bersama-sama hingga selesai dan ditutup dengan doa. Acara selanjutnya adalah pembagian langsangan yang sudah disiapkan. Tak jarang juga masyarakat yang membawa tumpeng. Kegiatan ini juga diwarnai oleh anak-anak kecil yang riuh ramai saling rebutan makanan setelah do’a usai dipanjatkan.

Kedua adalah pembacaan al-Barzanji dalam acara pernikahan. Biasanya acara dilakukan pada malam hari sebelum akad nikah jika mempelai laki-laki merupakan warga setempat dan setelah akad nikah jika mempelai perempuan merupakan warga setempat.

Ketiga adalah pembacaan al-Barzanji dalam acara kelahiran anak. Acara ini lazimnya dilakukan ketika malam sepasaran bayi (hari ketujuh kelahiran anak). Ketika pembacaan sampai pada mahalull qiyam dan semua jemaah berdiri, dilakukan pemotongan rambut si bayi oleh sesepuh yang hadir. Tatacaranya adalah berikut ini; bayi yang akan dicukur, digendong oleh orang tuanya atau kerabat dekatnya dan didampingi oleh saudaranya untuk membawa wadah berisi air dan gunting untuk mencukur rambut. Lalu sesudah dipotong, si bayi tersebut lalu dibawa keliling ke seluruh jemaah untuk diperlihatkan dan didoakan sampai mahallul qiyam telah selesai dibaca. Baru kemudian dibawa ke dalam kamar kembali.

Selain ketiga acara daur hidup di atas, masih ada beberapa acara pembacaan al-Barzanji yaitu acara khitanan dan penyambutan haji. Untuk acara khitan, prosesinya tidak terlalu berbeda dengan yang telah dijelaskan di atas. Sementara untuk penyambutan haji, lazimnya yang dibaca hanyalah bagian mahallul qiyam atau thala’al badru ketika seseorang tiba di rumah sepulang haji.

Baca Juga: Resepsi Hadis ‘Maulid Nabi’ di Selawesi Selatan: Studi Tradisi ‘Baku’ di Masyarakat Pulau Balang Caddi

Seperti itulah gambaran masyarakat Kedungharjo dalam meresepsi kehadiran kitab al-Barzanji yang hadir di tengah-tengah mereka, yaitu dengan melahirkan tradisi-tradisi baru di masyarakat. Tradisi itu terus tumbuh dan dijaga sebagai bagian dari ragam tradisi masyarakat Kedungharjo. Selawa ugi salam kaatur kagem Kanjeng Nabi Muhammad. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
0
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Athyabil Anwari
Santri, alumnus Pesantren Al-Imdad, Bantul, Yogyakarta

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals