Kaleidoskop Indonesiaku yang Sumbu Pendek 1: PKI dan Bulan September
Kita buka kaleidoskop Indonesiaku yang sumbu pendek dengan tema rutin tiap bulan September. Yaitu kebangkitan komunisme dan peringatan pemberontakan PKI. Setiap penghujung bulan September, masyarakat Indonesia memperingati tragedi kemanusiaan.
G30S PKI
Sejarah kelam masa lalu yang mengiringi tumbuh kembang Indonesia di masa belianya. Peristiwa tersebut sering kita kenal dengan istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh).
Alkisah, pada malam itu, tujuh orang perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menemui ajalna lewat terhunjamnya selongsong peluru ke tubuh mereka. Peristiwa tersebut terjadi secara cepat dan tidak terbayang sebelumnya.
Di pagi hari semua pemberitaan heboh mengabarkan kisah tragis itu. Menurut pemberitaan dan hasil investigasi petugas keamanan, dalang di balik peristiwa tersebut adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). Secara cepat, masyarakat menjadi bergairah untuk mengambil sikap balas atas kebiadaban yang telah terjadi.
Response Masyarakat
Respons yang sebenarnya biasa saja, mengingat kejadian sebelumnya–yaitu penembakan tujuh orang jendral–adalah peristiwa biadab. Namun jika berita tersebut tidak tertaut oleh rasa kritis maka tentu tindakan balas bisa jadi salah sasaran.
Terlebih sikap marah akan memicu pembalasan yang berlebihan. Tindakan ini nantinya akan membuahkan sikap yang kontraproduktif dan berujung pada penyesalan.
Benar saja, kemarahan yang memuncak telah membutakan hati nurani mereka sehingga tidak dapat melihat secara jernih persoalan yang tengah terjadi. Justru mereka menghukum terduga pelaku dengan kebiadaban yang berkali lipat. Peristiwa tersebut akan selalu terkenang sebagai bagian dari proses pendewasaan bangsa Indonesia.
Namun kenapa tiap tahun isunya sama. Takuk PKI akan kembali hidup dan menggerogoti sendi kehidupan bangsa ini. Isu golongan ini menjadi agenda tahuan dan kebiasaan pelabelan lawan dengan istilah antek PKI yang masih sering terjadi.
Lebih lengkapnya lihat film dokumenter Mass Grave, Jagal, dan Senyap sebagai alternatif perspektif biar cepat move on.
Kaleidoskop Indonesiaku yang Sumbu Pendek 2: Kebodohan yang Terulang
Dari pengalaman di atas, seharusnya masyarakat Indonesia belajar, bahwa mencari duduk perkara lebih penting dari pada respons cepat. Nyatanya masyarakat Indonesia pada umumnya tidak mengambil pelajaran berharga dari sejarah lampau itu. Konflik-konflik yang kontraproduktif terus terulang.
Siklus Absurd
Peristiwa konflik antar suku, ras, golongan, dan agama seperti Sampit, Poso, penyerangan terhadap kelompok Syi’ah, Ahmadiyah, Kampret Cebong dan peristiwa lainya terus terjadi. Rentetan kisah yang menjadi noda hitam perjalanan republik Indonesia menuju kedewasaan.
Baca juga: Masalah Kenabian Menurut Dua Faksi Ahmadiyah |
Jika boleh menyesali apa yang telah terjadi, patutnya peristiwa di atas masuk daftar. Karena Indonesia telah melewati beberapa bagian perjalanan yang pahit. Namun perjalanan yang kurang mengenakkan tersebut hanya menjadi angin lalu yang menyapa kita dan kemudian pergi dengan tanpa bekas di dalam ingatan.
Realitas Sikap Sumbu Pendek
Setidaknya realitas yang telah tergambar di atas dapat merepresentasikan watak masyarakat Indonesia yang mudah terprovokasi. Ini terlihat dari beberapa konflik yang terjadi dengan penyebab sepele, dan keterbatasan informasi serta pengetahuan. Penyebabnya karena kesamaan identitas sehingga merasa ada tuntutan moral untuk membela.
Bahkan hanya sekadar menampilkan sumbu pendek atau sikap reaktif saja. Setelah peristiwa terjadi baru kemudian berbondong-bondong penyesalan serta klarifikasi. Anehnya terkadang konflik tidak dapat selesai secara tuntas karena alasan yang kurang logis. Seperti keharusan melupakan masa lalu, pentingnya sikap memaafkan dan alasan lainya. Padahal banyak korban yang menantikan kejelasan atas keadilan.
Lebih perparahnya lagi, di kemudian hari terjadi peristiwa yang serupa. Hal ini seharusnya menjadi pertanyaan bagi kita semua, di manakah akal budi kita? Sehingga tidak mampu untuk mengambil pelajaran atas peristiwa yang telah terjadi.
Kaleidoskop Indonesiaku yang Sumbu Pendek 3 : Mengikuti Tren Belaka
Media sosial menjadi sisi kehidupan yang penting hari ini. Hal itu memicu munculnya tren-tren yang kurang tepat.
Demonstrasi
Di sisi lain, orang Indonesia juga terlihat sebagai kaum yang mementingkan tren. Tidak jauh dari ingatan bersama, demonstrasi penolakan RUU KUHP (Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang terjadi secara masif hampir di seluruh Indonesia. Banyak orang yang terluka, tertangkap karena melakukan tindakan perusakan serta vandalisme.
Padahal ketika mendapat introgasi di kantor polisi mereka tidak mengetahui apa aspirasi yang mereka bawa. Sebagian dari mereka hanya, ikut-ikutan saja, bahkan tidak tahu menahu tentang apa yang salah dari undang-undang tersebut. Lebih konyolnya lagi, ada beberapa orang yang ikut karena ingin mengunggah aktivitas mereka sebagai kebutuhan eksis di sosial media.
Di benak mereka, keikutsertaan itu bukti kepedulian terhadap bangsa. Lebih parahnya lagi sekadar gaya-gayaan dan pengalaman belaka. Sebenarnya itu tidak masalah jika terlaksana dengan benar, namun jika sudah berhubungan dengan vandalisme maka tentu ada konsekuensi hukum yang menanti.
Sepeda dan Pandemi
Berlanjut ke persoalan lain, yaitu ke masa pandemi kemarin. Tren bersepeda menjadi kewajiban yang mengikat agar malaikat pencatat amal tidak mengutuk kita. Keterbatasan ekonomi karena pandemi tidak menyurutkan niat agar pemenuhan hajat tren yang hedon ini. Alih-alih ketakutan terhadap nyinyiran tetangga yang mengetahui kita, karena tidak memiliki sepeda.
Beberapa bulan telah berlalu, kini sepeda yang mahal itu dan kandang modal ngutang, harus terjual dengan harga yang miring. Karena Covid-19 tidak segera enyah dan keuangan keluarga semakin memburuk.
Baca juga: Dari Media Sosial hingga Kebun Keluarga: Berbeda untuk Melengkapi Melawan Covid-19 |
Kaleidoskop Indonesiaku yang Sumbu Pendek 4 : DPR dan Omnibus Law
Di tengah perekonomian yang lagi resesi dan mental yang penuh krisis. Anggota dewan kembali memancing rasa emosional masyarakat yang telah beberapa saat redup dengan Omnibus Law. Kayaknya para anggota dewan yang terhormat ingin mengasah kemampuan vandalisme masyarakat agar tidak luntur.
Mengingat sikap mudah terpancing dan watak algoritmik society adalah jati diri bangsa yang harus terus terpelihara. Mungkin begitu…
Begitu banyak pelajaran yang Tuhan berikan, dengan tanpa henti-hentinya menjadi iklan layanan masyarakat. Lewat pemutaran drama kehidupan yang sesak peringatan.
Mau sampai kapan kita bertingkah layaknya anak kecil?
Editor: Andika S
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments