5 Argumen Rasional Keharaman Riba

argumen (alasan) keharaman riba adalah al-zhulm (kezhaliman)3 min


-1
-1 points

Ada beberapa alasan (argumen) keharaman riba:

1. Ketidakadilan terhadap sesama manusia dan merusak nilai keseimbangan.

Dalam Al-Quran pada awalnya dijelaskan bahwa riba itu bersifat negatif. Allah Swt menegaskan bahwa riba itu hanya bertambah di sisi manusia (satu pihak), namun tidak bertambah di sisi Allah. Dalam al-Rum ayat 39 ini riba itu dilawankan dengan zakat. Jika ini lawan dari kata zakat, maka jelas riba itu hanya bertambah di sisi manusia (satu pihak), sedangkan zakat di samping memiliki nilai kemanusiaan/sosial, dia juga sebagai sarana untuk mencapai ridha Allah Swt.

Oleh karena itu terdapat isyarat nash riba itu satu praktik yang harus ditinggalkan. Dengan kata lain ayat ini mendorong seseorang untuk bekerja keras tanpa modal pinjaman yang mengandung unsur riba. Bekerja keras sesuai sunnah Nabi Muhammad saw merupakan sebuah ibadah karena telah berusaha mempertahan hidup diri sendiri dan keluarga.

Dari kerja inilah akan mendatangkan fadhlullah (kelebihan dari Allah Swt) di mana seseorang berzakat, infak atau sedekah. Ada pendapat lain yang mengatakan konotasi riba dalam ayat ini adalah al-hibah/ hadiyyatan (hadiah, sedekah) yang dilakukan oleh orang-orang yang ingin imbalan berlebih. Dari sini timbul satu pertanyaan kalau pemberian hadiah maka pemberinya tentu mendapat ganjaran atau pahala dari Allah Swt, padahal dalam ayat tersebut dinyatakan tidak di sisi Allah Swt.

Dalam surat al-Baqarah ayat 275, pemakan riba berdiri seperti orang yang kemasukan setan. Ini mengisyaratkan bahwa pelaku riba tersebut merusak nilai-nilai keseimbangan ciptaan Tuhan. Dia tidak berlaku adil dalam kehidupan ekonomi sesama manusia. Ini jika dikaitkan dengan perbankan konvensional ketidakadilan tersebut terutama bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mau tahu apakah para peminjam dana tersebut memperoleh keuntungan atau tidak.

Kalau para peminjam dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan mungkin tidak akan muncul. Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal bangkrut, para peminjam modal juga harus membayar kembali modal yang dipinjamkan dari pemodal ditambah bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam modal yang sudah bankrut seperti sudah jatuh ditimpa tangga pula, dan bukankah inisesuatu yang sangat tidak adil? Padahal dalam mudharabah, apabila shahibul mal (pekerja/peminjam) bangkrut bukan karena kelalaiannya dia tidak mengganti modal karena ia juga kehilangan pekerjaan dan menguras pikirannya.

Apabila diperhatikan akhir surat al-Baqarah ayat 279 dan awal dari Surat al-Nisa (4): 160 argumen (alasan) keharaman riba adalah al-zhulm (kezhaliman); berbuat aniaya dan penindasan. Jadi pelaku riba tidak hanya sekedar kelebihan atau penambahan jumlah utang.

2. Bertentangan dengan fungsi uang sebagai alat tukar, di mana dalam riba uang diperlakukan sebagai komoditas. Secara fungsional uang berfungsi sebagai alat tukar yang sah pada suatu negara, uang biasanya ditukarkan dalam bentuk barang ataupun jasa, namun dalam konteks riba uang justru diperlakukan sebagai komoditas, yaitu uang ditukarkan dengan uang.

