Islam yang berkembang di Indonesia mula-mula adalah Islam sufi (mistik), yang salah satu ciri khasnya adalah bersifat toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, yang dibiarkan eksis sebagaimana semula, hanya kemudian diwarnai dan diisi dengan ajaran-ajaran Islam.[1] Salah satu tradisi yang masih eksis sampai saat ini adalah tradisi Saparan/Nyaparan.
Tradisi Saparan sendiri sebenarnya telah ada sejak zaman Walisongo, tetapi beberapa tradisi di setiap daerah berbeda. Pada hakikatnya Saparan merupakan syukuran Dusun yang berlangsung di bulan Safar dan momen silaturrahmi keluarga. Di daerah Boyolali, misalnya, masyarakat setempat membagi-bagikan apem. Beda halnya di Daerah Salatiga.[2] Biasanya, setiap rumah menyiapkan masakan yang spesial untuk tamu yang datang. Suasananya mirip seperti waktu lebaran, mungkin lebih ramai dari lebaran.
Di Desa Penyabangan sendiri pada saat bulan Safar masyarakat setempat mengadakan pengajian di pinggir pantai bersama sanak keluarganya, mereka ramai-ramai membaca Barjanji yaitu pada bab (abda’u) atau yang biasa kita kenal dengan ‘Aqidatul ‘Awam yang isinya seputar ketauhidan mulai dari Sifat Allah, Nabi, Malaikat dan sebagainya.
Sebenarnya tidak ada yang tahu pasti kapan dimulainya tradisi Nyaparan di desa Penyabangan, Buleleng, Bali ini, tetapi hemat penulis yang juga merupakan masyarakat desa Penayabangan, dan merujuk pada sumber dari para tokoh[3] yang berada di desa tersebut, bahwa tradisi Nyapar ini sudah berlangsung turun temurun di mana tradisi ini pada mulanya disebarkan oleh para muballigh dan pendatang dari luar pulau Bali.
Mereka menyebarkan dakwah Islam dimulai di daerah-daerah pinggiran pantai yang terdapat pemukiman dan tempat tinggal, lambat laun sebagian masyarakat muslim di Buleleng Bali mengikuti dan lama kelamaan mereka berbaur dan melestarikan tradisi tersebut.
Tradisi Nyaparan Perspektif Living Hadis
Warisan besar Rasulullah saw. sebagai utusan Allah swt. Adalahal-Qur’an dan Hadis. Dalam kedua warisan tersebut di dalamnya memuat berbagai tuntunan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan keseharian baik secara individu, maupun sosial. Hadis sebagai ajaran Islam tidak saja mengatur hubungan antara Tuhan dan Manusia melainkan juga hubungan manusia satu dan lainnya termasuk di dalamnya dalam kehidupan bernegara dan berbudaya.[4]
Di dalam kajian Hadis kita kenal istilah Living Hadis yaitu gejala yang nampak di masyarakat berupa pola-pola prilaku yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad Saw. Pola-pola perilaku di sini merupakan bagian dari respons umat Islam dalam interaksi mereka dengan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw.[5]
Ditelisik dari historitasnya, kata safar sebenarnya telah ada pada masa Jahiliyah, banyak dari kalangan mereka beranggapan bahwa Bulan Safar ini adalah bulan kesialan. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامَة ولا صَفَر وفر من المجذوم كما تفر من الأسد (رواه البخاري، رقم 5387 ومسلم، رقم 2220
“Tidak ada penyakit menular, thiyarah dan burung hantu dan shafar (yang dianggap membawa kesialan). Dan larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.” (HR. Bukhari, no. 5387 dan Muslim, no 2220).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak keyakinan orang-orang Musyrikin Jahiliyyah yang menganggap bulan Safar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bahwa bulan Safar adalah bulan bencana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menepis kebenaran anggapan tersebut. Bulan Shafar itu seperti bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Bulan Safar tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah Allah subhanahu wata’ala jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.[6] Di antaranya:
1. Senantiasa Berdzikir Kepada Allah
Keutamaan berdzikir juga sangatlah luas. Berdzikir dapat memperberat timbangan di akhirat, mendatangkan pahala dan dicintai Allah Ta’ala.
“Aku membaca subhaanAllah wal hamdulillah walaailaaha illAllahu wAllahu akbar (maha suci Allah,segala puji bagi Allah, tiada tughan yang berhaq diibadahi selain Allah dan Allah maha besar).Bacaan itu lebih aku sukai daripada mendapat kekayaan sebanyak apa yang dibawah sinar matahari.”(HR.Muslim)
“Ada dua kalimat yang dicintai oleh Allah, ringan di lisan dan berat di timbangan: (yaitu bacaan) subhaanallah wabihamdihi subhaanallahil adzim.” (HR Bukhari).
“Barangsiapa di waktu pagi dan sore membaca: subahanallah wa bihamdihi seratus kali maka tidak ada seorang pun yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala yang lebih baik dari pahala yang dia bawa, kecuali orang yang membaca seperti yang dia baca atau lebih banyak.” (HR. Muslim)
2. Membaca Al-Quran
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka dia mendapat satu pahala kebaikan. Dan setiap satu pahala itu dilipatkan menjadi 10 kali.” (HR. At Tirmidzi dan At Thabrani).
3. Bersholawat kepada Rasul
“Barangsiapa yang membaca shalawat untukku sekali, maka Allah akan memberikan shalawat kepadanya sepuluh kali, dihapuskan sepuluh kesalahan, dan diangkat sepuluh derajat.”(HR. An Nasai).
“Barang siapa yang membaca shalawat untukku sekali, maka Allah akan memberikan shalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Muslim).
4. Bersedekah
Keutamaan bersedekah dalam Islam sangatlah banyak. Bersedekah tidak harus mengeluarkan harta berlimpah. Yang terpenting niatnya.
“Tidak seorangpun yang menyedekahkan hartanya yang halal dimana Allah menerimanya dengan kananNya (dengan baik), walaupun sedekahnya itu hanya sebutir kurma. Maka kurma tersebut akan bertambah besar di tangan Allah Yang Maha Pengasih, sehingga menjadi lebih besar daripada gunung. Demikian Allah memelihara sedekahmu, sebagaimana halnya kamu memelihara anak kambing dan unta (semakin hari semakin besar).” (HR. Muslim).
“Jauhilah neraka walupun hanya dengan (sedekah) sebiji kurma, kalau kamu tidak menemukan sesuatu, maka dengan omongan yang baik.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim.)
“Kamu menyingkirkan batu, duri dan tulang dari tengah jalan itu adalah sedekah bagimu.”(HR. Bukhari).
“Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.” (HR. Imam Tirmidzi).
5. Menyambung tali silaturahmi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya, dipanjangkan umurnya, maka hendaknya menyambung (tali) silaturrahimnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
6. Memperbanyak istighfar
Dari Ibn Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang rajin beristighfar maka Allah akan berikan jalan keluar setiap ada kesulitan, Allah berikan penyelesaian setiap mengalami masalah, dan Allah berikan rizki yang tidak disangka-sangka.” (HR. Abu Dawud).
Pada saat penulis bertanya mengenai hadis yang dijadikan sandaran bagi masyarakat dalam melakukan tradisi tersebut kebanyakan tidak mengetahuinya, tetapi penulis sendiri mencoba megaitkannya dengan hadis-hadis mengenai amalan-amalan yang dianjurkan oleh Rasul di atas.
Maka dapat simpulkan bahwa tradisi Nyaparan di Desa Penyabangan Buleleng Bali ini mencerminkan nilai-nilai yang terkandung di dalam hadis berupa amalan-amalan dari Rasulullah Saw, semisal pada saat Nyapar masyarakat banyak yang membaca al-Quran, Tahlil, Istighfar, saling memberi (bershodaqoh) dan memperbanyak Sholawat, inilah yang dikatakan sebagai Living Hadis yang ditanamkan pada tradisi yang berkembang di masyarakat.
Adapun nilai-nilai yang terkandung di dalam tradisi Nyaparan ditinjau dari pelaksanaanya adalah:
- Nilai Spritual; yang dicerminkan ketika membaca al-Quran, ‘aqidatul awam, dan membaca Tahlil.
- Nilai Sosial; Masing-masing keluarga saling berbagi makanan dengan yang lain, mereka juga berkumpul dan membuat satu kelompok.
- Nilai Psikologi; tentunya ketika suatu keluarga berkumpul di dalam suatu kelompok maka pada saat itu pula, akan tercipta rasa bahagia tersendiri.
———-
[1]Lego teryyaka, “Tradisi Saparan Di Boyolali dan Klaten” http://tradisionalseni.blogspot.co.id/2012/11/tradisi-saparan-di-boyolali-dan-klaten.html, diakses pada tanggal 10 November 2017
[2]Mengenal Tradisi Saparan di Desa Kopeng Salatiga, dalam http://moiismiy.blogspot.co.id/2015/12/mengenal-tradisi-saparan-di-desa-kopeng.html, diakses pada 03 Desember 2015
[3] Wawancara Penulis dengan Para Tokoh ; Bapak Kepala Desa (Junaidi) dan Ibu Sa’diyah (Guru MIN 5 Penyabangan) di Desa Penyabangan melalui Medsos: WA, Fb dan Mesengger pada tanggal 10 November 2017.
[4]Muhammad al-Fatih Suryadilaga, “Kontekstualisasi Hadis Dalam KehidupanBerbangsa Dan Berbudaya” dalam jurnal KALAM, Volume 11, Nomor 1, Juni 2017
[5] Muhammad alfatih Suryadilaga, “Living Hadis dalam Tradisi Sekar Makam”, dalam Jurnal al-Risalah Volume 13 Nomor 1 Mei hlm. 164.
[6] “Menepis Anggapan Bulan Shafar Adalah Bulan Sial” dalam Buletin Islam AL ILMU Edisi: 7/II/VIII/1431
2 Comments