Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang mengatur.
Dalam hukum dikenal sebuah istilah yang populer, yakni perbuatan atau tindak pidana. Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana. Pada dasarnya perbuatan atau tindak pidana dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.
Berbagai bentuk tindak kejahatan terus berkembang baik modus maupun skalanya, seiring berkembangnya suatu masyarakat dan daerah, serta dengan perkembangan sektor perekonomian, demikian pula semakin padatnya populasi penduduk maka perbenturan berbagai kepentingan dan urusan di antara komunitas tidak dapat dihindari. Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai kepentingan baik individu maupun kelompok bisa terjadi.
Pemerintah dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu memakai istilah “tindak pidana”, seperti juga ternyata dalam undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang pemberatasan tindak pidana korupsi sebagai contoh. Jadi pertanyaannya: sebenaranya apa sih tindak pidana itu? Tulisan ini akan memaparkan jawaban-jawaban dari pertanyaan mengenai pengertian, cara merumuskan, jenis-jenis dan subjek tindak pidana.
Defenisi Tindak Pidana
Perumusan atau defenisi tindak pidana telah banyak diciptakan oleh para serjana hukum pidana. Tentu diantaranya yang banyak itu, satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan, disamping adanya perbedaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tindak pidana diberi batasan sebagai berikut: “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”. Istilah “Tindak Pidana” sendiri dimaksudkan dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Belanda “Strafbaar Feit” atau “Delict”.
Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu Hukum Pidana, latar belakang orang melakukan tindak pidana dapat dipengaruhi dari dalam diri pelaku yang disebut indeterminisme maupun dari luar diri pelaku yang disebut determinisme.
Cara Merumuskan Tindak Pidana
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (bahasa Belanda: Wetboek van Stafrecht, umum dikenal sebagai KUH Pidana atau KUHP), juga di dalam perundang-undangan pidana yang lain, tindak pidana dirumuskan di dalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa di bidang hukum pidana kepastian hukum atau lex certa merupakan hal yang esensial, dan ini telah ditandai oleh asas legalitas pada pasal 1 ayat 1 KUHP. Meskipun di sisi lain untuk benar-benar mengetahui apa yang diamaksudkan di dalam pasal-pasal itu masih diperlukan penafsiran lagi.
Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya dirumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana.
Dalam buku II dan III KUHP Indonesia terdapat berbagai cara atau teknik perumusan perbuatan pidana, yang menguraikan perbuatan melawan hukum, yang dilarang atau yang diperintahkan untuk dilakukan, dan kepada siapa yang melanggarnya atau tidak menaatinya yang diancam dengan pidana maksimum.
Selain unsur-unsur perbuatan yang dilarang dan yang diperintahkan untuk dilakukan dicantumkan juga sikap batin yang harus dipunyai oleh pembentuk delik agar ia dapat dipidana. Secara umum dalam KUHP terdapat 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana :
(1) Dari Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan Kualifikasi Tindak Pidana
Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan, yakni:
a. Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaman Pidana
Cara pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini diguanakan terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok/standar, dengan mencantumkan unsur-unsur objektif maupun unsur subyektif. Dalam hal tindak pidana yang tidak masuk dalam kelompok bentuk standar di atas, juga ada tindak pidana lainnya yang dirumuskan secara sempurna demikian dengan kualifikasi tertentu.
b. Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualitatif Dan Mencantumkan Ancaman Pidana
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualitatif, dalam praktek kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya terhadap tindak pidana pada pasal 242 di beri kualifikasi sumpah palsu, stellionat, penghasutan, laporan palsu, membuang anak, pembunuhan anak, penggelapan oleh pegawai negri, dsb.
c. Mencantumkan Kaulifikasi dan Ancaman Pidana
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling sedikit. Hanya dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai perkecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini dilatarbelakangi oleh semua rasio tertentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan. Pasal 351 (1) dirumuskan dengan sangat singkat yakni, penganiayaan.
(2)Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
Dari sudut titik beratnya larangan maka dapat diberikan pula antara merumuskan dengan cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara materiil (pada tindak pidana materiil).
a. Dengan Cara Formil
Perbuatan pidana yang dirumuskan secara formil disebut dengan tindak pidana formil (formeel delict). Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu adalah melakukan perbuatan yang melawan hukum tertentu. Apabila dengan selesainya tindak pidana, maka jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan yang melawan hukum tersebut.
b. Dengan Cara Materiil
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tindakan pidana materiil. Perumusan perbuatan pidana dengan cara materiil maksudnya ialah perbuatan pidana yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pidana tersebut, sedangkan wujud dari perbuatan pidananya tidak menjadi persoalan. Dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
(3)Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana
Jika dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan perbuatan pidana antara bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk yang diperberat dan bentuk yang lebih ringan, juga cara merumuskannya dapat dibedakan antara merumuskan perbuatan pidana dalam bentuk pokok dan dalam bentuk yeng diperberat dan atau yeng lebih ringan.
a. Perumusan Dalam Bentuk Pokok
Dalam hal bentuk pokok pembentukan UU selalu merumuskan secara sempurna, yaitu dengan mencantumkan semua unsur-unsurnya secara lengkap. Dengan demikian rumusan bentuk pokok ini adalah merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu.
b. Perumusan Dalam Bentuk Yang Diperingan dan yang Diperberat
Rumusan dalam bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari perbuatan pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok, kemudian menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan diperingan atau diperberatnya perbuatan pidana itu.
Jenis-Jenis Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:
Pertama, menurut sistem KUHP. Di dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal kategorisasi tiga jenis peristiwa pidana yakni: 1. Kejahatan; 2. Perbuatan buruk; dan 3. Pelanggaran. Namun menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dalam dua jenis saja yaitu kejahatan dan pelanggaran. Di sisi lain, KUHP juga tidak memberikan ketentuan syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya menentukan semua yang terdapat dalam buku II adalah kejahatan, sedangkan semua yang terdapat dalam buku III adalah pelangaran.
Kedua, menurut cara merumuskannya. Dalam hal ini tindak pidana dibedakan anatara tindak pidana formil dan tindak pidana materiil.
Ketiga, Berdasarkan bentuk kesalahannya: Dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja.
Keempat, berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya: Maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
Kelima, berdasarkan sumbernya: Dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu.
Keenam, dilihat dari sudut subjek hukumnya. Dalam kategori ini dapat dibedakan antara tindak pidana communia yang dapat dilakukan siapa saja dan dapat dilakukan hanya oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu. Jika dilihat dari sudut subjek hukumnya, tindak pidana itu dapat dibedakan antara tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang dan tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu.
Ketujuh, berdasarkan berat dan ringannya pidana yang diancamkan. Dari segi ini maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok tindak pidana yang diperberat dan tindak pidana yang diperingan.
Subjek Tindak Pidana
Terkait dengan subjek tindak pidana perlu dijelaskan, pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi. Artinya, barangsiapa melakukan tindak pidana, maka ia harus bertanggung jawab, sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana.
Selanjutnya, dalam pidana dikenal juga adanya konsep penyertaan. Konsep penyertaan ini berarti ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan atau melakukan tindak pidana. Menjadi persoalan, siapa dan bagaimana konsep pertanggung jawaban pidana, dalam hukum pidana kualifikasi pelaku (subjek) tindak pidana diatur dalam Pasal 55-56 KUHP.
Dalam KUHP terdapat lima bentuk yang merupakan subjek tindak pidana, yaitu:
(1)Mereka yang melakukan, Satu orang atau lebih yang melakukan tindak pidana;
(2)Menyuruh melakukan, Dalam bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan menyuruh orang lain;
(3) Mereka yang turut serta. Adalah seseorang yang mempunyai niat sama dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang diinginkan;
(4) Penggerakan, Penggerakan atau dikenal juga sebagai Uitlokking unsur perbuatan melakukan orang lain melakukan perbuatan dengan cara memberikan / menjanjikan sesuatu, dengan ancaman kekerasan, penyesatan penyalahgunakan martababat dan kekuasaan beserta pemberian kesempatan; dan
(5) Pembantuan pada pembantuan pihak yang melakukan membantu mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia bantu.
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang. Artinya pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu adalah manusia.
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments