Sudah beberapa hari ini, baik di media sosial maupun dalam realitas masyarakat, kita selalu disuguhi oleh beberapa hal yang kurang mencerminkan budaya bangsa, yakni hilangnya sikap sopan santun. Salah satu di antara yang paling mencolok adalah rasa emosi yang berlebihan, sehingga kurangnya rasa empati dan etika terhadap orang yang lebih tua. Terlebih ucapan yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh seorang pemuda yang mengancam ingin membunuh kepala negara sebagai simbol bangsa.
Tentunya hal ini sangat disayangkan mengingat bangsa Indonesia selalu identik dengan sopan santun, adab, saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Selain itu, sopan santun juga merupakan bagian dari modal diri kita dalam bergaul di masyarakat. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karakter sebuah bangsa dilihat dari karakter masyarakatnya. Oleh karena itu, sejak dahulu tidak jarang para leluhur bangsa Indonesia selalu merumuskan ajaran-ajaran baik yang paling mendasar, yakni sopan santun.
Bukan tanpa alasan para leluhur tersebut merumuskan ajaran-ajaran mengenai sopan santun. Apalagi di tengah modernisasi dan globalisasi saat ini, berbicara sopan santun sangat penting untuk diketengahkan. Mengingat tidak jarang dari kita mulai tak sadar dalam menempatkan diri di tengah kemajuan teknologi dan industri. Salah satu leluhur bangsa Indonesia yang merumuskan sikap sopan santun adalah Sri Mangkunegara IV (1853-1881).
Sri Mangkunegara IV merupakan raja yang memimpin Kadipaten Mangkunegaran salah satu dari empat kerajaan di Jawa Tengah. Sri Mangkunegara IV sendiri lahir dengan nama kecil Raden Mas Sudira dari pasangan Kanjeng Pangeran Adiwijaya I dengan Raden Ajeng Sekeli, pada hari Ahad 3 Maret 1811 di Surakarta. Sejak kecil R.M Sudira tidak memperoleh pendidikan secara formal. Hal itu terjadi karena di Surakarta pada waktu itu belum ada pendidikan formal. Akan tetapi pendidikan R.M Sudira diberikan secara privat, yakni dengan cara mendatangkan guru-guru ke rumahnya.
Salah satu pendidikan yang membentuk karakternya di kemudian hari adalah pendidikan mengenai pengembangan kepribadian dan kesusastraan Jawa. Dari pendidikannya ini kelak Sri Mangkunegara IV bukan saja dikenal sebagai penguasa Mangkunegara, akan tetapi sebagai pujangga besar yang hidup sezaman dengan pujangga terkemuka Surakarta R. Ng. Ranggawarsita (1802-1873). Keduanya kemudian hidup berdampingan dan bekerjasama dalam kegiatan pengembangan karya-karya sastra Jawa pada abad-19.
Selain itu, Sri Mangkunegara IV juga hidup sezaman dengan Raja Ali Haji (1809-1870), seorang pujangga dari budaya Kesultanan Melayu. Sehingga keduannya dapat dikatakan sebagai dua penguasa dan pujangga di Nusantara yang menghasilkan karya sastra bernilai bagi sikap, panutan dan khasanah budaya bangsa Indonesia
Berbagai karya sastra Sri Mangkunegara IV pun telah banyak dihasilkan, salah satunya adalah Serat Darmawasita yang berbicara mengenai sikap sopan santun dan ajaran baik, adapun arti kata Darmawasita sendiri adalah Darma = padhang, langkung, ngelmu kautaman atau baik; Wasita = tutur = ajaran, jadi Darmawasita, artinya ajaran yang baik (1878). Di mana dalam serat tersebut Sri Mangkunegara IV menjabarkan bagaimana seharusnya sikap baik atau sopan santun harus dijalankan. Ajaran tata pergaulan itu pun terlukis dalam syair dari serat tersebut:
Rambah malih wasitaning siwi,
wikanana patraping agesang,
kang kanggo ing salawase.
Manising netra ruruh,
Angedohken mring salah tampi.
Wong kang trap sileng tata,
tan agawe rengu.
Wicara lus kang mardawa.
Iku datan kasendhu marang sasami,
wong kang rumaket ika.
Karya resep mring rewanging linggih.
Wong kang manut mring caraning bangsa,
watek jembar pasabane.
Wong andhap asor iku,
Yekti oleh panganggep becik.
Wong meneng iku nyata.
Neng jaban pakewuh.
Wong prasaja solahira,
iku ora gawe ewa kang ningali
wong nganggo tepanira.
Terjemahannya:
(Ada beberapa petunjuk untuk anak sekalian, untuk mengetahui tata krama pergaulan hidup yang akan digunakan selama-lamannya. Muka manis dan mata lembut, akan menjauhkan kesalapahaman orang. Orang yang menerapkan tata susila, tidak akan diragukan orang. Orang yang berbicara halus dan sedap didengar, tidak akan diumpat orang, sebab semua itu menunjukkan keakraban untuk menyenangkan orang.
Untuk membuat senang orang banyak, (saat duduk-duduk bersama), orang itu harus mengikuti adat dan istiadat suatu bangsa, berwatak pandangan luas. Orang yang rendah hati, akan memperoleh tanggapan yang baik, sementara orang yang diam (tidak dapat berbicara yang berfaedah), adalah lebih baik dan selamat dari bencana lidah. Orang sebaiknya sederhana dan wajar, agar tidak membuat orang dengki atau antipati, sebab prilaku itu dapat dijadikan contoh orang lain).
Oleh karena itu sudah sewajarnya sebagai bangsa yang besar untuk selalu mengedepankan sikap sopan santun dan adab yang baik. Mengingat begitu luhurnya ajaran tersebut bagi kehidupan sosial-politik dan kebudayaan masyarakat Indonesia.
0 Comments