Aku lahir di negeri yang besar nan indah. Negeri yang mempunyai ribuan pulau, tanah yang subur, lautan yang luas, kekayaan sumber daya alamnya pun melimpah, bisa jadi mirip surga. Namun, bagi kami—rakyat biasa—sulit sekali menikmati apa yang kami miliki.
Kata kakekku, dulu negeri ini pernah dijajah oleh para penjajah selama berabad-abad. Sampai suatu ketika Tuan Besar memproklamasikan kemerdekaan hingga lahirlah Republik ini.
Tapi aku sedikit ragu dengan kata merdeka itu. Atau barangkali, aku merasa Republik ini masih belum benar-benar merdeka.
Baca juga: Quo Vadis Kemerdekaan? |
Di negeri ini, orang-orang biasa menyebutnya dengan Republik Omong Kosong. Aku tak tahu mengapa. Yang pasti, dulu waktu aku kecil kakekku pernah bercerita, bahwa negeri ini dinamakan Republik Omong Kosong karena Tuan Besar saat itu memproklamasikan kemerdekaannya di atas mimbar.
Mungkin karena mimbar adalah simbol dari omong kosong, entahlah. Namun, andai Tuan Besar waktu itu memproklamasikannya di dalam toilet, pasti negeri ini bernama Republik Kotoran.
Republik ini dikelola oleh suatu pemerintahan. Pimpinan tertinggi disebut Presiden, yang dibantu 4 Kementerian, yaitu: Kementerian Citra, Kementrian Sulap, Kementerian Rakus, dan Kementerian Lawak.
Kementerian Citra bertugas untuk menjaga citra sang penguasa, yang berarti membenarkan apa saja kebijakan penguasa, termasuk janji-janjinya.
Kementerian Sulap bertugas di bidang pertahanan, keamanan, juga kestabilan negara. Bagaimana pun caranya!
“Dulu banyak orang bersuara lantang menuntut keadilan nak, namun mereka hilang dan belum pernah kembali sampai sekarang”, cerita ayahku suatu ketika tentang pandainya pengelola negeri ini bermain sulap.
Lalu di Kementerian Rakus, mereka bertugas untuk mengurusi persoalan perut, seperti menyiapkan kebutuhan pangan. Namun aku tak tahu, perut siapa yang dimaksud itu?
Sementara yang terakhir adalah Kementerian Lawak, bertugas mengurus hukum dan kemanusiaan dengan seadil-adilnya tanpa pandang bulu, harusnya si begitu.
Tapi kata ayahku, di negeri ini pernah ada penjahat menyiram air keras ke wajah seseorang. Namun dengan dalih tidak sengaja, mereka hanya dihukum 1 tahun penjara.
Baca juga: Keadilan dalam Kasus Penyiraman Air Keras terhadap Novel Baswedan Mungkin Butuh New Normal |
Itu merupakan persoalan hukum, yang tentunya tugas Kementerian Lawak. Seperti namanya, Kementerian Lawak memang pandai melawak.
“Jangan-jangan Tuan Besar memproklamasikan kemerdekaan negeri ini karena dia ingin menunjukkan kepada seseorang yang pernah menolak cintanya, bahwa dia mampu melakukan itu”, ucap Bejo—teman sekelasku— di warung kopi, tempat biasa kami nongkrong.
“Barangkali, cinta Tuan Besar ditolak karena Tuan Besar terlalu sibuk mengurus urusan politik, sampai kurang memedulikan urusan perasaan. Tiba-tiba obrolan kami terhenti sejenak karena kedatangan Bu Endang yang mengantarkan pesanan kami. Seperti biasa; dua cangkir kopi pahit.
Baca juga: Kontestasi Partai Politik dan Gerakan Sosial Islam Pasca Orde Baru |
“Tapi bisa juga, perempuan itu menolak cinta Tuan Besar karena dia menganggap Tuan Besar terlalu mengada-ngada soal kemerdekaan negeri ini. Lalu sakit hati atas penolakan serta alasan tersebut, membuat semangat Tuan Besar berkobar. Dan apa yang dia ucapkan tentang kemerdekaan itupun terwujud,” sahutku setelah kepergian Bu Endang.
Itulah mengapa salah satu pepatah pernah mengatakan: “Di balik suksesnya seorang pria, terdapat perempuan di baliknya,” pikirku dalam hati.
“Ngomong-ngomong, kado apa yang akan kau berikan untuk ulang tahun Republik ini, Gong?”, tanya Bejo mengalihkan pembahasan.
Pertanyaan itu langsung mengingatkanku terhadap hari kemerdekaan Republik ini yang tinggal beberapa hari lagi akan diperingati. Namun, aku yang ragu akan kemerdekaan ini pun sedikit bingung. Karena aku merasa tidak mampu memberikan apa-apa untuk Republik ini di hari ulang tahunnya tersebut.
“Entah, Jo. Aku tak bisa bermain sulap, aku tak bisa melawak, akupun tak rakus dan aku juga tak pandai membangun citra. Lantas apa yang bisa aku berikan, sedang aku hanya seorang anak dari nelayan yang malang. Ah sudahlah, Jo, paling tidak aku masih bisa mendongakkan kepala untuk hormat kepada bendera Republik ini”, jawabku kepada si Bejo.
“Benar juga katamu, toh kita cuma rakyat biasa. Andai saja kita bisa memimpin negeri ini ya, Gong. Tapi mana mungkin orang seperti kita bisa jadi pemimpin. Dasar aku, halu hehehe”.
Mendengar perkataan Bejo tersebut, aku sedikit merenung. Ada benarnya juga dia, orang seperti kita mana mungkin bisa menjadi pemimpin Republik ini.
Namun, seiring berjalannya waktu aku mulai paham dengan cerita-cerita ayahku, bahwa untuk menjadi pemimpin Republik ini, kita tidak perlu pintar, tidak perlu bijak, apalagi jujur. Kita hanya butuh pandai bermain sulap dan melawak, sesimpel itu”.
Selamat datang di negeriku; Republik Omong Kosong!
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang cerpen di atas? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga membaca kumpulan cerpen menarik lainnya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment