Kasus terorisme di Indonesia selalu memunculkan individu baru. Ini menunjukkan bahwa gerakan terorisme akan terus menjadi ancaman ke depan. Yang perlu dicermati adalah regenerasi dan perekrutan kelompok radikal baru melalui paham dan pandangan keagamaan. Suka tidak suka, harus diakui bahwa paham tersebut adalah didasarkan pemahaman ayat-ayat agama sebagai pembenaran atas tindakannya.
Sejak tahun 2014 sampai akhir tahun 2017 kegiatan terror di Indonesia berkurang. Hal ini disebabkan karena Suriah dianggap sebagai lahan jihad baru. Lebih dari 100 orang Indonesia yang berada di Suriah. Mereka memiliki latar belakang pendidikan yang beragam. Ada yang hanya lulusan SD hingga yang bergelar PHD. Usianya juga relatif beragam. Ada orang tua hingga anak muda yang masih SMP dan SMA.
Walaupun beragam dalam hal usia dan pendidikan, pemahaman mereka sama yakni mengikuti paham yang dibentuk di Afganistan pada tahun 80 an. Makna jihad diartikan sebagai qital (perang) dan menganggap pemerintah yang tidak melaksanakan syariat sebagai pemerintahan kafir yang harus diperangi. Hukum memeranginya adalah Fardhu ain.
Salah satu pintu masuk ancaman terorisme di Indonesia adalah konflik Suriah. Bagaimanapun ‘alumni’ Suriah akan ikut menebar ideologi yang perlu diwaspadai. Para relawan jihad tersebut bisa bergerak antara lain disebabkan oleh: pertama, kembalinya para relawan jihad dari Timur Tengah dapat meningkatkan kapasitas para anggota jihadis di Indonesia melalui transfer kemampuan, pengalaman taktis perang dan jaringan yang lebih luas dalam mempersiapkan aksi terror.
Kedua, munculnya fenomena kelompok baru atau teroris pemula yang dipengaruhi melalui media cyber (internet) dan jejaring sosial. Ketiga, regenerasi anggota melalui kajian di masjid, kampus dan kajian informal lain untuk membentuk ideologi yang militan.
Sementara itu, pemerintah menggunakan strategi penindakan terorisme melalui Peraturan Presiden No. 6 tahun 2010 yang kemudian diubah dengan Perpres No. 12 tahun 2012 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Badan tersebut memiliki kewenangan untuk menyusun dan mengeluarkan kebijakan, strategi sekaligus menjadi koordinator dalam bidang pencegahan, perlindungan, deradikalisi (soft approach), penindakan, (hard approach) penyiapan kesiapsiagaan nasional serta kerja sama internasional.
Soal pendanaan aksi terror di Indonesia menurut Dr Sholahuddin, Pakar Terorisme Universitas Indonesia, menyatakan bahwa jika dulu pendanaan banyak bergantung dari luar negeri sekarang sumber pendanaan sudah bersifat lokal. Salah satunya adalah melalui perampokan. Target terror pun kini berubah. Jika dulu adalah far enemy di mana warga asing dan semua fasilitas kepentingan Amerika adalah sasaran target yang disenangi, sekarang aksi terror yang dilakukan lebih bersifat musuh jarak dekat dimana targetnya adalah polisi.
Pemaknaan yang keliru terhadap ayat Quran adalah salah satu penyebab gerakan terror. Pemahaman ini semakin menyebar dan mendapat banyak perhatian karena dibumbui bermacam iming-iming surgawi. Di sisi lain,ada anggapan bahwa penderitaan di dunia merupakan penjara bagi mukmin. Oleh karenanya, tugas dari para ulama adalah untuk memberikan pemahaman kepada orang awam yang masih mudah dipengaruhi. Sebab kelompok teroris yang militan setiap hari selalu menyebarkan pemahamannya secara masif melalui berbagai media.
Di dalam buku Aku Melawan Teroris, Imam Samudera bahkan mengakui jika yang dipelajari oleh para jihadis bukan hanya cara menggunakan senjata. Mereka juga dibekali kemampuan di bidang IT. Melalui jaringan internet inilah banyak orang direkrut bahkan diajari cara untuk merakit bom. Boleh jadi, pembuatan bom yang dilakukan oleh teroris di Surabaya tersebut adalah salah satu hasil didikan jaringan teroris internet.
Tindakan pencegahan terorisme melalui kekerasan masih belum efektif untuk bisa meredam semangat ‘jihad’ mereka. Yang ada justru sebaliknya. Semakin dilawan dengan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah, para kelompok teroris merasa ganjarannya semakin besar karena tantangan yang juga besar.
Tidak heran jika ada yang berani mengorbankan nyawanya untuk melawan pemerintah Indonesia. Bom Surabaya dan beberapa kasus pengeboman yang diarahkan kepada polisi adalah bukti bahwa sekarang salah satu yang menjadi sasaran teroris adalah aparat keamanan di Indonesia. Melawan polisi adalah wujud dari ‘balas dendam’ terhadap densus 88 yang selama ini banyak melakukan penggrebekan jaringan teroris di Indonesia.
0 Comments