Thai Chi Zero dan Thai Chi Hero adalah 2 film yang bercerita tentang pertemuan tradisi dan modernitas di China, tepatnya disebuah desa kecil yang benama Chen. Tokoh utama film ini adalah Lu Chan, seorang anak yang terlahir dengan “tanduk unik” di kepalanya.
Tanduk ini bukan hanya sebagai aksesoris semata, namun ia memiliki kemampuan khusus apabila terkena pukulan atau sentuhan kasar yang menyakiti, yaitu “mode berserk”.
Dalam banyak novel beladiri china “mode berserk” akan banyak kita temui, sebut saja Againt The God, Martial World, Martial God Asura dan lain-lain. Dalam Film ini, Lu Chan didukung oleh Chen Yuniang dan Master Chen yang merupakan istri dan mertuanya.
Ada beberapa hal menarik dalam film ini, yaitu penggambaran pertemuan tradisi atau adat dengan modernitas, sikap penolakan masyarakat terhadapnya karena dianggap aneh dan merupakan produk barat dan kompromi politik serta dialektika antara 2 budaya yang jauh berbeda.
Pertemuan ini kemudian mengakibatkan “pertempuran” antara dua belah pihak, yakni penganut tradisi dan penganut modernitas. Hal ini bukan dikarenakan tradisi dan modernitas layaknya air dan minyak, akan tetapi disebabkan proses asimiliasi keduanya melalui langkah-langkah yang keliru dan berorientasi pada revolusi industry yang tidak memanusiakan-manusia. Hasilnya, penganut tradisi tidak mau menerima modernitas.
Jika kita perhatikan lebih lanjut, dalam kedua film ini, digambarkan bahwa modernitas atau teknologi tidak dapat dibendung keberadaanya, ia datang membawa ideologis baru yang dapat merubah sudut pandang seseorang dalam melihat dunia.
Modernitas dalam konteks ini mencoba melampaui tradisi yang telah ada berkembang di masyarakat Chen. Sebaliknya, kontruks masyarakat Chen melihat modernitas adalah sesuatu yang “belaum matang”, “tidak menjamin” dan “produk bangsa asing”.
Padahal secara psikologis mereka sebenarnya tertarik dengan apa yang dibawa oleh modernitas (Adegan Fang Zijing menggunakan kereta kecil). Jika hal ini disadari oleh kedua belah pihak, sebenarnya dapat terjadi kompromi-kompromi sosial, sehingga tradisi dan modernitas dapat hidup berdampingan saling melengkapi satu sama lain. Hal inilah yang dapat kita lihat pada ending kedua film tersebut.
Berkaca pada realitas kedua film di atas, kehadiran modernitas harus membumi agar ia mudah diterima oleh masyarat, karena sejatinya ia adalah sesuatu yang “baru”.
Sebaliknya masyaraat harus mempunyai fikiran terbuka dan mau menerima modernitas selama itu berdampak positif bagi perkembangan masyarakat. Dalam kontes studi islam khususnya penafsiran al-Qur’an, seorang mufasir harus jeli dalam melihat ini, konteks masyarakat dan kemasan akan sangat mempengaruhi penyampaian dan penerimaan gagasan atau ide kebaruan.
Sekalipun sebuah gagasan sebenarnya asing, namun jangan sampai ia disampaikan dengan cara yang asing pula. Konsep modernitas harus dipahami dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi. Karena modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang tradisi.
Al-Jabiri pernah berkata mengenai tajdid wa turast: “Segala warisan yang layak kita pakai untuk menghayati arti kehidupan dan persoalan-persoalan kekinian, yang layak untuk dikembangkan dan diperkaya sehingga bisa mengantarkan ke masa depan.”
Karena itu, gagasan modernitas bukan untuk menolak tradisi, atau memutus masa lalu, melainkan untuk meng-upgrade sikap serta pendirian dengan mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan “modern”. Oleh karena itu, konsep modernitas adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi.[1]
Menggabungkan modernitas dan tradisi adalah sebuah keharusan bagi seorang intelektual–selain diri sendiri–supaya dia mampu menjelaskan segenap fenomena kebudayaan serta tempat di mana modernitas dan tradisi muncul.
Sehingga dengan demikian, keduanya menjadi sebuah pesan dan dorongan perubahan dalam rangka menghidupkan kembali berbagai mentalitas, norma pemikiran beserta seluruh apresiasinya.
Nilai ini sebenarnya sudah tertanam di bumi Nusantara, di mana Wali Songo mengakulturasikan pembaharuan (Islam) dengan tradisi yang ada di bumi jawa (tradisi lokal). Nilai ini kemudian dimanifeastasikan secara lugas oleh Nahdlatul Ulama dalam semboyan mereka “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih (tradisi) wal akhdzu bil jadidil ashlah (pembaharuan)”
[1] Mohammed Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 2.
0 Comments