Sinkronisasi Harapan

'karepe, kudune, nyatane' (harapnya, harusnya, nyatanya) yang kurang lebih artinya kita ini hidup ndak semata-mata berdasarkan karepe kita, melainkan pada kudune3 min


1
1 point
Ilustrasi : Mardian Alfajrina Saputri

Koma 5

Usai Judy dipupuskan harapannya oleh si dia yang sudah mau menikah, Judy masih belum menemukan makna apa yang tersirat dibalik itu semua. Oke lah, mungkin orang-orang berprasangka bahwa Judy itu budak cinta (bucin). Padahal, siapa yang bisa menyangkal bahwa sewaktu-waktu seseorang bisa diperbudak oleh cinta? Bukannya tiap orang itu berpotensi untuk mencintai dan dicintai? Bahkan untuk membenci dan dibenci?

Judy mungkin sudah melepaskan, tapi dirasa-rasa ia belum bisa merelakan. Bagi lingkaran Judy, melepaskan atau melupakan bukanlah sama dengan merelakan. Bukannya kalau kita semakin berusaha melupakan, justru semakin sulit untuk melupakan? Sebab dengan berusaha melupakan, kita akan mengingat-ingat apa yang harusnya dilupakan.

Terlebih lagi, Judy betul-betul dibikin overthinking oleh pertanyaan reflektif Cak Slamet kemarin, “yang bikin kamu kecewa sama seseorang itu, apakah karena kamu kecewa dia mengingkarimu? Atau karena kamu saja yang berharap terlalu banyak? Atau jangan-jangan, kamu salah menyandarkan harapan pada sesuatu yang bukan sepatutnya disandari?”

Di kamar kosnya, Judy bergelut habis-habisan dengan pikirannya sendiri. Apa yang dikatakan Cak Slamet perihal harapan, Judy bertanya pada dirinya sendiri, “mengapa harapanku seringkali bertolakbelakang dengan kenyataan?” atau “mengapa aku kecewa bila kenyataannya tak sesuai harapanku?” hingga “bila sampai aku kecewa, maka ‘seharusnya’ itu bagaimana?” Sebagaimana biasanya, Judy langsung beranjak dari rebahnya dan mengenakan sarung andalannya untuk menuju ke markas.

Sementara di perjalanan, Judy menyiapkan segudang pertanyaan yang sekiranya bisa diselesaikan di markas bersama Cak Slamet, atau minimal bersama Kang Dar dan rekan-rekan lainnya.

Assalamualaikum, Cak, Kang.” Judy sluman-slumun dan duduk diantara Cak Slamet dan rekan-rekan yang tengah asyik ngobrol. Semua serentak menjawab salam Judy.

“Jadi, Cak, bagaimana dengan harapan itu tadi? Setetes yang aku tahu, ada sebuah falsafah Jawa, ‘karepe, kudune, nyatane‘ (Inginnya/harapnya, harusnya, nyatanya) yang kurang lebih artinya kita ini hidup ndak semata-mata berdasarkan karepe kita, melainkan pada kudune. Nah, yang dimaksud kudune itu apa, toh, Cak?” Tanya Kang Dar disela-sela obrolan.

“Begini, Dar. Karep itu kan ya sesuatu yang kamu inginkan untuk menjadi kenyataan. Asalnya darimana?,bisa dari kebutuhanmu, atau sekadar nafsumu untuk dipandang ‘wah’ oleh orang lain. Mungkin untuk falsafah ini, aku menyetarakan antara harapan dan kebutuhan sebagai ‘karep‘, ya meskipun kita sendiri masih sukar membedakan mana yang kebutuhan dan mana yang cuma keinginan.”

Bila dilihat-lihat, karep itu subyektif. Tergantung dari kondisi masing-masing individu, atau mungkin juga dari kelompok/golongan tertentu. Misalnya, ada sekelompok orang yang ingin dan butuh si A untuk jadi presiden. Eh, ndilalah si B lah yang jadi presiden.

Urusan kecewa atau tidaknya seseorang, tergandung bagian “kudune” seperti apa yang dia pahami. Sepandai apapun manusia merumuskan, menghitung-hitung, atau merasionalkan “kudune“, takkan ada apa-apanya dengan “Kun Fayakun” milik Allah.

Silakan kalau kamu ingin dan mengharuskan si A jadi presiden. Tapi kalau Allah bilang si B saja yang jadi presiden, kamu bisa apa?,silakan kalau kamu ingin dan mengharuskan si A untuk kelak menjadi istrimu. Tapi, kalau Allah bilang si A bukan untukmu, kamu bisa apa?

Kudune” menurut manusia dan “kudune” menurut Allah memang tak bisa dipastikan kecocokannya. Sebagai kepastian yang haq, maka kita gunakan istilah “kudune” dengan makna “sesuatu yang dikehendaki-Nya”.

Cah, kalau selama ini kita belajar untuk ndak memaksa orang lain mencintai kita, maka kenapa kita tak menagih diri kita untuk mencintai orang lain?,atau untuk hubungan vertikalnya, mengapa kita tak menagih diri kita untuk ridho kepada-Nya sebelum kita meminta untuk diridhoi-Nya?”

Judy cuma menunduk dan mengangguk sedari awal datang. Mungkin obrolan kali ini begitu membantu Judy yang terus-menerus bergelut dengan pikirannya sendiri. Tak cuma Judy, hadirin di markas nampak sangat khusyuk tapa ing rame, bersemedi ditengah-tengah ramainya obrolan diskusi. Bukan sekadar diam, melainkan melihat diri jauh lebih dalam.

Ridho kepada Allah itu bagaimana, Cak? Setahuku di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus itu mengajarkan kita hidup untuk mencari ridho Allah” tanya Kang Dar.

Ridho itu kerelaan, perkenan, atau penerimaan pada sesuatu/seseorang yang lain, Dar. Masak kita ini nyari cinta-Nya Allah, tapi kita sendiri masih sambat atas kenyataan yang diberikan-Nya. Gimana Allah mau meridhoi kita?”

Salah satu kunci untuk menyinkronkan kehendak kita dengan kehendak Allah adalah dengan meridhoi apa-apa yang sudah diberikan-Nya kepada kita.

Misalkan saja kamu sebagai bapak mempunyai dua anak; yang satu penurut, ndak pernah rewel minta ini-itu, dan selalu menerima apa yang kamu berikan padanya. Dan anak kamu yang satu lagi bukan penurut, selalu rewel minta ini-itu, dan selalu merasa kurang atas apa yang kamu berikan.

Suatu hari, dua anak itu meminta sesuatu yang nilainya sama. Mungkin kamu sanggup memberikannya secara finansial. Namun dari perasaan kamu, kepada siapakah kamu lebih ridho memberikan sesuatu itu? Apakah kepada anak yang penurut, ndak rewel, dan neriman?,atau kepada anak yang rewel dan ndak pernah merasa cukup?”

“Allah itu sebenarnya banyak ngasih kita kemudahan, lho, Cah. Tapi ya kita-kita ini aja yang ruwet, rewel, sukar neriman, dan lain-lainnya itu.” pungkas Cak Slamet.

Judy yang tadinya datang dengan kebingungan, kini pulang dengan keheranan. Tadinya datang dengan segudang pertanyaan yang ingin diudar, malah sudah terjawab bahkan sebelum dia mempertanyakannya.

Judymisuh-misuh sambil menertawai dirinya sendiri. Overthinking yang selama ini dia hadapi, sirna sudah dengan ucapan, “Oh, iyo yo  …” atau “Yowis ngonokae ….” Dengan artikulasi dan mimik wajah keheranan, tentunya.

————————

Seri “Koma” merupakan kisah kasih perkopian Cak Slamet bersama rekan-rekannya, yang ngrasani isu sosial, politik, budaya, dsb. dengan bahasa yang akrab digunakan ‘Kaum Ngopi‘.

Baca juga seri “Koma” lainnya:

Editor: Ahmad Mufarrih
 _ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Anda juga membaca kumpulan cerpen menarik lainnya di sini! Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju cerpen ini menarik!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

1
1 point

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
2
Sedih
Cakep Cakep
6
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
10
Suka
Ngakak Ngakak
1
Ngakak
Wooow Wooow
5
Wooow
Keren Keren
5
Keren
Terkejut Terkejut
2
Terkejut
Bon Jabré

Master

Alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang | Kini sedang mblakrak di Yogyakarta

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals
situs toto toto 4d toto 4d toto 4d idnslot slot88 toto 4d toto 4d togel viral dana toto scatter hitam