“Abang salat Jumat dulu, ya.”
“Ihh ganteng deh abang!”
Celotehan macam itu pernah eksis beberapa tahun lalu. Lantas apa celotehan itu masih berlaku hari ini? Meluasnya wabah corona (COVID-19) membuat setiap negara mengubah kebijakan yang berkaitan dengan ruang publik, termasuk ibadah. Para pemuka agama telah menghimbau agar ibadah, untuk saat ini, lebih baik dilaksanakan di rumah, bukan di tempat ibadah umum. Hal itu bertujuan untuk menekan penyebaran virus corona yang dapat menyebar dari orang yang terjangkiti ke orang-orang di sekitarnya, meski gejalanya belum tampak.
Negara mayoritas Islam pun juga melakukan hal yang sama, yakni membatasi ibadah di ruang publik atau berjamaah. Salat lima waktu dihimbau agar dilaksanakan di rumah saja dan salat Jumat pun ditiadakan dahulu. Iran mengawali fatwa itu. Para ulama besar al-Azhar pun juga berfatwa demikian. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa tersebut, begitu juga NU dan Muhammadiyah.
Respon orang-orang umumnya beragam dalam menanggapi fatwa tersebut. Ada yang menerima karena memang melihat kondisi yang sedang tidak dimungkinkan dan toh yang berfatwa juga para ulama, yakni orang-orang yang berotoritas dalam hal keagamaan. Namun banyak juga yang justru menolak fatwa tersebut dengan dalih, “Jangan takut sama corona, cukup takut kepada Allah,” atau, “Justru karena adanya penyakit ini kita diminta untuk meningkatkan ketakwaan kita terhadap Allah.”
Di sini penulis tidak ada niatan untuk membela atau menyalahkan salah satu kelompok masyarakat itu namun sekadar ingin melihat fenomena ini secara apa adanya – sambil sedikit berfantasi biar asyik.
Memang sebuah ironi ketika orang-orang berkumpul dan berdoa bersama agar mereka dijauhkan dari penyakit tersebut padahal penyebaran wabah ini justru dari berkumpulnya orang-orang. Fatwa ulama besar pun tidak sampai ke para mubaligh kampung. Kegiatan salat berjamaah dan pengajian pun tetap berlangsung seakan-akan tidak terjadi apa-apa di dunia saat ini. Ya memang tidak apa-apa sih berkumpul selama tidak ada orang yang kena virus di perkumpulan itu. Tapi mari kita berfantasi di posisi mereka yang tetap berjamaah meski sudah ada larangan.
Baca juga: Ijtihad Kolektif di Akar Rumput yang Mendebarkan
Bagi mereka yang terbiasa salat berjamaah, tentu aneh rasanya jika diminta untuk tidak berjamaah. Ah, yang bener? Orang-orang yang terbiasa salat di awal waktu saja merasa gelisah ketika waktu salatnya diundur, apalagi yang terbiasa berjamaah. Waktu yang dihimbau untuk menunda ibadah berjamaah, yang awalnya hanya untuk dua minggu, menjadi sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Dua minggu saja sudah cukup untuk mengubah kebiasaan orang. Khawatirnya sehabis masa beribadah di rumah ini selesai, orang-orang yang awalnya berjamaah justru jadi malas untuk berjamaah ke masjid lagi karena sudah terbiasa salat di rumah selama masa wabah ini.
Tapi fatwa untuk beribadah di rumah ini nampaknya tidak terlalu polemik berhubung masih banyak juga orang yang lebih sering melaksanakan ibadah di rumah. Yang lebih polemik daripada itu tentu saja fatwa ditiadakannya salat Jum’at. Masa iya sih salat Jumat ditiadakan? Bisa-bisa hilang dong kegantenganku.
Hari Jumat merupakan hari spesial bagi kaum muslim. Kaum muslim diminta untuk berpakaian yang terbaik untuk melaksanakan salat Jumat – ben gantenge poll. Yang biasanya hanya salat di rumah jadi bisa ke masjid seminggu sekali untuk salat Jum’at. Apalagi anak-anak kos yang sangat bersungguh-sungguh menghadiri salat Jum’at karena ada nasi kotak gratis yang disediakan untuk para jemaah salat Jum’at.
Baca juga: Apakah Saya akan Mati karena Corona?
Tentu saja dengan fatwa ditiadakannya salat Jumat – meskipun demi menekan penyebaran wabah mematikan ini – membuat masyarakat merespon fatwa ini lebih keras. Imbauan ulama di awal sebenarnya jelas, bagi daerah dalam zona merah, yang berarti sudah ada kasus corona di sana, sebaiknya salat Jumat ditiadakan. Untuk daerah yang bukan zona merah pun diminta agar jemaah lebih berhati-hati. Namun karena tidak setiap orang mengetahui apakah tempat tinggalnya termasuk zona merah apa tidak, jadi ya imbauan ulama tersebut tidak terlalu dihiraukan. Yang jelas yang mereka tahu ada fatwa yang meniadakan salat Jumat, dan itu cukup jadi alasan untuk merespon balik fatwa tersebut.
Tentu aneh rasanya kalau sampai salat Jum’at ditiadakan, lebih aneh daripada fatwa meninggalkan salat lima waktu berjamaah di masjid dan cukup melaksanakan salat di rumah tadi. Hal itu karena masyarakat sudah terbiasa dengan ritual mingguan itu. Ada perasaan yang khas di hari Jum’at. Dampaknya banyak yang bersuara menolak fatwa tersebut. Khususnya anak kosan yang sangat menunggu salat Jum’at demi menghemat pengeluaran makan mereka. Akhirnya salat Jum’at di beberapa masjid tetap dilaksanakan.
Baca juga: Corona yang ditakuti: Disfungsi Sosial dan Egosentrisme Kesalehan
Tapi mari kita berfantasi lebih dalam lagi. Jika benar ini memang akhir zaman, jangan-jangan adanya wabah ini memang salah satu cobaan akhir zaman yang akan menimpa kaum muslimin. Ini ujian akhir zaman untuk keimanan! Jangan-jangan memang begitu adanya karena semenjak hadirnya cobaan wabah ini justru membuat masjid-masjid menjadi sepi. Apakah ini tanda bahwa keimanan manusia akhir zaman semakin berkurang?
Lagi-lagi ini hanya fantasi penulis terkait wabah mematikan ini. Tapi tenang, tidak salat Jumat dua minggu ke depan tidak menghilangkan kegantengan Anda, kok. Semoga kita selalu dalam lindungan-Nya. []
One Comment