Kam min ‘amalin yatashawaru bishuratin a’mal aldunya wa yashiru bikhusni anniyati min a’mal alakhirat, wa kam min ‘amali al akhirat tsumma yashiru min a’mal aldunya bi su’i alniyat.
“karena sebuah niat, pekerjaan akhirat hanya akan bernilai di dunia saja, pun sebaliknya, pekerjaan dunia bernilai akhirat. Dan itu karena niat.”
Kita tahu bahwa setiap pekerjaan tergantung pada niatnya. Secara tidak langsung hasil akhir dari sebuah pekerjaan dilihat dari niat awalnya. Namun pertanyaannya adalah hasil yang seperti apa yang dimaksud?
Karena setiap pekerjaan memberikan sebuah hasil akhir, maka tidak salah jika tidak sedikit dari setiap orang melihat hasil yang tampak dari pekerjaannya. Jika bekerja maka akan menuai hasilnya. Seperti halnya menanam, barang tentu akan menuai hasil panen jika siapapun mau menanam.
Dalam konteks kemanusiaan maka manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga rasa aman atas manusia lainnya. Jika demikian pekerjaan manusia adalah pelayanan.
Melayani kebutuhan manusia lain dengan berharap dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Sehingga rewadnya adalah kepuasan. Lantas apakah setiap orang, terutama saat ini, mengalami kepuasan-kepuasan yang dimaksudkan?
Jika seniman puas dengan hasil karyanya, arsitek puas dan merasa bangga dengan desain konstruksinya, guru (karena hari ini dianggap sebagai pekerjaan) puas dengan prestasi siswanya.
Atau hasil akhir dari sebuah pekerjaan ini adalah ketenangan? Karena merasa tanggung jawabnya sudah terpenuhi maka beban pun hilang, dan hasilnya adalah ketenangan. Jika demikian maka pekerjaan tidak hanya bernilai pelayanan tetapi juga pengabdian.
Pekerjaan juga dinilai sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan, alasannya jelas Wamaa Khalaqt al Jinna wa al insan illa liya’buduun, bahwa manusia dan jin diciptakan hanya untuk beribadah kepada Tuhan. Oleh karenanya pekerjaan manusia memiliki tendensi ibadah, hal inilah yang kemudian disebut pengabdian.
Pekerjaan sebagai pelayanan, pekerjaan sebagai pengabdian, pasti memiliki orientasi dan hasil yang berbeda pula. Di mana kebanyakan orang bekerja menumpuk segudang harta, pun bekerja untuk mengisi waktu luang saja, pun bekerja untuk menyatakan bahwa dirinya sebagai manusia mengemban tanggung jawab atas apa yang dikerjakan atau harus dikerjakan.
Ranahnya adalah totalitas, bekerja sepenuh hatinya, bekerja keras dan lain sebagainya. Istilah-istilah itulah yang kemudian menjadi motivasi bagi manusia. Dalam kondisi tertentu manusia harus memiliki perangsang (stimulus) untuk bekerja.
Namun di sisi lain manusia berjalan atas kondisi hatinya. Ungkapan yang sering didengar adalah “aku berjalan mengikuti arus saja.” Jika penilaiannya baik buruk maka akan tidak ada kondisi salah benar dalam hal ini.
Hal itu dikatakan baik saat ada kondisi jiwa yang menyerahkan sepenuh hati terhadap apa yang dirasa oleh hatinya sebuah kenyamanan. Oleh karena itu akan bernilai buruk ketika menjadi idealisme yang membabi buta.
Maka pilihannya adalah mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan, atau membuat dan mencari pekerjaan yang dianggap sebagai pemenuh kebutuhan? mengerjakan sesuatu sebagai kebutuhan hidup, dan bekerja sebagai penopang hidup.
Maka tidak salah jika manusia terkadang masih bingung menentukan perjalanan hidupnya. Satu hal yang setidaknya menjadi perenungan panjang adalah, seberapa dalam kita memahami tujuan dari apa yang kita kerjakan, secara umum bekerja adalah proses mencari penopang kebutuhan manusia, namun mengerjakan dengan sepenuh hati adalah proses pemantapan mensyukuri nikmat hidup dari-Nya.
0 Comments