3. Riba itu haram dan jual beli itu halal.

Sosio-kultural masyarakat Arab memiliki budaya (tradisi) yang sulit ditinggalkan di mana orang-orang Arab jahiliyah berlogika jual beli itu sama dengan riba. Keuntungan (al-ribā) dari jual didapat dari adanya selisih antara pembelian dan penjualan. Sedangkan keuntungan dari riba dari adanya selisih dari peminjaman dan pengembalian. Mereka membangun image riba dan jual beli itu sama dari segi mengambil nilai lebih (keuntungan). Gaya tasybih maqlūb: mereka ingin riba itu sama dengan jual beli, asalnya kemudian dibalik untuk mubālaghah (penekanan) seolah-seolah riba yang asal dan mereka meng-qiyas-kannya dengan jual beli. Padahal qiyas (analogi) itu sendiri tidak bisa dibenarkan karena ada nash yang tegas melarang riba dan membolehkan jual beli.

Syekh Muhammad al-Ghazali, memasukkan persoalan riba ini dalam tema induk Alquran. Beliau memberikan komentar dengan ilustrasi (contoh) untuk surah al-Baqarah ayat 276:

“Di alam modern sekarang ini kita dapat melihat praktik culas yang dilakukan oleh Negara-negara Dunia Pertama dan Kedua. Di antara praktik culas tersebut itu adalah dengan memberikan kredit (pinjaman) kepada Dunia Ketiga yang miskin dengan bentuk transaksi, seperti “kalian kami beri pinjaman sebesar 1000. 300 di antaranya untuk membeli barang-barang yang merupakan produk kami yang kalian perlukan untuk program investasi. 300 di antaranya untuk membayar para teknisi dan para pekerja yang mengoperasikan peralatan dan barang-barang yang diperlukan dalam proses investasi itu.

Sisanya untuk dana-dana lain yang tidak terduga. Kalian harus membayar bunga pinjaman 15 % dari total pinjaman pertahun”. Setelah tujuh tahun berjalan, Negara debitor yang miskin itu telah menghabiskan semua dana pinjaman bahkan lebih besar lagi. Sedangkan hutang tetaplah hutang yang harus dibayar berikut bunganya. Meskipun negara-negara kreditor telah menjual barang-barang produk mereka dan mempekerjakan warganya di Negara-negara debitor, namun mereka tentu saja akan terus mencekak leher para debetornya untuk segera melunasi.

Bunga pinjaman dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan modal. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen.

Semua dampak negatif sistem ekonomi ribawi ini secara gradual, tapi pasti, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Hal itu terlihat dengan jelas pada praktek perbankan konvensional yang menganut sistem ribawi. Tingkat bunga dijadikan acuan untuk meraih keuntungan para pemberi modal.

4. Dalam Islam, hutang piutang atau punjaman itu dianggap sebagai transaksi tolong menolong, tidak ada imbal hasil secara materi. Namun dalam transaksi ribawi terdapat riba (tambahan) yang harus dibayarkan sehingga transaksi yang terjadi tidak lagi transaksi tolong menolong melainkan transaksi komersil di mana yang pada akhirnya akan merugikan pihak yang meminjam dana.

5. Di dalam transakti riba terdapat tipuan yang pada akhirnya akan merugikan pihak yang meminjamdana.Pembayaran angsuran yang selama ini peminjam bayarkan hanya menyusutkan sebagian kecil dari hutang pokoknya. Tidak adanya keadilan antara pemilik modal dengan peminjam modal. Larangan riba muncul karena tidak adanya keadilan antara pemilik modal dengan peminjam modal.

Larangan riba muncul dalam Al-Qur’an pada empat kali penurunan wahyu yang berbeda-beda, salah satunya yang terdapat pada surat Ar-Ruum ayat 39 dimana Allah menegaskan bahwa riba itu hanya bertambah di sisi manusia (satu pihak), namun tidak bertambah di sisi Allah.


Like it? Share with your friends!

-1
-1 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
0
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Ahmad Maulidizen
Ahmad Maulidizen lahir di Bogor 19 Oktober 1988.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals