Dinamika Raos

Kalau masih saja terpenjara dengan emosi dan hasrat, ya ndak bisa disebut bahagia.3 min


Sumber gambar: pinterest.com

KOMA 13

Masa pandemi yang tak kunjung berlalu ini ibarat kopi Robusta, kalau meminjam analogi Cak Slamet. Pahitnya bikin dahi mengernyit. Lebih-lebih ndak ditambahkan gula, pahitnya radikal. Tapi meski pahit, tetap saja ada penikmatnya. Misalnya perusaan yang berbau teknologi jaringan atau internet. Memang kalau kita mau melihat dengan seksama, semua hal, apapun itu, bakal tetap ada sisi baik-buruknya. Tetap ada penikmat dan pembencinya.

“Demikianlah namanya hidup, Jud. Kita ndak bakal bisa bungah selamanya, ataupun susah sepanjang masa. Boleh jadi kala yang kamu inginkan tercapai, kamu bungah. Bisa juga saat yang kamu inginkan ndak tercapai, kamu merasa susah,” ujar Cak Slamet sambil memutar kaset The Beatles andalannya.

Make sense sekali, Cak. Aku juga sering merasa bakal celaka andai saja keinginanku tidak tercapai. Seolah-olah hidupku cuma berporos pada keinginanku saja.”

Bukankah Judy mewakili pikiran dari sebagian besar kita? Bahwa kalau keinginan akan tercapai, kita bakal merasa bahagia atau bungah untuk selamanya. Begitu pula bila tak tercapai, kita merasa susah selamanya, bahkan sampai merasa celaka atas tak terkabulnya keinginan-keinginan kita.

“Padahal bungah-susah itu beriringan, lho, Jud. Keduanya abadi beriringan, bersamaan dengan karep atau keinginan kita yang mulur-mungkret, mengembang-menyusut.”

Kepentingan, keinginan, dan kebutuhan hidup kita ini dinamis. Selalu berubah setiap saat. Hari ini kita  ingin A, esoknya ingin B. Kalau A tercapai, keinginan kita bakal lebih mulur, ingin lebih dari yang sudah tercapai. Tercapai dan tercapai terus, hingga di satu saat ada yang tak tercapai, mungkret sudah hasratnya. Merasa susah kemudian.

Kalau saja A tidak tercapai, keinginan akan mungkret, apalagi kalau terus dicoba namun tak kunjung tercapai. Di satu titik akan menemukan bahwa ada jalan lain yang hendaknya diambil. Tercapai dan merasa bungah. Hingga kembalilah mulur itu.

“Kalau di Al-Qur’an kan dibilang, Jud, bersama kesulitan itu ada kemudahan. Bahkan bersama, lho, bukan setelah. Dalam menjalani hal-hal yang menyulitkanmu, kamu pasti menemui hal-hal lain yang memudahkanmu. Dalam urusan apapun itu.”

“Badai pasti berlalu, cerah pun demikian. Bukan begitu, Cak? Harusnya kita melek akan kebersamaan antara kesulitan dan kemudahan. Dengan kepastian akan berlalunya badai dan cerah, kita harus tetep eling lan waspada setiap waktu, kapanpun itu.”

Kita memang terlalu over dalam waspada, namun hampir nihil perihal eling. Padahal keduanya saling beriringan sebagaimana bungah-susah. Sepaket sudah. Namun kita disibukkan untuk terus mengkotak-kotakkan apa saja yang ada di sekeliling kita bahwa; eling itu tidak berkaitan dengan waspada; bungah tak ada hubungannya dengan susah; sifat wajib Rasul—siddiq, amanah, tabligh, fathonah— tidak lagi dirangkai sebagai step by step dalam meniti kehidupan.

“Bagaimana kita bisa amanah kalau tidak siddiq? Bagaimana bisa tabligh kalau tidak amanah? Kalau ketiganya belum kita miliki, bagaimana bisa fathonah, Cak? Heuheu….”

Ya begitulah, Jud. Sejak kecil kita memang diajarkan sifat-sifat Rasul, namun tak diberitahu akan rangkaian-rangkaian yang seperti itu tadi. Toh kesibukan kita kan memang mengkotak-kotakkan seperti itu, Jud.”

Di antara banyaknya persamaan antar kita, entah sebagai manusia atau sebagai hamba-Nya, selalu saja kita coba nyari celah-celah perbedaannya. Kita sama-sama Muslim, tapi sibuk membedakan Muslim yang NU atau Muhammadiyah, dan seterusnya. Setelah terbedakan jenis-jenisnya, barulah kita pilih-pilih siapa yang harus dijunjung dan siapa pula yang harus dijatuhkan, siapa yang harus dibantu dan siapa yang harus dibiarkan saja.

“Begitu kok pingin bahagia. Bahagia ndasmu kui. Kalau masih saja terpenjara dengan emosi dan hasrat, ya ndak bisa disebut bahagia, Jud.”

Bukannya bahagia itu hadir ketika keinginan sudah tercapai seperti yang tadi kita omongkan, Cak?”

Rupanya bahagia bagi Cak Slamet bukan semata-mata ketika tercapai keinginan kita. Itu sekadar puas atau senang, bukan bahagia. Lebih jauh dari itu, bahagia adalah ketika tiadanya rasa yang mengganggu di dalam kita. Tiadanya rasa tak enak. Tapi tidak bertumpu pada kesenangan belaka, sebab sebaik-baiknya bahagia adalah ketika mampu mengkondisikan semua emosi menjadi netral.

Kesenangan mungkin jadi bagian dari bahagia, tapi bahagia tak melulu tentang senang-senang saja. Hal-hal diluar kita yang disebut mengganggu atau tidak itu sifatnya subjektif, tergantung dari kepentingan, keinginan, dan kebutuhan kita. Walaupun subjektif, menurut Cak Slamet ada indikator orang disebut bahagia. Demikian pula dengan jalan-jalan yang bisa ditempuh untuk mendapat kebahagiaan itu sendiri.

“Lantas bagaimana orang bisa disebut bahagia, Cak? Untuk menempuhnya juga bagaimana?”

“Kamu ini kalo mau ngobrol banyak mbok bawakan aku rokok atau molen coklat di kampung sebelah itu. Masam mulutku kalo ndak ada apa-apa gini, Jud.” Cak Slamet menyindir Judy yang cuma dibalas dengan cengengesan saja.

Memang ndak sopan si Judy ini. Sowan ke Cak Slamet yang kondang dan solutif kok ndak mau bawa cemilan. Mungkin gara-gara sibuk jadi aktivis kampus, sampai lupa tata krama dengan yang lebih sepuh.

Semoga saja di perjumpaan kedepan si Judy mau bawakan sebungkus rokok bersama molen coklat, agar Cak Slamet dengan senang hati memberitahu kita perihal indikator orang bahagia beserta jalan-jalan untuk menempuhnya.

Editor: Ainu Rizqi

Baca juga seri “Koma” lainnya:

 

 

 

 

 


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
2
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Duljabbar

Master

Alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang | Kini sedang mblakrak di Yogyakarta

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals