Sungai Oenasi, pada suatu sore tahun 1982, ditemukan sesosok mayat perempuan, yang mengapung di sekitar anak tangga menuju sungai. Perempuan itu adalah Neta, yang sejak pagi tadi mencuci setumpuk pakian di sekitar mata air.
Alkisah, beberapa saat setelah kejadian tersebut, warga mulai berkumpul.
“Ini sudah mayat ke 12 yang mati di sungai ini.”
“Mengerikan!”
“Bahkan Neta yang tidak tahu apa-apa, yang setiap hari menjual bawang di pasar pun ikut jadi korban!”
Tak seperti penemuan mayat-mayat sebelumnya yang segera diangkat oleh warga dari sungai, kini mereka hanya berdiri di atas jembatan, sambil melihat kearah mata air dengan raut wajah yang ketakutan.
“Jelas ini bukan kematian biasa.”
“Jadi benar apa yang dikatakan kakek Amle’ut? Neta mati ditangkap kuntilanak di sekitar jembatan, sama seperti yang terjadi pada orang-orang sebelumnya?”
Begitulah kabar yang beredar di sebuah kampung kecil bernama Oenasi.
Baca juga: Kertas Azimat Penanda Mitologis Paling Laris
Seorang kepala kampung bernama kakek Amle’ut memberi penjelasan perihal kematian misterius yang terjadi selama beberapa hari terakhir.
“Kalau kalian mencuci atau mengambil air di sungai ini saat sore hari, kalian memang akan melihat seorang perempuan berambut panjang yang adalah penunggu tempat ini. Ia adalah korban pertama yang mati saat terjatuh dari tangga yang mengarah ke mata air itu. Ia bernama Mery. Perempuan yang mati saat hamil 8 bulan. Ia kemudian berubah wujud menjadi kuntilanak. Sejak saat itu, tempat ini menjadi angker.”
“Kuntilanak itu kini tinggal di pohon besar di ujung tangga itu. Ia memang sering turun ke mata air saat sore hari. Ketika kalian melihat dia menuruni tangga-tangga itu, kalian akan dibawa ke langit, dan hanya badan saja yang akan kembali ke bumi, sementara jiwa kalian akan menjadi tawanannya. Percayalah dan ikuti nasihat saya.”
Awalnya warga tak begitu percaya dengan ucapan kakek Amle’ut yang suka meneguk sopi rote hingga mabuk itu, tapi kematian demi kematian yang berurutan membuat penjelasan kakek Amle’ut terdengar masuk akal.
***
Mata air yang berada di sekitar gua peninggalan Belanda, yang ditutupi pepohonan mahoni yang rimbun, serta berada di dekat jembatan, memang sangat cocok jadi tempat tinggal para setan terkutuk itu. Bahkan berdasarkan cerita yang dituturkan secara turun-temurun oleh sesepuh di sini, nama Oenasi berasal dari kata “Oe” yang berati air, dan “nasi” yang berarti hutan.
Menurut cerita, dahulu Oenasi ditemukan oleh seorang perempuan yang sedang mencari kayu bakar di sekitar bukit. Ia terkejut ketika melihat ada seekor ular berkepala manusia yang keluar dari celah-celah batu besar di sepanjang tebing.
Baca juga: Hantu Gentayangan dalam Perspektif Hadis
Kata orang, ular itu bisa berbicara. Ia sering bernyanyi menjelang matahari terbenam. Suaranya mirip suara ayam yang sedang berkokok. Tak heran, warga di sini menyebutnya ular kokmanu (ular mirip ayam). Ular tersebutlah yang menunjukan mata air kepada perempuan itu.
Kita tentu tak perlu bertanya apakah benar ular itu berkepala manusia dan lain-lain. Sebab di zaman lampau ketika dongeng menyerupai kenyataan, banyak binatang berkepala manusia dipercaya begitu saja.
***
Kabar tentang kematian itu dengan cepat menyebar ke seantero kampung, ” Kakek Amle’ut juga bilang, biasanya kuntilanak itu muncul saat sore hari, jadi jangan ada yang berani mencuci di mata air ini saat sore hari. Apalagi menjelang mata hari terbenam. Jadi, jika ada keperluan, tunda dulu sampai esok pagi saja. Sebab bisa jadi kita akan bertemu dengan kuntilanak itu. Ia memang suka ke mata air ini menjelang mata hari terbenam.”
Sejak saat itulah, mata air yang sedianya menghidupi seluruh orang di kampung ini, dengan menyajikan pemandangan indah, dengan barisan pohon mahoni, suara ricik air, dan suara anak-anak kecil bermain seluncuran menggunakan pelepah kelapa saat kemarau, kini berbalik sangat mencekam.
Ketika sore hari, tak terlihat lagi aktivitas warga. Jembatan di seberang mata air yang menghubungkan Oenasi dengan kampung tetangga pun menjadi lenggang. Namun mereka tahu bahwa ini tidak menuntaskan seluruh masalah.
Baca juga: Aksara Laknat di Tengah Penat
Seluruh warga Oenasi lalu mengadakan pertemuan di depan sebuah gereja tua untuk mencari jalan keluar. Polisi, pendeta, camat, dan semua tokoh masyarakat ikut berkumpul. Mereka berunding cukup alot.
“Ini tidak masuk akal, pembunuhan oleh kuntilanak itu jelas sebuah omong kosong. Mana ada perempuan yang sudah meninggal, bisa membunuh manusia? Ini tidak sesuai dengan kepercayaan agama,” kata pak pendeta.
“Apa kau yakin kuntilanak itu pembunuhnya?”, tanya pak camat.
“Kan kakek Amle’ut pernah bilang begitu”, sambung seorang pemuda kampung bernama Noger.
“Kakek Amle’ut hanya bilang, orang-orang yang mati itu karena jiwa-nya diangkat ke langit, tapi tidak bisa memastikan kalau kuntilanak itu yang membantai orang-orang itu.” Seorang Polisi berinisial J.O menimpali.
Mendengar kata “dibantai”, beberapa peserta rapat tampak terkejut dan berbisik satu sama lain.
“Jadi, mari kita langsung cari solusi, kita tidak bisa diam, kita harus melawan. Masing-masing silakan menawarkan ide.”
Perundingan semakin alot, satu per satu usul bermunculan, sementara mama-mama sibuk menyiapkan kopi dan pisang goreng bagi peserta rapat.
***
Malam sudah tiba, bintang-bintang adalah lampion waktu, cahaya purnama seperti memercik pada daun-daun pepohonan yang gemetar, seperti seremonial alam yang paling murni dan sabar.
Rapat telah selesai setengah jam lalu, warga sudah bubar dan kembali ke rumah masing-masing, ada yang melanjutkan perbincangan di depan rumah dan ada juga yang melanjutkan perbincangan di beberapa gang.
Hasil perundingan itu menghasilkan keputusan yang kelak akan menjadi titik balik sejarah mata air Oenasi:
Warga memutuskan akan menebang beberapa pohon besar di ujung tangga itu, setidaknya untuk merusak tempat tinggal kuntilanak penunggu mata air itu.
Baca juga: Mengenang Filosofi Hidup Mbah Maridjan
“Kita harus menebang pohon-pohon di sekitar tangga dan mata air itu,” kata sang pemimpin rapat.
Keputusan yang sebenarnya kontroversial itu langsung dijalankan keesokan harinya. Warga yang awalnya sangat mencintai sungai dan menjaga mata air Oenasi, tiba-tiba berubah menjadi warga paling jahat terhadap alam. Pohon-pohon ditebang. Mama-mama suka membuang bungkusan sabun di sekitar mata air. Tak ada lagi rasa cinta terhadap alam.
Waktu demi waktu berlalu, kualitas dan kuantitas air sungai mulai berubah, hijaunya pepohonan perlahan memudar. Dan, mereka ternyata berhasil. Ketika air sungai semakin keruh, tak ada lagi kematian di sekitar mata air itu. Menurut kabar beberapa orang, kuntilanak itu kini sudah berpindah ke batu besar di ujung tanjakan menuju kampung yang lain.
Kakek Amle’ut telah mengonfirmasi bahwa mata air Oenasi kembali aman. Hari itu juga menjelang matahari terbenam, warga berkumpul di ujung jembatan untuk merayakan keberhasilan mengusir kuntilanak, tak ada lagi rasa takut, anak-anak kecil bergembira, mama-mama bersyukur, dan pemuda-pemuda sibuk meneguk sopi.
Namun satu bulan kemudian, masalah lain muncul. Sebuah masalah baru yang memaksa warga kembali melakukan rapat.
“Kuntilanak itu sudah pergi. Jadi, ada yang tahu bagaimana caranya membuat mata air kembali bersih dan tak mengecil seperti itu?” Tanya salah seorang warga.
Mereka saling berbisik, seperti memikirkan sesuatu yang jauh lebih berat dari sebelumnya.
“Sejak bulan lalu kita sudah berhenti menebang pohon dan tidak membuang bekas bungkusan sabun lagi di sekitar mata air, tapi airnya belum berubah juga. Apakah ini semacam kutukan dari kuntilanak?”
“Sudah, jangan bicara kutukan lagi!” Balas warga lainnya.
“Mana kakek Amle’ut, dalam keadaan begini dia justru tidak muncul!”
“Ayo, siapa yang waktu itu mengusulkan untuk menebang pohon dan membuang bekas bungkusan sabun di sungai kita? Sekarang harus bertanggungjawab!”
Suasana rapat berangsur ramai. Bahkan ada beberapa orang yang berdiri dari kursinya. Sebagian orang saling menuduh. Pemimpin rapat coba melerai mereka.
Baca juga: Keharusan Menjaga Keseimbangan Alam dan Manusia dalam Beragama
“Tenang. Tenang. Itu adalah keputusan bersama. Mata air akan tetap menjadi mata air, apa pun kondisinya. Sekarang kita hanya perlu merawat pohon-pohon yang masih tersisa, dan membersihkan bungkusan sabun di sekitar mata air, itu tanggungjawab kita. Dan satu hal, sebaiknya jangan ceritakan pada keturunan kita, bahwa dulunya mata air dan sungai itu pernah jernih. Setuju?”
Warga berpandangan, tak tahu harus setuju atau tidak. Namun begitulah akhir dari rapat kedua yang tampak tak begitu memuaskan.
Orang-orang pulang dengan perasaan beragam. Sementara itu, sungai yang bersumber dari mata air yang kian menyusut itu tetap mengalir. Meski tak sejernih dan tak sebesar dulunya. Sungai itu tak hendak mengutuk siapa pun, ia membiarkan segala kenangan indah tentang air yang jernih, anak-anak yang dulunya bermain, mandi, membuat kolam di sepanjang aliran sungai itu muncul dan hilang bersama alirannya yang kian mengecil, entah sampai kapan. []
Baca juga cerpen-cerpen lainnya di sini!
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments