Koma 6 : Prioritas Laku Hidup
Sedangkan si Judy masih disibukkan dengan kuliahnya usai liburan. Mozaik ilmu yang dipelajari bersama Cak Slamet dan rekan-rekan dirasa cukup “membangun” dirinya menjadi manusia seutuhnya. Atau minimal, dia tahu bahwa sepertinya dia belum pantas disebut manusia.
Perkumpulan Cak Slamet dan rekan-rekan sebenarnya belum agak lama berlangsung. Yaa.. kalau saja dibagaikan seorang anak, usianya baru mau masuk PAUD. Di dalamnya pun tak terlalu banyak orang: Cak Slamet, Kang Dar, Kang Mbél, Cak Nuk dan Judy yang baru-baru ini ikut melingkar.
Oh, nama-nama yang disebut itu cuma mereka yang tak pernah tak ketemu dalam sehari. Wong mereka ini sekampung. Di luar mereka, sesekali turut juga para pemuda desa sebelah, para mahasiswa, tukang becak, petani, hingga para aktivis. Entah kenapa makin hari kok makin variatif yang ikut perkumpulan itu. Ya, walaupun sekali-dua kali seperti para aktivis itu.
Pernah dalam satu waktu, sekelompok aktivis (baca: mahasiswa organisasi) main ke markas Cak Slamet dan rekan-rekan. Mereka hendak mengajak diskusi perihal kehidupan ekonomi dan sosial rakyat Indonesia. Duh, dalem sekali sepertinya.
“Sampean ini profesinya apa, Cak? Kok bisa nama perkumpulan sampean ini tenar sampai ke telinga kami,” tanya si Alex, ketua rombongan aktivis itu.
Belum saja Cak Slamet menjawab, Kang Dar menyahut duluan, “Sepenting apa sampean tanya profesi Cak Slamet? Apa harus punya profesi terpandang dan mapan untuk berbuat baik?” Cak Slamet cuma mesem.
“Bukannya begitu, Mas. Mungkin topik obrolan yang kami bawa nanti bisa kami sesuaikan dengan apa profesi Cak Slamet. Polisi kah? dokter kah? guru, atau apapun itu. Nanti kan kami bisa menyesuaikan”.
Kang Dar nampak emosi menghadapi rombongan aktivis itu. Bukannya mengapa, kumpulan Cak Slamet ini kan memang bukan penggerak roda sosial. Bukan komunitas atau organisasi yang sah. Melainkan “cuma” organisme yang dicap orang-orang sebagai kelompok Jarkoni, iso ujar raiso nglakoni (bisa berujar tapi tak bisa melakukan).
“Sudahlah, Dar. Biarin dia tanya”. Cak Slamet menenangkan Kang Dar. Lantas dilanjutnya, “Aku ini bukan siapa-siapa, Mas. Aku bukan orang profesional dalam segala hal. Aku bukan guru, bukan dokter, apalagi pejabat,” jawabnya pada si Alex.
“Terus kesibukan sampean apa, Cak?”
“Aku menyibukkan diri buat nulis, bermusik, juga ikut andil dengan Kang Mbél itu (menunjuk Kang Mbél di sudut ruangan) dalam perkopian. Dan tentunya, membersamai teman-teman di sini; entah sekadar ngopi, diskusi, dan semacamnya”.
“Sudah punya berapa buku, Cak? Sudah berapa album musik-musik sampean? Dan sudah semapan apa bisnis kopi sampean?”, Si Alex terus mencecar pertanyaan.
“Tulisanku kusimpan sendiri, ndak kubukukan. Cukup kubaca sendiri, atau mungkin teman-teman di sini turut juga membaca. Begitu juga musikku, baru beberapa lagu yang kupublikasikan. Selebihnya, untuk kunikmati sendiri.”
“Bisnis kopinya gimana, Cak?”
“Bisnis?” Cak Slamet menegaskan.
“Iya, bisnis”.
“Kuanggap itu bukan bisnis, kok. Cuma kebetulan aku sama Kang Mbél suka kopi, dan ingin mengenalkan kopi ke orang-orang. Biar tahunya bukan kopi sachetan aja.”
“Lah kok ndak dibesarkan sekalian, Cak?”
“Memang gimana kalau udah besar warungnya?”
“Ya nanti sampean dapat profit lebih banyak”.
“Terus, kalau sudah banyak profitku?”
“Ya sampean bisa memenuhi kebutuhan sampean lebih baik, Cak”.
“Kebutuhan? Kalau untuk kebutuhan, aku sudah merasa cukup, kok”.
“Ah, begini, nanti sampean kalau ingin apa-apa tinggal beli”. Alex mulai gugup.
“Kukira ndak usah sampai situ. Kayak gini aja sudah enak. Bisa ngopi, ngudud, makan, nyari ilmu ke teman-teman. Kok mati-matian berbisnis pengen kaya, ya buat apa”.
“Nanti kan kalau sampean kaya, sampean bisa dihormati orang, Cak.”
“Terus kenapa kalau dihormati? Aku ndak perlu dihormati, kok. Wong aku ini ya cuma orang biasa. Bukan orang kaya, pejabat, cendekiawan, apalagi orang alim. Ndak dihormati ya ndakpapa, yang penting kuusahakan berbuat baik ke siapa pun, di mana pun, kapan pun”.
Bagi Cak Slamet, memang ini sudah bolak-baliknya zaman. Kalau dulu, urutan orang yang paling dihormati: orang alim—dalam hal agama, seperti Brahmana, Ulama, Pastor, dsb.—dan orang baik, cendekiawan, penguasa, lalu Orang Kaya. Prioritas laku hidup leluhur kita bukan semata-mata materi duniawi. Kaya harta bukanlah sesuatu yang amat dihormati dan dihargai dalam hidup mereka.
Entah kalau sekarang. Cak Slamet melihat prioritas hidup manusia memang sudah terbalik. Berlawanan dengan leluhur, mereka mengagung-agungkan kekayaan dan Orang Kaya. Bahkan, para orang—yang mengaku—alim dan cendekiawan pun berebut kekuasaan. Yang tak lain sebagai jalan menjadi Orang Kaya.
“Begitu menurutku, Mas Alex. Tentu saja omonganku tadi banyak salahnya. Sampean sebagai kelompok aktivis tentunya lebih tau tentang pola sosial masyarakat sekarang”.
Alex masih diam, sejak Cak Slamet menjelaskan pendapatnya tentang prioritas hidupnya. Nampaknya dia sadar, yang dipikir-pikirkannya itu harusnya dibalik. Baik dahulu, pandai dahulu, kaya harta urusan belakangan.
“Duh, saya jadi merasa bersalah, Cak. Maaf kalau ndak sopan perihal pertanyaan-pertanyaanku tadi, Cak. Memang harusnya prioritas hidupku bukan sebagaimana kutanyakan pada sampean tadi”.
“Santai, Mas. Wong kita ini masih sama-sama belajar, kok. Ndak ada salahnya kita yakin sama sebuah hal, toh kita ndak akan tau itu benar atau salah kalau memang belum waktunya”, pungkas Cak Slamet.
Ah, andai saja si Judy ikut dalam obrolan itu. Tentunya akan lebih asyik, golongan Mas Alex sebagai aktivis bertemu dengan Judy si apatis.
“Ndak umum memang kelompok Jarkoni-nya Cak Slamet ini. Kukira se-apatis yang orang-orang bilang. Nyatanya, mereka bergerak dengan menyadarkan hati orang yang memang mau mencari”, Cakap Alex pada rombongannya sewaktu perjalanan pulang.[SW]
Baca juga seri “Koma” lainnya:
- Koma 1: Negeri itu Bernama “Media Sosial”
- Koma 2: Pseudo Merdeka
- Koma 3: Dislokasi Kebenaran
- Koma 4: Dari Cinta hingga Kecewa
- Koma 5: Sinkronisasi Harapan
Editor: Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Anda juga membaca kumpulan cerpen menarik lainnya di sini! Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju cerpen ini menarik!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
2 Comments