Pagi itu Lek Tho sedang tidak bergairah mengunjungi tempat dines-nya. Dia duduk memeluk lutut di beranda rumah. Cangkul dan sabitnya masih tergeletak di samping genuk penampung air. Istrinya mengomel sudah sejak habis subuh, tapi Lek Tho tetap pada pendirian.
Beberapa orang terlihat lalu lalang menuju sawahnya masing-masing. Yu Sri yang paling rajin sudah tiga kali bolak-balik mengusung jerami untuk pakan ternaknya, tiga sapi brahma. Sementara Lek Jari sedang sibuk bergelut dengan blower perontok padi.
Ya, ini musim panen yang mengejutkan. Karena hasil panen yang menjadi harapan utama warga ditentukan oleh kebaikan tikus-tikus. Bagi mereka yang memiliki pekerjaan selain bertani hal itu tidaklah begitu mereka pusingkan. Tentu berbeda dengan Lek Tho yang tumpuan ekonominya hanyalah “bengkok” sawah yang digarap hanya ketika menjabat kepala dusun.
Lek Tho akhirnya menenteng cangkulnya sambil bermalasan. Dia cuci senjatanya itu di padasan, gentong air pancuran. Lalu diasahnya pula sabit yang sudah sangat tipis lantaran sering digosok di batu asahan. Kedua benda itu kemudian dia masukkan ke dapur, di tempat khusus penyimpanan peralatan berkebun.
Lek Tho duduk kembali setelah kopi buatan istrinya cemepak di beranda. Tentunya lengkap dengan godho bolet, ubi ungu yang cemetot.
Istrinya sudah berhenti mengomel. Yang keluar darinya tinggal gremengan, gerutu lirih dengan diri sendiri. Lek Tho tidak peduli gremengan istrinya itu.
“Woy, Tho… nyilih paculmu”
“Ape digawe opo Dhe?”
“Lha, ya digawe macul, Tho…”
“Iyo Dhe.. iku neng mburi, ngomong bojoku neng dapur”
“Asyiaaap”
Mbah Sam keluar dari dapur dan membawa cangkul.
“Ko sek, Ko sek, Dhe… Nek nggawe ojo dikenekke lemah ya, Dhe…”
“Lho, yok opo seh, Tho…”
“Iyo, Dhe…”
“Mbuh lah, iyo wes…”
Mbah Sam ngeloyor kebingungan dengan omongan aneh Lek Tho.
Baca juga: Keluarga Petani |
Mbah Sam adalah saudara kakekku. Karena itu, Lek Tho memanggilnya Pak Dhe. Sedangkan aku adalah anak Pak Juki. Ayahku enam bersaudara, dari anak-anak Mbah Mus. Mbah Mus dan Mbah Nah, istrinya, sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Sedangkan Yu Sri adalah anak pertama dari Mbah Mus. Tapi aku lebih suka memanggilnya “Yu” daripada “Budhe“.
Rumah kami berjajar seperti di komplek perumahan. Di kampung kami hanya ada 50 rumah. Rumah kami sangat aman tanpa ada kasus pencurian atau kemalingan, walaupun tanpa pagar. Kami hidup dalam damai meski kesejahteraan kami belum tentu. Warga kampung kami sangat menjunjung tinggi kejujuran dan harga diri.
Lek Jari sudah kelelahan mengayuh pedal blower perontok padi. Ia menenggak kendi yang dibawakan istrinya menyertai rampen makan siang. Tanpa terasa dia habiskan semua isinya. Beruntung masih ada satu botol air minum yang ditinggal di gubuk.
Lek Jari adalah adik ayahku. Ia anak terakhir Mbah Mus. Sikapnya pendiam namun paling rajin di antara saudara-saudaranya. Lek Sanah, istrinya, masih terhitung carik di kelurahan kami. Pasalnya tidak ada yang mau ditunjuk, Lek Sanah yang cukup cekatan terpaksa menerima pengangkatannya sebagai carik.
Berbeda dengan Lek Tho yang grapyak, pandai bergaul, Lek Jari cenderung tertutup, ibarat kendang tidak bunyi jika tidak ditabok. Ya, Lek Tho dipercaya jadi Kepala Dusun karena grapayak-nya itu. Sedangkan Lek Jari lebih suka bergaya filosof yang sufistik. Dia taat beribadah. Maklum, langgar kecil kami adalah tempat favoritnya semasa kanak-kanak. Di sana Mbah Mus mengajari anak-anaknya juga penduduk yang mau belajar mengaji. Tak luput, Lek Jari adalah santri kesayangan Mbah Mus.
Baca juga: Kertas Azimat Penanda Mitologis Paling Laris |
Lek Sanah bergegas pulang setelah Lek Jari menuntaskan makan siangnya. Lek Sanah terburu-buru karena akan mengikuti pertemuan di balai desa yang lokasinya cukup jauh dari dusun kami.
Lek Jari masih bersantai dengan sebatang rokok yang baru saja dinyalakannya. Tiba-tiba dia teringat pesan Mbah Mus, “Nek panen, ngedos, ojo sampek pas wektu poso Ramadhon, ora ilok, mundak nggarai awakmu mbatalke poso” (Kalau panen, jangan sampai pada saat puasa Ramadhan, tidak baik, bisa-bisa jadi alasan kamu membatalkan puasa).
Tinggal beberapa hari bulan Ramadhan tiba.
Lek Sanah kuibaratkan lambang emansipasi, meskipun sulit menemukan warga kampung kami yang paham istilah itu. Aku sendiri kagum kepada Lek Sanah. Sebagai perempuan desa yang minim pendidikan, dia bersikeras mempelajari semuanya, sendirian. Iya, sendirian. Tahu lah, Lek Jari, suaminya, sulit untuk bersikap tanggap terhadap kemajuan. Sudah cukup, berkagum pada Lek Sanah.
Lek Jari masih belum bergeming, hingga azar lohor terdengar dari arah dusun sebelah. Dia sigap menuju padasan di samping gubug. Berwudhu. Berganti kostum. Lek Jari selalu meninggalkan pakaian ganti, yang suci untuk sembahyang, di gubuknya. Ia melaksanakan empat rakaatnya dengan khusyuk.
Dia tidak menyempatkan wiridan panjang setelah shalat. Dia hanya membaca fatihah yang ditujukan untuk kedua orang tuanya, kakek dan nenekku, Mbah Mus dan Mbah Nah. Setelah itu ia lanjut lagi menggenjot pedal hingga sebelum Asar, lalu pulang. Masih banyak rit-ritan (padi yang sudah dipotong) yang belum selesai digarap. Ia akan melanjutkannya besok. Masih cukup waktu beberapa hari sebelum Ramadhan datang.
Aku tidak ke sawah. Pak guru Juki, ayahku, tidak punya garapan sawah. Keluarga kami fokus pada dunia pendidikan. Ayahku sudah 10 tahun menjadi Pegawai Negeri. Pengangkatannya sejak saat Mbah Nah masih sugeng. Saat mengikuti tes, ujian CPNS, ayahku tak pernah luput minta supaya didoakan Mbah Nah. Saat itu ayahku pertama kali mengikuti tes, dan diterima.
Aku saat ini memiliki kawan seumuran, satu-satunya, di kampung. Kawanku itu tepatnya masih sepupuku, Galuh, anak perempuan Yu Sri. Ayahnya sudah tiada. Meninggal pada 5 tahun usia pernikahan. Galuh putus sekolah sudah hampir dua tahun. Seharusnya sekarang dia sudah kelas 3 SMP bersama denganku.
Keluarga besar kami sudah berkali-kali menawarkan bantuan kepada Yu Sri. Namun Yu Sri menolak. Entah apa alasannya. Mungkin itulah, warga kampung kami sangat menjunjung tinggi harga diri.
Bisa jadi, Yu Sri tidak mau menerima bantuan yang instan, tanpa usaha. Tiga sapi brahma yang diramutinya adalah titipan program desa. Dia merawatnya, digemukkan. Setelah dijual, dia akan mendapat sekian persen laba hasil penjualan. Ya, dia pekerja keras, pantang meminta belas kasihan. Atau mungkin dia merasa malu, jika sebagai anak sulung seharusnya mengayomi adik-adiknya, namun justru merepotkan mereka.
Kasihan melihat Yu Sri. Semasa kecil aku lebih sering bermain di rumah Yu Sri, dengan Galuh. Aku sangat akrab dengan Yu Sri dan Dhe Mat. Tentu saat Dhe Mat masih hidup. Aku tidak segan makan dan menginap di sana. Aku paling suka bermain catur dengan Dhe Mat, hingga larut malam. Benar, aku saat itu masih kelas 2 SD. Setelah habis-habisan bermain catur, Dhe Mat bercerita kisah seram, yang lebih sering membuatku tertawa.
Dhe Mat orang asli Madura. Dia pendatang yang cukup ulet. Tidak menyerah pada nasib adalah prinsip hidupnya. Namun aku tidak melihat prinsip Dhe Mat itu atau semangat Yu Sri tertanam pada Galuh. Ya, aku tetap mengajaknya belajar, sekalipun tidak di sekolah, paling tidak dia harus tahu beberapa hal.
Oh iya, aku lupa memperkenalkan diriku. Aku Abdullah, anak Pak guru Juki. Penduduk kampung memanggil ayahku “Pak guru” atau “Pak guru Juki”, karena memang hanya ayahku yang berprofesi sebagai guru PNS di kampung ini. Tentang namaku, kukira satu-satunya yang bergaya ke-Arab-an di kampung ini. Aku tidak tahu dari kitab apa atau wangsit dari mana ayahku memberikan nama itu.
Baca juga: Nama Adalah Doa: Berakhlakkah Dirimu? |
Aku ingin Galuh melanjutkan sekolahnya. Dua kakak ayahku, Dhe War dan Dhe San, termasuk pengusaha sukses di Jakarta. Mereka cukup mapan daripada kami yang di kampung. Mereka memiliki bisnis yang cukup menjanjikan. Sekalipun bisnis mereka adalah Warung Pecel Lele, tapi cabangnya sudah dimana-mana. Aku berencana menyurati mereka agar meminjami modal untuk Galuh membuka toko kelontong kecil-kecilan. Tapi pertama-tama harus kuyakinkan Yu Sri. Tidak mudah memang.
Aku harus mencari momen yang tepat. Paling tidak, nanti jika sudah masuk bulan Ramadhan suasana terbawa sedikit tenang.
Selain itu, hal mengenai membantu Yu Sri harus kurahasiakan dari istri Lek Tho. Maaf, bukan mengajak kalian ngrasani, aku sedikit tidak suka dengan bulekku yang satu ini. Istri Lek Tho adalah perempuan berdarah Sunda. Ceriwis memang. Meski begitu, dia ringan tangan. Mungkin ringan tangannya berbanding lurus dengan ringan mulutnya.
Dia tidak boleh tahu rencanaku. Jika tidak, dipastikan dia akan mengumbar kabar yang aneh-aneh. Intinya, lebih baik dia tidak tahu apa pun.
Tapi alasan apa yang dapat menjadikan Yu Sri akan menerima rencanaku ini. Pertama, dulu Dhe War dan Dhe San pernah dibantu oleh Dhe Mat semasa masih sekolah. Dhe Mat membantu membantu biaya sekolah mereka hingga tamat SMA. Yu Sri pun tentu tahu hal itu. Dengan alasan itu, Yu Sri mungkin akan mau menerima bantuan dari mereka. Kedua, Dhe San dan Dhe Mat tidak memiliki anak, dengan usia pernikahan yang sudah puluhan tahun. Mereka bisa membujuk Yu Sri agar menerimanya, karena sudah menganggap Galuh seperti anak kandung sendiri. Doakan saja rencanaku berhasil. []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang cerpen di atas? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga membaca kumpulan cerpen menarik lainnya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
Ini bahas harga diri apa yah lek Amin ?
Ini sebuah CERPEN…