Menjadi ‘Ahsani Taqwim’ dengan Pancasila

Fenomena penolakan RUU HIP yang kian carut-marut membuat sebagian masyarakat semakin tak menunjukkan kebijaksanaannya dalam menyikapi dan menilai suatu golongan4 min


2
2 points
Bersatu Berbagi Berprestasi
Ilustrasi: mediaindonesia.com

Akhir-akhir ini publik tengah diributkan dengan desas-desus RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila). Sebab dalam bab II pasal 7 terdapat point yang berbunyi “Ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme; sosio-demokrasi; serta ketuhanan yang berkebudayaan”. Sontak saja hal tersebut menuai pro-kontra sebagaimana yang kita ketahui di beberapa media, atas banyaknya aksi demonstran yang menolak RUU HIP.

Berbagai alasan penolakan RUU tersebut dilontarkan, mulai dari pengkhianatan Pancasila bahkan sampai isu lama yang sungguh seksi, bangkitnya PKI.

Tetapi pada tulisan ini, saya tak akan meninjau perihal pro-kontra dari RUU HIP tersebut. Sebab sudah banyak beredar di media-media online dan anda sendiri mungkin sudah tahu bagaimana kontroversi yang sedang hangat-hangatnya ini. Pada kali ini saya akan membahas bagaimana kita berpancasila agar menjadi manusia ahsani taqwim seperti yang difirmankan Allah Swt dalam Q.S. At-Tin ayat 4.

Ahsani Taqwim dan Cara Mengimplementasikannya

Apa maksud ahsani taqwim? Bagaimana agar menjadi manusia yang ahsani taqwim dengan berpancasila?

Dalam tafsir Al-Muyassar, konsep ahsani taqwim secara gamblang dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dengan tubuh yang tegak, sehingga dapat memakan makanannnya dengan tangan; Allah menciptakan manusia dengan kemampuan memahami, berbicara, mengatur, dan berbuat bijak, sehingga memungkinkan manusia menjadi khalifah di muka bumi sebagaimana yang Allah kehendaki−wakil Allah di muka bumi dalam menyeimbangkan kehidupan di dunia.

Secara harfiah, ahsani taqwim adalah sebaik-baik bentuk. Manusia diciptakan Allah Swt dengan sebaik-baik bentuk, manusia merupakan mahakarya Tuhan yang paripurna dengan segala kekurangannya.

Lalu bagaimana cara mengimplementasikan ahsani taqwim tersebut?

Sebagai manusia, esensi yang dimilkinya adalah “mahalul khotto’ wan nisyan” (tempat salah dan lupa). Nah, agar menjadi ahsani taqwim secara kaffah, perlu adanya pendekatan-pendekatan secara menyeluruh kepada Allah Swt.

Salah satu pendekatan yang mumpuni adalah dengan mengamalkan nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila. Sebab saya pernah mendengar guru saya mengatakan “Orang yang mengamalkan sila pertama & sila kedua Pancasila, maka dia bisa jadi wali”. Dari perkataan itulah saya tertarik membahas Pancasila dari perspektif pengamalannya terhadap nilai-nilai kehidupan yang berkesinambungan dengan konsep manusia ahsani taqwim.

Pengamalan Pancasila secara menyeluruh serta menggunakan penghayatan yang utuh akan membawa kita pada konsepsi spiritualisme terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Karena nilai kebaikan yang diajarkan oleh agama-agama yang ada di Indonesia sudah tersirat dalam setiap butir Pancasila.

Kandungan Makna Pancasila

Mari kita tengok makna yang terkandung dalam Pancasila dengan agama Islam di Indonesia. Sebagaimana KH. Hasyim ‘Asyari  pendiri Nahdlatul ‘Ulama yang kita ketahui sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pernah mengatakan: “Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak bersebrangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan kedudukannya saling menguatkan”.

Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berlandaskan Pancasila untuk menyelaraskan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia serta memudahkan para pemeluknya dapat beragama secara kaffah atau menyeluruh.

Baca juga: Menginstal Ulang Nasionalisme Kita

Beragama secara kaffah dapat direalisasikan dengan menghayati dan mengamalkan setiap butir Pancasila. Karena dengan menggunakan penghayatan secara menyeluruh, dapat ditemukan unsur-unsur yang akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dalam menghadapi keragaman yang ada di Indonesia.

Hal ini pernah disampaikan Bung Karno dalam pidatonya di PBB tahun 1960 yang menawarkan Pancasila untuk kedamaian dunia. Dalam pidato tersebut, Bung Karno juga mengutip ayat dari Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”.

Pancasila yang ditawarkan Bung Karno pada PBB merupakan suatu nilai dasar sebuah negara yang memiliki puspawarna keberagaman masyarakatnya.

Beragamnya corak masyarakat di Indonesia yang telah diselaraskan dengan nilai dasar Pancasila menjadikan Indonesia memiliki peradaban yang tinggi dan bijak dalam menyikapi pelbagai perbedaan. Hal tersebut akan tercapai jika seluruh masyarakatnya telah menjadi ahsani taqwim dengan pengamalan nilai-nilai Pancasila.

Tetapi belakangan ini, Pancasila sering diributkan oleh banyak pihak yang berdalih mempertahankan Pancasila dengan cara yang justru tidak mencerminkan makna dasar Pancasila. Misalnya saja, mengaku membela Pancasila lalu demo bersama-sama, namun di dalamnya berisi ejekan, makian, dan merendahkan pihak lain. Hal tersebut tidak sesuai dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab.

Sebagai umat Islam, bukankah kita diperintahkan untuk saling mengasihi dan menyayangi? Bahkan tak hanya Islam, seluruh agama juga mengajarkan untuk saling mengasihi, menyayangi, dan menjaga. Tak ada satu pun ajaran yang mengajak untuk mengajarkan kebencian apalagi kekerasan.

Lantas, sudahkah kita berperadaban dan berlaku adil terhadap sesama? Di mana peran Pancasila sebagai dasar pijakan kita sebagai manusia yang berproses menjadi manusia yang berlaku adil dalam lingkup keberagaman?

Hal itulah yang kini perlu kita sadari bersama. Jangan sampai kita dikembalikan pada titik asfala safiliin (serendah-rendahnya tempat) oleh Allah karena sikap kita yang sombong. Kesombongan sebagai manusia milenial generasi 4.0 yang enggan bermuhasabah diri dan melakukan perenungan terhadap Nabi Muhammad saw yang diutus untuk liutammima makarimal akhlaq (menyempurnakan akhlak mulia) manusia di bumi.

Untuk menjadi manusia yang ahsani taqwim, Pancasila sudah menyiratkan pijakan yang tersurat dalam kelima dasar utama. Setelah manusia bertuhan sesuai ajaran agamanya, berlaku adil dan beradab adalah hal kedua yang harus dilakukan agar masing-masing manusia dapat memiliki tujuan yang sama yaitu keadilan.

Baca juga: Pancasila dalam Perspektif Tafsir Maqashidi

Sebelum mencapai keadilan sosial, dibutuhkan metode yang bijaksana secara musyawarah agar tercapainya kemufakatan bersama. Dengan begitu maka jadilah masyarakat Indonesia yang ahsani taqwim dan menjadi negara yang baldatan thoyyibah wa robbun ghofurun.

Tinggal bagaimana kita memaknai Pancasila terhadap keberlangsungan hidup kita. Apakah yang membela Pancasila dengan  aksi demonstrasi menolak RUU HIP itu sudah benar-benar berpancasila? Apakah para penyusun RUU HIP dan seluruh struktural BPIP sudah berpancasila? Selain itu semua, yang terpening apakah kita sebagai rakyat jelata sudah benar-benar berpancasila?

Menjadi Ahsani Taqwim

Sudah selayaknya kita hayati kembali nilai-nilai agama yang berisi keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan itu kita konsepsikan dengan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila. Sebab kita sebagai umat Islam pasti berkeinginan menjadi manusia yang ahsani taqwim. Dengan penghayatan dan pengamalan yang serius terhadap Pancasila, maka akan tercapai pula keinginan kita menjadi sebaik-baik makhluk ciptaan yang diciptakan Allah Swt sebagai kholifah fiil ardh.

Menurut saya, kini Pancasila tak pantas lagi untuk diperdebatkan. Karena dengan memperdebatkan hal itu justru akan memperkeruh suasana. Apalagi melihat fenomena penolakan RUU HIP yang kian carut-marut membuat  sebagian masyarakat semakin tak menunjukkan kebijaksanaannya dalam menyikapi dan menilai suatu golongan.

Baca juga: Kesesuaian Nilai-Nilai Pancasila dengan Maqasid Asy-Syari’ah

Padahal sebagai seorang terpelajar, kita harus adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan. Begitulah tutur seorang sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer. Adil dalam perbuatan, maksudnya bijak dalam berpendapat dan menilai. Sebagai pemuda kunci dalam menghadapi masa depan adalah kembali menghayati, bertafakur, dan bermuhasabah diri. Menjadi ahsani taqwim dengan berpancasila mampu melahirkan generasi yang kokoh spiritual dan mapan secara intelektual.

Editor: Andika S
_ _ _ _ _ _ _ _ _

Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bismengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

2
2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Ainu Rizqi

Master

Tim Redaksi Artikula.id | Alumni Pondok Pesantren Darul 'Ulum. Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga

2 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals