Ada Apa dengan Child-free?

Meskipun penuh tanya, tulisan ini ingin melihat pemikiran child-free lebih kompleks dan "semoga" reflektif.5 min


1
1 point
Sumber Ilustrasi: kompasiana.com

Childfree simpelnya diartikan sebagai pilihan untuk tidak memiliki anak. Pilihan ini pastinya dipertimbangkan dengan berbagai aspek yang dianggap sebagai ketidaksiapan keluarga untuk memiliki dan merawat anak. Saat ini childfree tentu tidak begitu familiar di masyarakat kita yang notabene meletakkan tujuan pernikahan salah satunya untuk mendapatkan keturunan.

Pilihan child-free dianggap mencederai berbagai nilai, norma yang sudah ada di masyarakat. Childfree menjadi perdebatan hangat karena dianggap sebagai hal baru yang mengancam keberlangsungan nilai-nilai dan masyarakat yang mempraktikkan nilai tersebut.

Terutama nilai agama yang diletakkan sebagai sumber utama nilai-nilai kehidupan. Agama turut mengatur pentingnya memiliki anak di dalam pernikahan. Dalam Agama Islam sendiri, banyak hadis atau dalil-dalil lainnya terkait keutamaan memiliki anak.

Baca juga: Memori Anak dan Cermin Kehancuran Ekologi

Anak sebagai salah satu investasi amal, yang dapat mendoakan orang tuanya ketika meninggal dunia. Syukur-syukur beramal salih dan menghafal Qur’an, maka si anak dapat mengenakan mahkota di kepala orang tuanya di akhirat kelak.

Banyak orang menggantungkan kebahagiaan pernikahan dengan keberadaan anak. Sebuah keluarga yang belum dapat memiliki anak dianggap belum memiliki kebahagiaan yang utuh. Memiliki anak menjadi pelengkap kebahagiaan dalam berumah tangga. Tidak jarang indikator kebahagiaan ini menjadi momok tersendiri dalam masyarakat.

Bahkan terkadang kewajiban memiliki anak secara tidak sadar mengatur tubuh perempuan: organ reproduksinya harus hamil dan melahirkan. Jika perempuan tidak mampu melakukannya, perempuan dianggap gagal memberikan kebahagiaan kepada suaminya. Tidak jarang pula si suami diarahkan untuk menikah lagi agar dapat memiliki keturunan.

Apakah memiliki anak menjadi tanggung jawab perempuan? Apabila tidak dipenuhi, perempuan harus siap dengan segala kemungkinan dan konsekuensi yang akan terjadi di rumah tangganya. Bagaimana jika ada keluarga yang memutuskan tidak ingin memiliki anak? Apakah keluarganya tidak akan bahagia? Apakah mindset rasa bersalah harus dialami perempuan?

Lantas, jika perempuan memilih tidak ingin memiliki anak, apakah ia patut disalahkan? Apakah masyarakat berhak mengasihani si laki-laki karena tidak dapat meneruskan garis keturunannya?

Meskipun penuh tanya, tulisan ini ingin melihat pemikiran child-free lebih kompleks dan reflektif. Tulisan ini sejenak ingin melihat mengapa child-free berujung mengundang pro-kontra dan hanya menjadi dua sisi yang bersebarangan dan menyalahkan satu sama lain.

1. Lahir dari rahim pemikiran Barat

Orang-orang yang kontra dengan pemikiran child-free membangun argumen bahwa gagasan tersebut berasal dari pemikiran liberalisme, feminisme, dan berbagai pemikiran “Barat” lainnya.

Sejak kapan segala hal yang dianggap dari “Barat” tidak diperdebatkan? Seluruh pemikiran dari “Barat” selalu dibenturkan dengan idealitas budaya dan identitas keagamaan. Keduanya dinilai sebagai dua entitas yang bertentangan.

Pemikiran Barat yang asing dan selalu dilihat sebagai agenda untuk mencerabut nilai agama dari kehidupan manusia. Apapun itu, pemikiran Barat seharusnya dihindari. Kembali kepada nilai-nilai agama menjadi jawaban yang terbaik.

Begitu pula dengan pemikiran child-free yang merupakan pemikiran Barat dan dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Keinginan untuk tidak memiliki anak telah dipercaya keluar dari kodrat kehidupan. Pernikahan seharusnya melahirkan generasi baru, penerus generasi yang nantinya membantu perjuangan agama.

2. Menentang kodrat perempuan

Masyarakat kita saat ini umumnya masih meyakini bahwa perempuan telah ditakdirkan untuk menjadi seorang ibu yang harus melahirkan manusia dari rahimnya. Perempuan yang memilih untuk tidak hamil dan melahirkan dianggap telah mencederai kodratnya tersebut.

Ia dianggap sebagai perempuan yang tidak menghargai atau mengabaikan ketentuan Tuhan terhadap dirinya. Perempuan yang memilih child-free selalu dianggap sebagai perempuan yang tidak bersyukur dan tak tahu diuntung. “Di luar sana banyak orang yang mau punya anak tapi ga bisa. Dia malah ga mau punya anak. Dasar!”, demikian cemoohnya.

Jika diurutkan lagi, sebenarnya apa yang dimaksud dengan kodrat? Kodrat dalam KBBI berarti kuasa Tuhan, hukum alam yang tidak dapat diubah, asli, bawakan. Maka, dalam hal ini kodrat perempuan adalah memiliki seperangkat organ reproduksi yang membuat ia dapat hamil, melahirkan, menyusui dan sebagainya. Tidak lebih dari itu.

Ketika perempuan memiliki kodratnya itu, pilihan untuk memfungsikannya atau tidak sudah menjadi persoalan yang berbeda. Kodratnya hanya sampai pada “kepemilikan” organ reproduksi tersebut.

Kodrat yang tidak dapat diubah, bahwa perempuan dapat mestruasi dan semacamnya. Selain itu tidak termasuk kodrat lagi, termasuk perempuan akan memfungsikan organ reproduksinya, dengan mengandug dan melahirkan dan sebagainya.

Persoalan lain kemudian muncul, bahwa definisi kodrat ini pun dianggap sudah jauh dari nilai-nilai agama. Pemahaman keagamaan mainstream yang telah mengatur sedemikian rupa perempuan bahkan terhadap tubuhnya sendiri.

Perempuan harus tunduk, patuh dan tidak boleh bertindak sebebas-bebasnya, harus dibatasi oleh segala macam batasan, tentu saja cukup sulit untuk memberikan counter-wacana terhadap narasi semacam ini.

Di samping 2 sebab di atas, beberapa pertanyaan seharusnya muncul dalam benak kita. Mengapa fenomena child-free muncul? Situasi dan kondisi apa yang melatarbelakangi munculnya keinginan ini? Seharusnya pertanyaan semacam ini penting dipikirkan oleh penentang pemikiran child-free.

Terutama narasi pembanding yang dibangun adalah narasi keagamaannya. Apakah agama menjadi sangat kaku, sehingga umatnya-lah yang harus beradaptasi kepadanya? Atau agama juga tidak dapat menerima keputusan umatnya yang berbeda dari penafsirannya?

Apakah kita sudah memerhatikan fenomena sosial di sekitar kita? Apakah kita sudah melihat bahwa banyak anak yang ditelantarkan, dikapitalisasi dan dieksploitasi. Contoh kecil adalah anak-anak di perempatan yang mengemis, mengamen dan lainnya. Ada pula orang tua yang memperalat anaknya untuk mengundang belas kasih, dan lainnya.

Baca juga: Pernikahan Dini dan Hak-Hak Anak yang Dilanggar

Fenomena ini tentu menunjukkan bahwa banyak orang yang tidak memiliki perencanaan untuk kehidupan anaknya.

Sebenarnya penulis tidak ingin menyalahkan siapapun. Namun, dalam hal ini siapakah yang paling bertanggung jawab? Tentu keluarga a.k.a orang tua. Orang tua harus bertanggung jawab sepenuhnya atas hak anak. Anak berhak mendapatkan penghidupan yang layak secara lahiriyah dan batiniyah.

Terhalangnya pemenuhan tanggung jawab ini tentu tidak dapat disimpulkan dengan mudah, karena pasti dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Baik faktor internal dan eksternal, seluruh faktor sangat memengaruhi satu dengan lainnya.

Faktor-faktor inilah yang seharusnya menjadi tolak ukur kita semua dalam menanggapi pemikiran child-free. Artinya, kita tidak langsung menyalahkan, menghakimi dan mempertahankan argumen sendiri.

Lebih dari itu, seharusnya dihadirkan keluasan berpikir untuk mengkaji secara utuh dan tidak bias. Apalagi meletakkannya dalam perdebatan yang tidak kunjung selesai. Perdebatan yang tidak menemukan jalan keluar dari persoalan itu sendiri.

Perdebatan (perspektif agama) selalu berhenti pada hukum boleh atau tidak diperbolehkannya sesuatu. Padahal, agama seharusnya menjawab kebutuhan manusia dengan lebih kompleks dan memerhatikan kondisi sosial saat ini.

Toh, alasan yang dibangun hanya ketakutan bahwa perempuan tidak menjalani kodratnya, dan penerus generasi Islam yang sedikit.

Padahal faktanya, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Jumlah anak sudah cukup banyak. Bagaimana tanggung jawab orang tua kepada anak di Indonesia? Apakah hak anak sudah terpenuhi secara fisik dan mental? Apakah anak sudah menerima penghidupan yang layak, pendidikan yang mumpuni, akses kesehatan yang memadai?

Seharusnya kita perlu terus berefleksi. Kita tidak berhak menghakimi orang-orang yang menganggap anak sebagai hal terpenting dalam kehidupan berkeluarga. Juga sebaliknya, kita tidak menyalahkan pilihan orang lain yang tidak ingin memiliki anak.

Memiliki anak tidak hanya cukup dengan mengandung dan melahirkan anak itu, a.k.a. menjalankan fungsi organ reproduksi perempuan. Lebih dari itu, merawat, membesarkan dan menunaikan hak-haknya menjadi tanggungjawab terbesar keluarga (ibu dan ayah).

Perlu diingat kembali bahwa child-free adalah keputusan/pemikiran individual, bukan kolektif. Keputusan yang muncul setelah mempertimbangkan tujuan memiliki anak, mempertimbangkan situasi ekologi, ekonomi, sosial, budaya di lingkungan hidup si anak berlangsung.

Tentu sebenarnya tidak ada yang perlu ditakutkan dari munculnya pemikiran ini. Toh kemunculannya saja tidak disambut dengan baik di masyarakat.

Justru, munculnya pemikiran ini menjadi refleksi untuk kita semua agar dapat menghadirkan “lingkungan hidup” yang baik untuk anak nantinya. Faktor psikologis orang tua juga menjadi subject matters yang harus diperhatikan bersama.

Namun, pada hakikatnya kita semua berada dalam keluasan yang sebenarnya sangat sempit. Begitu pula dengan tulisan ini. Sebagai pembaca, setidaknya jangan terjebak dalam identitas tertentu dan kepentingan yang dibawanya.

Dalam pembahasan ini, jangan-jangan sebenarnya bukan soal child-free-nya yang salah, melainkan kita yang suka mendebat dan tidak menghargai keputusan orang lain?

Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

1
1 point

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
2
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
2
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
3
Wooow
Keren Keren
3
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Sukma Wahyuni

Master

Tim Redaksi Artikula.id

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

  1. “Ketika perempuan memiliki kodratnya itu, pilihan untuk memfungsikannya atau tidak sudah menjadi persoalan yang berbeda.”
    Saya kira ini adalah poin yang penting dari tulisan ini. Membuat saya terkejut dan menyadari sesuatu. Terima kasih telah membuat tulisan ini.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals