Pancasila dalam Perspektif Tafsir Maqashidi

Pancasila merupakan ijtihad politik dari para founding fathers yang sama sekali tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi3 min


2
2 points
Transsulawesi

Masih saja ada orang yang belum mau mengakui bahwa Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, karena menurutnya tidak sesuai dengan syariat Islam. Bahkan ada pula yang menganggapnya sebagai thaghut (berhala) yang harus segera diganti dengan dengan sistem khilafah dalam rangka tathbiq al-syari’ah (penerapan syariat Islam).

Tulisan ini mencoba memberikan ulasan akademis dengan perspektif Tafsir Maqashidi sebagai basis epistemologi atas kesesuaian Pancasila dengan syariat Islam.

Secara sederhana tafsir maqashidi adalah tafsir yang berbasis pada teori Maqashid Al-Qur’an dan Maqashid al-Syari’ah. Jadi, validitas produk tafsir maqashidi dapat dilihat seberapa jauh tingkat kohorensi atau kesesuaiannya dengan teori maqashid.

Maqashid al-Qur’an, secara sederhana dapat diartikan sebagai tujuan atau maksud dari Al-Qur’an diturunkan kepada manusia. Al-Qur’an itu diturunkan bukan untuk membuat manusia celaka, melainkan agar manusia memperoleh kemaslahatan. (Q.S. Thaha:2).

Dalam hal ini Dr. Abdul Karim Hamidi dalam kitab al-Madkhal ila Maqashid al- Quran, hlm. 135, memetakan Maqashid Qur’an menjadi tiga poin. Intinya, bahwa seluruh tuntunan ajaran Al-Qur’an selalu diorientasikan kepada upaya terwujudnya kemaslahatan yang meliputi: (1) al-shalah al-fardi (kemaslahatan yang bersifat personal), (2) al-shalah al-ijtima’i (kemaslahatan yang bersifat sosial- komunal), dan (3) al- shalah al-‘alami (kemaslahatan yang bersifat mendunia/meng-global).

Sementara itu, Maqashid al-Syariah adalah rincian lebih lanjut dari Maqashid Al-Quran, yaitu bahwa semua tuntunan syariat Islam dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan lima hal, yaitu: 1) hifzh al-din (menjaga  agama), 2) hifzh al nafs (menjaga jiwa), 3) hifzh al-aql (menjaga akal-rasio) 4) hifzh al-nasl (menjaga generasi) dan 5) hifzh al-mal (menjaga harta atau properti). Demikian, penjelasan singkat Imam al-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Penulis menambahkan dua poin lagi, yaitu hifzh al- daulah (menjaga negara) dan hifzh al-bi’ah (menjaga lingkungan alam).

Pertanyaannya, bagaimana nalar epistemik bahwa Pancasila itu sesuai dengan Islam? Berikut ini penjelasan sederhananya.

Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu berarti bahwa kita mengakui Tuhan Yang Esa.Sikap bertauhid adalah fondasi utama dalam menjaga agama (hifzh al-din). Hal ini dapat dijustifikasi antara lain oleh Q.S. Al-Ikhlas 1-4. Dari basis tauhid yang secara teologis mengakui keesaaan Tuhan, berimplikasi pada kesadaran tinggi untuk memanusiakan manusia yang sama-sama dicipta Tuhan dari nafs wahidah jiwa yang satu (Q.S. al-Nisa’: 1).

Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ini merupakan pengakuan terhadap aspek kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi dengan keadilan dan keadaban. Semua manusia harus dihargai jiwa dan hak-haknya. Maka, tidak boleh ada praktik de-humanisasi. Al-Qur’an jelas sangat menghargai harkat dan martabat kemanusiaan.

Itulah makna lain dari hifzh nafs (menjaga jiwa dan eksistensi manusia) yang dalam diskursus pemikiran Islam  kontemporer disebut dengan istilah karamatul insan (kemuliaan manusia). Al-Qur’an juga tegas menyebut bahwa manusia telah dimuliakan oleh Allah Swt dengan segala fasilitas rizki dan alat transportasi. (Q.S.al-Isra’: 70).

Sila Ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini adalah transformasi dari makna hifzh nasl (menjaga keturunan generasi). Mengingat bahwa persatuan adalah keniscayaan bagi keutuhan dan eksistensi generasi bangsa Indonesia. Kita sadar betul bahwa suku bangsa dan bahkan agama sangat plural. Maka hal ini harus dirawat dan dikelola dengan baik, agar membawa rahmat. (Q.S. al-Hujurat:13).

Sebaliknya, konflik dan pertengkaran yang seringkali menelan korban, jelas akan mengancam generasi kita di masa yang akan datang. Itu sebabnya Al-Qur’an, mengingatkan pentingnya kesadaran bahwa kita mesti bersatu, sebab kita juga berasal dari sumber yang satu. Di samping itu, Al-Qur’an mengingatkan bahaya tafarruq (bercerai-berai) dan tanazu’ (konflik dan bertengkar) yang membuat kita akan sengsara, tidak berwibawa dan akan mengancam bagi eksistensi generasi bangsa ini. (Q.S. Ali Imran: 103 dan al-Anfal: 46)

Sila Keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Sila ini adalah transformasi dari hifzh aql (menjaga akal), sebab dengan melakukan musyawarah yang penuh hikmat dan sikap bijaksana, sesungguhnya kita telah menjaga akal kita.

Musyawarah pasti menggunakan pemikiran dan tukar pendapat untuk memilih mana pandangan yang paling baik. Segala keputusan yang telah dimusyawarahkan niscaya akan menghasilkan kemaslahatan bagi bagi kepentingan umum. Al-Qur’an menegaskan bahwa hendaknya urusan mereka selalu diputuskan berdasar musyawarah. (QS. Al Syura: 38).

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila kelima ini adalah transformasi dari hifzh al-mal (menjaga harta). Bahwa seluruh kekayaan negara dan tanah air harus dikelola oleh pemerintah dengan baik demi mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama.

Al-Qur’an sangat menekankan tegaknya nilai keadilan, sebab kesiapan itu lebih dekat kepada nilai takwa. (Q.S. Al-Maidah:8). Ketika nilai-nilai keadilan dan kemakmuran menjadi nyata, maka itulah gambaran negara yang adil makmur, sebagai mana disebut Al-Qur’an dengan istilah baldatun thayyibah wa rabbun ghofur. (Q.S. Sama’ :15).

Jadi, dengan demikan perlu ditegaskan sekali lagi bahwa Pancasila merupakan ijtihad politik dari para founding fathers yang sama sekali tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, bahkan sejalan dengan substansi ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam teori tafsir maqashidi.

Lebih dari itu, bahwa Pancasila itu merupakan kesepakatan dari seluruh komponen anak -anak bangsa, sebab dasar kita berbangsa dan bernegara. Melanggar janji kesepakatan justru bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Last but not least, Pancasila is not religion, but Pancasila does not contradict to any religion.

_ _ _ _ _ _ _ _ _

Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

2
2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
10
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
3
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag.
Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag. adalah Guru Besar Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa LSQ (Lingkar Studi al-Qur’an) ar-Rohmah Yogyakarta.

4 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals