Perlunya Kearifan Lokal dalam Memahami al-Qur’an

Harus disadari bahwa setiap hasil pemikiran manusia merupakan hasil bentukan dari lingkungan dan zamannya masing-masing, termasuk penafsiran al-Qur'an2 min


Abdullah Darraz pernah mengatakan bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci ibarat batu intan yang di setiap sudutnya memancarkan cahaya berbeda. Hal ini memberi pengertian bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci yang memiliki muatan multi-perspektif.

Berangkat dari fakta ini, maka tidak mengherankan apabila kajian al-Quran selalu mengalami perkembangan yang dinamis sesuai dengan perkembangan zaman.

Al-Qur’an sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam beberapa ayatnya berfungsi sebagai sumber utama ajaran Islam dan petunjuk umat manusia dalam menjalani kehidupan.

Fungsi ini meniscayakan bahwa al-Qur’an, tidak cukup apabila hanya dibaca, namun juga harus dipahami kandungan maknanya. Dalam upaya memahami makna al-Qur’an inilah, maka muncul berbagai macam penafsiran terhadapnya.

Namun demikian, satu hal yang perlu disadari terkait dengan penafsiran al-Qur’an adalah, bahwa al-Qur’an dan tafsir al-Qur’an merupakan dua entitas yang berbeda walaupun keduanya memiliki hubungan yang sangat lekat.

Apabila yang pertama merupakan kalam Allah yang bersifat mutlak dan suci, maka penafsiran terhadapnya merupakan hasil pemikiran mansuia yang bersifat nisbi dan profan.

Harus disadari bahwa setiap hasil pemikiran manusia merupakan hasil bentukan dari lingkungan dan zamannya masing-masing, tidak terkecuali penafsiran terhadap al-Qur’an.

Seorang mufassir, bagaimanapun akan terikat oleh ruang dan waktu ketika ia menafsirkan. Tafsir al-Qur’an, merupakan hasil dari proses dialog antara mufassir dengan ayat al-Qur’an di satu sisi, dan dialog antara mufassir dengan realitas yang dihadapinya di sisi yang lain, baik itu realitas tempat maupun waktu.

Kesadaran inilah yang harus tertanam di benak umat Islam, sehingga upaya untuk menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk hidup tidak boleh berhenti di satu zaman tertentu, maupun satu ruang tempat tertentu.

Al-Qur’an, sebagai kitab yang memuat ajaran yang bersifat universal harus senatiasa didialogkan dengan realitas yang terjadi, baik realitas tempat maupun waktu, sehingga adagium al-Qur’an salih li kulli zaman wa makan bisa benar-benar terwujud.

Berpijak dari alasan tersebut, maka tidak mengherankan apabila banyak mufassir modern-kontemporer yang menggunakan metode dan pendekatan baru dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.

Hal ini dilakukan agar al-Qur’an benar-benar bisa menjadi petunjuk yang selalu relevan dengan setiap perubahan, baik perubahan tempat maupun waktu.

Dalam konteks bangsa Indonesia, usaha untuk menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk hidup yang salih li kulli zaman wa makan bisa dilakukan salah satunya dengan mempertimbangkan local wisdom (kearifan lokal)dalam penafsiran.

Dalam pengertian ini, ayat-ayat al-Qur’an ditafsirkan dengan melihat dan mempertimbangkan wujud praktik budaya dan tradisi yang berlaku di Indonesia.

Budaya dan tradisi yang baik yang sudah berlaku di masyarakat digunakan untuk memperjelas maksud dari sebuah ayat. Dengan cara ini, pesan-pesan yang terkandung di dalam al-Qur’an bisa lebih dialektis dan membumi bersama budaya dan tradisi yang berlaku.

Contoh dari aplikasi penafsiran tersebut, misalnya terkait ayat-ayat yang berbicara tentang cara bersikap seorang anak terhadap orang tuanya, sebagaimana terdapat dalam surat al-Isra ayat 23-24.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil”.

Dalam konteks bangsa Indonesia, pemahaman terhadap kedua ayat tersebut akan lebih membumi apabila menyertakan kearifan lokal dalam penafsirannya.

Sebagai bangsa multikurtural, Indonesia memiliki beragam tradisi dan budaya yang berbeda dari bangsa-bangsa lain, termasuk tradisi dan budaya tentang bagaimana etika dan akhlak seorang anak terhadap orang tuanya, seperti mencium tangan, unggah-ungguh dalam berbicara, dan lain sebagainya.

Etika dan akhlak tersebut tentu saja tidak akan di jumpai dalam kitab-kitab tafsir klasik yang mayoritas berasal dari bangsa Arab. Dalam konteks etika dan akhlak, para mufassir Arab tentu saja menggunakan standar etika dan akhlak yang berlaku di dalam kebudayaan dan tradisi mereka.

Hal ini seringkali berimplikasi pada hilangnya tradisi etika lokal yang berlaku di masyarakat dan digantikan dengan tradisi etika yang berasal dari budaya mufassir.

Berpijak dari alasan tersebut, maka penafsiran al-Qur’an dengan local wisdom (kearifan lokal) sangat perlu dilakukan dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an, terutama ayat-ayat moral yang bersifat universal. Pendekatan semacam ini juga bisa diterapkan dalam memahami Hadis Nabi Muhammad Saw.

 


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Aizul Maula

Warrior

Mahasiswa S3 Studi Qur'an dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan DLB IAIN Surakarta

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals