Tidak asing kita dengar ungkapan “dunia anak adalah dunia bermain”, yang dijadikan sebagai pedoman orang tua untuk tidak melupakan hak anak-anak pada masa kecilnya, yaitu kebahagiaan.
Masa kanak-kanak adalah proses di mana mereka sedang mengenali lingkungannya dan usaha mencocokkan diri dengan sekitarnya. Sekolah dan lingkungan permainan seakan terintegrasi dan mengaburkan sekat antara pendidikan-permainan. Karena sejatinya apa yang didapat oleh anak akan mereka proyeksikan dalam dunia pendidikan.
Kebebasan berekspresi anak adalah instrumen untuk memproyeksikan apa yang ada di pikirannya dan tentu memerlukan wadah yang mendukung. Pelajaran seni merupakan momentum yang tepat bagi anak untuk mengekspresikan ide. Menggambar, misalnya, merupakan proses anak dalam merefleksikan apa yang sering mereka alami, termasuk yang mereka lihat, dari alam ide menuju alam materi berupa gambar. Jadi tidak berlebihan menganggap apa yang direfleksikan anak adalah kejujuran dan sebuah cermin lingkungan.
Pada era akhir 90an sampai awal 2000an, ketika saya menjalani masa kanak-kanak, pelajaran seni menjadi ladang pelampiasan pikiran atas apa yang saya alami di lingkungan. Sawah, gubuk, pegunungan, pepohonan, petani merupakan organisme yang tidak pernah absen dalam proyek saya.
Bukan tanpa alasan, berbagai jenis gambar tersebut mewakili pengalaman keseharian saya dengan lingkungan. Begitu pun dengan teman-teman sebaya yang tak jauh beda dalam proyek menggambar, meskipun dibimbing oleh guru, nuansa ide lebih berkuasa.
Artinya, memori anak-anak merupakan cermin kondisi lingkungan sekitar—untuk selanjutnya terserah kita akan menganggap fenomena tersebut sebagai renungan atau angin lalu.
Orang-orang bisa saja menganggap gambar saya di masa kecil sebagai sebuah tujuan kehidupan, gambar kedamaian ekosistem di mana manusia adalah salah satu bagiannya. Pada masa kecil saya, memang pembangunan terus digenjot oleh pemerintah dengan menambah berbagai macam infrastruktur untuk menyusul negara maju—yang sebetulnya hanya ilusi.
Jika mau, kita bisa mempertentangkan antara pembangunan oleh negara dengan proyeksi memori anak pada suatu gambar. Posisi kita sebagai orang terdidik harus mencoba untuk menjadikan memori anak sebagai anti-tesis dari pembangunan yang mengeksploitasi ekologi.
Suatu memori yang dituangkan dalam gambar merupakan tempat anak-anak bermain, berkelompok, membentuk karakter dan rasa kepedulian. Bahkan lebih dari itu, sebuah harapan mereka di masa depan untuk alam yang asri dan bersih.
Hari ini sepertinya harapan itu semakin menipis –untuk tidak mengatakan hilang. Penggalakan pembangunan oleh pemerintah menjadi salah satu penyumbang pupusnya harapan tersebut. Bangunan apartemen, jalan tol, betonisasi menjadi aparatus ideologi –meminjam istilah Althusser– yang terefleksikan dalam setiap pikiran masyarakat, dalam hal ini anak-anak.
Konsekuensi pembangunan adalah kehancuran ekologi, sekali pun pembangunan hijau yang sebenarnya rupa lain dari kapitalisasi ekologi.
Gambar gunung, sawah, pepohonan, gubuk akan segera tergantikan dalam waktu dekat, bahkan saat ini sedang berlangsung. Hasil pembangunan adalah cermin yang memantul ke otak anak dan menjadi ideologi yang selanjutnya direfleksikan pada suatu gambar.
Dari situ memori anak hanya disesaki oleh berbagai bangunan dan tawaran modernisasi yang meminggirkan ekologi. Harapan anak di masa depan bukan lagi udara yang segar tak berbayar, air bersih, tetapi impian hunian yang megah, keindahan jalan tol, dan bangunan-bangunan yang mencakar langit.
Bergesernya memori anak merupakan peringatan bagi masyarakat, bahwa kehancuran ekologi semakin nyata dan kapitalisme sudah menyiapkan pasukannya sejak dini, yaitu anak-anak. Mereka menjadi suksesor kehancuran ekologi melalui harapan-harapan berbentuk hyper-reality, meminjam istilah dari Baudrillard.
Anak mulai mereproduksi pembangunan secara implisit juga mereproduksi kehancuran ekologi. Begitu pun dengan orang tua yang mendukung keinginan anak, atau lebih tepatnya mendorong pikiran anak menuruti ideologi pembangunan.
Bisa kita lihat dengan mata telanjang betapa bejibunnya anak-anak yang sudah memegang smartphone di mana iklan kehancuran ekologi ada di dalamnya. Digitalisasi sudah menunjukkan kelicikannya, karena dari sanalah memori anak terbentuk. Kecepatan dan kepraktisan menjadi pertimbangan anak dalam menjalani kehidupannya. Mereka merasa bebas karena mampu melihat hampir seisi bumi, tapi sejatinya mereka terisolasi dalam layar berukuran 6 inci.
Tentu masih ingat bahwa dunia anak adalah dunia bermain. Orang tua mungkin menganggap mengoperasikan smartphone merupakan dunia permainan. Bukan, itu adalah wujud mengisolasi anak, orang tua memberi smartphone kadang bertujuan untuk tetap berada di rumah atau sebagai dalih agar tidak mengganggu pekerjaan orang tua. Dunia bermain anak semakin sempit—bahkan hampir kehilangan, mereka memiliki waktu bermain tapi tidak memiliki ruang bermain.
Sesekali kita melihat banyak anak mengisi ruang bermain, seperti prosotan, ayunan, kolam bola. Apakah itu ruang bermain? Bukan, itu adalah wujud ketiadaan ruang bermain bagi anak. Ketiadaan itu bukan taken for granted, melainkan sengaja ditiadakan demi kelancaran pembangunan.
Dari ketiadaan itu kapitalisme mengatasnamakan waktu bermain anak dengan “mengadakan” ruang bermain baru, yaitu di dalam mall, super market dan yang pasti berada di dalam gedung megah.
Adanya ruang bermain baru seperti kutub pada sebuah magnet dengan kehancuran ekologi di kutub yang lain. Semakin ironis, sebuah kesenjangan sosial ditampakkan tanpa sensor. Akses terhadap ruang bermain hanya dijangkau oleh anak kelas atas sedangkan anak kelas bawah hanya mampu menyaksikan kehancuran ekologi tanpa mampu berbuat apa-apa.
Selajutnya anak-anak akan merengek kepada orang tuanya untuk membayar ruang bermain, paling tidak di akhir pekan. Secara tak langsung, para kapitalis telah memaksa orang tua untuk memenuhi desakan anak. Miris.
One Comment