Umumnya tafsir-tafsir lama, seperti al-Thabari, al-Qurthubi, Ibn Kathir, Jalalain, -untuk hanya menyebut beberapa kitab tafsir saja- cenderung mengambarkan kisah Adam sebagai argumentasi superioritas laki-laki katimbang perempuan.
Sisi lain, the legend of fall (legenda kejatuhan Adam), sering dijadikan justifikasi untuk menyudutkan kaum perempuan, karena konon yang menggoda Adam untuk makan buah ‘khuldi’ di surga adalah Hawa, yang notabene perempuan. Perempuan lalu diposisikan sebagai mamba’ al-fitnah (sumber fitnah) dalam kehidupan. Sebuah stereotype yang sangat tidak Qur’ani.
Namun tidak demikian halnya dengan tulisan ini yang justru ingin menegaskan argumentasi kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam kisah Adam. Tulisan ini akan memberikan counter atas klaim di atas di mana penulis akan mengelaborasi kisah Adam tersebut dalam elemen-elemen kesetaraan sebagai berikut:
1. Kesetaraan dalam Asal-usul Penciptaan
Literatur kitab-kitab tafsir lama umumnya memahami bahwa manusia pertama adalah Adam yang berjenis kelamin laki-laki. Adam adalah manusia pertama, yang ini berarti bahwa perempuan (baca: Hawa) sebagai pasangan Adam adalah perempuan yang secara ontologis hanya sebagai second class. Argumentasi yang sering digunakan adalah bahwa penciptaan manusia itu dari nafs wahidah (Q.S al-Nisâ’ [3]:4) yang frasa tersebut ditafsirkan sebagai Adam.
Sumber penafsiran ini adalah hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa nafs wahidah adalah Adam.Penulis tidak menolak kesahihan hadis tersebut.
Namun secara sociology of konwledge jelas bahwa tafsir seperti ini mencerminkan ‘bias patriarkhi’, sebab konteks Arab waktu itu memang lebih mencerminkan dominasi kaum patriakhi, dan umumnya para penafsir adalah kaum laki-laki, sehingga sadar atau tanpa sadar, mereka memilih penafsiran yang cenderung mengunggulkan kepentingan kaum laki-laki.
Pertanyaannya, mengapa pilihan maknanya jatuh pada pengertian Adam yang berjenis kelamin laki-laki? Padahal dalam teks al-Qur’an redaksi teksnya justru netral gender, sebab Allah Swt menyebutkan: “ya ayyuha al-nâsittaqû rabbakum al-ladzi khalaqakum min nafs wâhidah. Artinya, wahai manusia bertkawalah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian darinafs wahidah. (Q.S. al-Nisâ [4]:1)
Penyebutan kata nâs (manusia) jelas mencerminkan kesetaraan, sebab manusia itu mencakup jenis kaum lelaki dan perempuan. Semuanya diciptakan dari nafs wâhidah (sumber yang sama atau jiwa yang satu). Bahkan secara linguistik Arab, kata nafs sebenarnya justru menunjukkan bentuk mu’annas (perempuan), yang dapat terlihat dari sifatnya, yaitu kata wâhidah (yang satu), di situ terapat tâ’ marbuthah yang menunjukkan jenis perempuan.
Dengan demikian, frasa nafs wâhidah (jiwa yang satu atau sumber yang satu) justru menunjukkan bahwa lelaki dan perempuan secara ontologis adalah sama dan secara eksistensial juga setara. Di situ, sebenarnya ada dimensi yang tak terkatakan (al-maskût `anhu) di balik frasa tersebut, yaitu bahwa memperlakukan kaum perempuan secara tidak setara, dapat dinilai bertentangan dengan cetak biru (blue print) Tuhan yang telah menciptakan manusia (laki-laki dan perempuan) secara setara.
Frasa nafs wahidah juga dapat berarti bahwa keduanya, (laki-laki dan perempuan) baru akan sempurna eksistensinya manakala keduanya mau menyatu, saling tolong-menolong dalam mengemban misi kekhalifahan di muka bumi ini.
Itu sebabnya dalam filsafat Jawa suami atau istri disebut dengan istilah garwo yang berarti sigaring nyowo (separoh jiwa), sehingga mengabaikan salah satunya akan menyebabkan kehilangan separoh eksistensinya. Oleh sebab itu, dalam konteks kehidupan ini laki-laki dan perempuan bukan hanya co-existence, tetapi juga pro-existence.
2. Kesetaraan dalam Aspek Spiritual
Kesetaraan spiritual laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan akan mendorong semangat pengabdian kepadaNya secara optimal. Salah satu aspek kesetaraan spiritual dalam kisah Adam adalah bahwa keduanya (Adam dan Hawa) sama mendapat mandat dari Tuhan untuk tinggal di surga dan keduanya sama-sama tidak boleh melanggar larangan Tuhan, yaitu tidak mendekati pohon terlarang. (Q.S. al-Baqarah [2]:30).
Perintah dan larangan tersebut, memberi isyarat bahwa kaum laki-laki dan perempuan secara eksistensial adalah sama dan setara dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan.
Dengan demikian, aspek yang tak terucapkan di balik ayat tersebut adalah seolah Tuhan ingin berkata, “Wahai kalian, Adam dan Hawa (laki-laki dan perempuan), kalian itu setara di hadapan Aku dalam menjalankan perintah dan laranganKu. Maka, kalian jangan merasa bahwa seolah jenis kelamin secara biologis membuat kalian lebih mulia. Ketahuilah, bahwa yang membuat kalian dipandang mulia di hadapanKu adalahaspek ketakwaan kalian, yakni ketaatan kalian dalam menjalankan perintahKu dan menjauhi laranganKu (Q.S al-Hujurat [49]: 13).
Tafsir seperti ini perlu dikemukakan, agar tidak ada lagi pandangan yang merendahkan kaum perempuan.
3. Kesetaraan dalam Tanggung Jawab
Kesetaraan gender juga tampak dalam kisah Adam dan Hawa dalam bertanggung jawab atas perbuatan keduanya, karena keduanya sama-sama melakukan pelanggaran. Keduanya lalu disuruh keluar dari surga dengan segala konskuensinya. (QS al-Baqarah [2]:38). Hal ini menunjukkan bahwa keduanya (Adam dan Hawa) setara secara eksistensial yang harus bertanggung jawab atas perbuatan mereka masing-masing.
Jika keduanya tidak setara, tentunya keduanya tidak akan sama-sama disuruh bertanggung jawab dengan menanggung sanksi hukuman yang sama, yaitu sama-sama keluar dan turun dari surga.
Dalam narasi kisah berikutnya, bahwa keduanya sama-sama merasa menyesal dan bertaubat, sebagaimana terlihat dalam doa yang dipanjatkan Adam, dengan mengatakan “Rabbanâ zhalamnâ anfusanâwa illam taghfirlanâ wa tarhamnâ lanakûnannâ minal khâsirîn”. (Q.S.al-A`râf [7]:23) (Wahai Tuhan kami, kami telah berlaku aniaya, seandainya Engkau tidak mengampuni kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang merugi).
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa eksistensi laki-kali dan perempuan dalam hal tanggung jawab adalah setara. Masing-masing akan bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Adalah tidak Qur’ani, ungkapan yang populer dalam masyarakat wong wadon iku neroko katut, suwargo nunut (perempuan itu masuk neraka karena ikut suami dan masuk surga juga hanya numpang suami).
Kita bisa berkata, bahwa laki-laki dan perempuan dapat masuk surga atas rahmat Tuhan, karena amal kesalehan mereka. Keduanya dapat masuk neraka, juga karena tanggung jawab atas perbuatan maksiat mereka masing-masing. Wa Allâhu a’lam bi al- shawâb.
One Comment