Koma 11 : Berbuat Baik kok Bangga
Sementara si Judy bergaya seperti orator—lebih tepatnya penceramah, “Wahai Saudara Seimanku, marilah kita menjaga ukhuwah Islamiyah dan merekatkan tali silaturahmi kita, sebagaimana dicontohkan oleh Kanjeng Rosul Muhammad SAW.”
“Kok cuma saudara seiman yang disebut? Saudara sebangsa ndak perlu?” sahut Kang Dar.
“Yasudah, aku revisi. Wahai Saudara Seiman dan Sebangsaku, blablabla….”
“Kok cuma seiman dan sebangsa? Bagaimana dengan orang-orang di luar Indonesia? Mereka juga se-spesies denganmu, lho!”
“Lha aku ndak punya kenalan orang bule, je. Gimana terusan?”
Seisi markas Jarkoni terbahak-bahak oleh polah si Judy, “Ya mbok disapa secara umum, ‘Wahai Saudara Sesama Manusia’, misalnya.”
“Wis embuh, Kang. Aku ini mau latihan jadi orator kok diinterupsi terus. Mosok pas aku jadi orator demo besok ini diinterupsi sama aktivis-aktivis lain. Kan, ndak jadi keren aku.”
Ya mau bagaimana lagi, toh, Jud. Apa ndak kurang-kurang, orator dan penceramah yang sewaktu pegang mic di panggung cuma menyapa kelompoknya sendiri, sesuai kepentingannya sendiri. Kalau pembicaranya Muslim dan di event Muslim, yang disapa cuma orang Muslim. Yang merasa bukan Muslim, ya, sudah plonga-plongo sebab ndak disapa keberadaannya.
Kalau pembicaranya politisi yang pancasilais, yang disapa, ya, cuma orang-orang sebangsanya. Atau paling tidak, salamnya menggunakan “Salam Pancasila!”, tiada kalimat uluk salam ‘khas’ kepercayaan orang banyak.
Tapi, ya, begitulah dinamika manusia. Berjalan cepat menyusuri visi-misinya sendiri. Berlari sprint mengejar kepentingannya sendiri. Sedangkan merangkak-rangkak, bahkan ngesot-ngesot buat sekadar berbuat baik sama orang lain. Wegah kita ini.
“Tapi, Kang Dar, berbuat baik itu susah, lho. Ndak semudah yang sampean bilang. Wong aku ini pernah niat berbuat baik malah dipaido sama orang-orang. Terus harus gimana lagi?” tanya Judy.
“Kebaikan itu proses mengolah kebenaran untuk menjadi keindahan, Jud. Ndak bisa disamaratakan variabel perbuatannya. Dalam kebaikan itu, harus disertai dengan satu nilai, Jud. Coba terka!”
“Mmmm…. Duit, Kang? Kan, kalau ada duit, semuanya lancar. Hukum, misalnya.”
“Byajingan. Bukan itu. Meskipun aku, ya, butuh duit, sih, Jud, hehe ….”
Lha memang dasarannya wong ceplas-ceplos mereka ini. Barang serius dibikin guyon, barang guyon dibikin serius. Ah, tapi untungnya mereka tidak selalu methenteng saat serius, pun tidak pula main-main saat bermain. Dasar Jarkoni!
“Kebijaksanaan, kan, Kang Dar? Memfungsikan akal budi seproporsional dan semaksimal mungkin, biar hasil dari kebaikan itu tercapai. Atau minimal, agar yang kita sebut kebaikan itu tidak dipahami sebagai keburukan bagi orang lain.” Jawab Cak Slamet seketika duduk dari nyapu halaman markas.
“Walah, Cak, kok tiba-tiba nimbrung. Sungkan aku jadinya mau nyeramahin cah urakan satu ini.” Kang Dar melirik Judy.
“Halah, ndak apa-apa. Kasih tahu, Kang, Judy memang harus dihajar, haha ….”
Maka betul, kebijaksanaanlah yang menjadi kunci utama dalam mekanisme berbuat baik itu. Bilamana bekalnya adalah kebenaran, maka kita tak tahu betul seberapa akurat kebenaran yang kita yakini. Yang bisa manusia lakukan, ya, cuma berusaha mencapai titik keakuratan yang lebih tinggi lagi.
Begitu pula dengan kebaikan. Maka banyak sekali orang diluar sana—termasuk penulis, yang acapkali niat baiknya kepada orang lain malah dianggap merugikan orang lain. Atau lebih apesnya, perbuatannya tidak dianggap sama sekali.
Ternyata dari beberapa kasus tersebut, didapati bahwa tiada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya. Entah dari cara penyampaian yang tidak memperhitungkan akibatnya pada orang yang diberi penyampaian. Seolah-olah paling sip, paling jos, dan paling top sendiri apa yang selama ini dia lakukan.
Modus yang digunakan, kalau tidak mengutip kalam-kalam Islami, ya memakai bahasa campuran Inggris-Indonesia yang sering ditemui di setiap perdebatan di Negeri Media Sosial. Sithik-sithik ndalil, sithik-sithik keminggris. Ya ndak salah juga, sih. Tapi bukannya pembicara yang baik itu yang menyampaikan hal-hal dengan keasyikan penyampaian yang mudah dipahami?
Kebijaksanaan, ya, optimalitas penggunaan akal dan hati dalam mengolah kebenaran menjadi keindahan itu sendiri. Percuma dong, kita berkoar-koar menceramahkan “Silaturahmi”, tapi yang tak mau bersilaturahmi malah dijauhi. Lha katanya mau Silaturahmi?
Percuma juga dong, kita berorasi meneriakkan “Pancasila”, tapi yang tidak sreg sama Pancasila malah dijauhi, diusir, ditahan, dlsb. Lha terus mana Pancasila-nya?
“Tapi susah lho, Kang, kalau kita mau pakai kebijaksanaan tapi belum tahu apa itu keindahan. Mana yang harus lebih dulu kita ketahui?” ujar Judy.
“Dengan kita paham pemetaan yang jelas dari mekanisme kebenaran-kebaikan-kebijaksanaan-keindahan, maka yang dituju bukan cuma keindahan, Jud. Tujuannya, ya, balik ke Allah. Allah itu tulusnya minta ampun, lho. Kita ini dikasih apa-apa sama Beliau, tapi ndak diminta ganti apapun.”
“Mau ngganti, ya, gimana caranya, Kang. Wong kita ini ngibadah fardhu saja masih wegah-wegahan, hehe ….”
“Nah makanya itu, Jud. Intinya, ya, belajar. Belajar bukan cuma lewat buku. Belajar dari pengalaman diri sendiri, belajar dari pengalaman orang lain, belajar dengan melakukan, melakukan dengan belajar, dan lain sebagainya. Banyak.”
Wah, andai saja ada negeri atau minimal sekelompok orang yang punya dasar kebijaksanaan. Memang keindahan yang diutamakan, namun tetap lebih besar dan lebih utama porsi lakunya, ya, katresnan kepada Tuhan.
“Maka begini, Jud, Kang Dar, dan konco-konco lainnya, yang paling mendasar kita butuhkan untuk memahami itu semua adalah keluasan berpikir dan kejernihan hati. Kembali lagi ke yang disebut ‘belajar’,” Cak Slamet menimpali.
Keakuratan kebenaran manusia terlampau jauh dari keakuratan yang Tuhan punya. Mencapai titik akurat yang lebih tinggi adalah proses yang bisa dilaluinya. Lantas kebaikan, tiadalah berdiri sendiri tanpa kebijaksanaan yang menyertai. Bilamana tiga unsur tadi ada satu saja yang terlupa, maka jangan salahkan Cak Slamet dan kawan-kawan kalau kita belum dapat apa yang disebut keindahan.
Niat baik itu tidak cukup, kalau tidak disertai kebijaksanaan dalam pengaplikasiannya. Gimana, sudah sebaik dan sebijaksana apa kamu selama ini? Bangga?
____
Seri “Koma” merupakan kisah kasih perkopian Cak Slamet bersama rekan-rekannya, yang ngrasani isu sosial, politik, budaya dan sebagainya, dengan bahasa yang akrab digunakan ‘Kaum Ngopi‘.
Editor: Ainu Rizqi
Baca juga seri “Koma” lainnya:
- Koma 1: Negeri itu Bernama “Media Sosial”
- Koma 2: Pseudo Merdeka
- Koma 3: Dislokasi Kebenaran
- Koma 4: Dari Cinta hingga Kecewa
- Koma 5: Sinkronisasi Harapan
- Koma 6: Prioritas Laku Hidup
- Koma 7: Tuhan pun Diciptakan
- Koma 8: Demi Bangsa dan Negara!!!
- Koma 9: Akidah Zona Nyaman
- Koma 10: Bias Paham, Bias Jodoh Pula
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Anda juga membaca kumpulan cerpen menarik lainnya di sini! Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju cerpen ini menarik!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
Mantul. Sedap-sedap gimana gitu.