Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Istilah pesantren berasal dari kata santri yang berarti tempat tinggal para santri. Pemakaian kata pesantren sebagai nama dalam sebuah lembaga pendidikan agama, sangat berkait erat dengan proses pengembangan agama Islam di Nusantara, yang konon katanya diduga kuat dikembangkan oleh kaum petani (orang-orang pedesaan).
Nurcholish Madjid mempunyai pandangan bahwa pesantren tidak hanya dianggap identik dengan makna keislaman saja, akan tetapi juga memiliki makna keaslian khas Islam nusantara. Karena dalam pesantren terdapat banyak tradisi seperti tahlilan yang mana tradisi tersebut tidak dimiliki oleh muslim selain Indonesia. Jika kita dapat melihat di sekeliling lingkungan kita, terdapat ribuan lembaga pesantren, khususnya di pulau Jawa dengan berbagai macam tradisi khas Islam nusantara.
Hadirnya pesantren di Indonesia tidak terlepas dari kiprah seorang kiai yang menjadi pimpinan di lembaga pesantren. Peran kiai dalam pesantren sangat penting karena berhubungan erat dengan perkembangan pondok dan para santri. Di mana seorang kiai selalu mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam pengembangan masyarakat Indonesia khususnya dalam dunia Islam.
Berdasarkan realitas di atas, pesantren sampai saat ini memiliki pengaruh cukup kuat hampir di seluruh Indonesia khususnya masyarakat muslim, di pedesaan maupun di perkotaan.
Dalam konteks sekarang, pesantren pada dasarnya adalah lembaga pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi sosial dan intelektual yang berdasarkan asas-asas dalam ajaran Islam. Karena pesantren meletakkan visi dan kiprahnya dalam pengabdian sosial yang ditekankan pada pembentukan moral dan kemudian dikembangkan ke bidang-bidang rintisan yang lebih sistematis dan terpadu. Oleh sebab itu, seorang santri harus dibekali keilmuan yang memadai untuk bisa menghadapi ragam problem dan mentransferkan keilmuannya di masyarakat.
Perkembangan pesantren pascareformasi, secara bertahap merespon berbagai perubahan sosial yang terjadi dengan merubah dirinya menyesuaikan kebutuhan masyarakat. Sehingga muncullah istilah pesantren modern. Karena pola maupun kurikulum yang disampaikan disesuaikan dengan perkembangan modern. Namun sebaliknya, ada juga pesantren yang dengan teguh memegang tradisi dan kebudayaan yang diajarkan secara turun-temurun untuk menjaga ciri khas pesantren (tradisional) karena takut akan merusak nilai-nilai yang dipegang selama ini. Kelompok ini terkenal dengan sebutan pesantren salaf, karena pola yang dipakai masih sangat sederhana.
Demi mengejar atau membangun nuansa modernitas dalam proses pembelajaran, juga sisi sarana dan prasarana, tidak sedikit pesantren yang menggunakan proposal dana sebagai alat untuk mengajukan/meminta sumbangan kepada perusahaan, lembaga keuangan, pabrik, dll.
Cara pembangunan pesantren melalui ‘transaksi’ proposal sedikit banyak akan menggerus spirit luhur budaya pesantren, yang berdikari dan terhormat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang meminta-minta padahal ia tidak fakir maka seakan-seakan ia memakan bara api”. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (no. 2446), Ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Atsar (no. 3021), dan Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir (no. 3506).
Islam tidak mensyariatkan untuk meminta-minta kecuali sangat terpaksa, dan Islam melarang dengan keras meminta-minta dengan cara berbohong atau menipu. Alasannya bukan hanya perbuatan itu dilarang Allah, tetapi juga karena perbuatan tersebut dianggap mencemari akhlak dan merampas hak orang-orang miskin yang memang membutuhkan bantuan.
Penjelasan sabda Rasulullah saw. di atas artinya, esok hari ia akan makan bara api atau bara api akan membakarnya, karena ia menampakkan kefakiran, padahal Allah Swt. telah memberi kecukupan, dan ia telah menyembunyikan nikmat Allah kepadanya. Maka ia telah mengganti syukur dengan kufur, berdusta dalam permintaannya, dan mengambil sedekah yang sebenarnya bukan haknya.
Oleh sebab itu, jika konsep pengembangan pesantren menggunakan dana proposal dan kemudian menjadi sarana untuk alasan meminta sumbangan maka jangan diharapkan konsep berkah dan manfaat dapat tertanam dalam jati diri seorang santri di masa depan.
One Comment