Pandemi di Indonesia nampaknya sudah mulai tak dijadikan “benalu” oleh masyarakat luas. Hal tersebut dapat kita lihat di jalanan, warung kopi, pusat perbelanjaan yang mulai ramai kembali dan banyaknya tempat ibadah yang kembali dibuka. Sampai-sampai sering terdengar narasi, “Covid-19 bukan penyakit yang mematikan.” Begitulah ujar kebanyakan orang di Indonesia. Namun, kita lupa terhadap apa dan bagaimana yang seharusnya kita lakukan setelah pandemi ini sirna.
Sebenarnya masyarakat Indonesia sudah mengerti ada yang lebih berbahaya daripada Covid-19. Tapi banyak yang enggan atau belum menyadari apa yang lebih berbahaya daripada Covid-19. Buktinya, ada yang menarasikan bahwasanya Covid-19 tak mematikan. Berarti ada yang lebih berbahaya daripada itu. Tapi, lagi-lagi budaya malas membaca–baik membaca keadaan atau membaca buku–menjadi bumerang yang sejak purba belum mengalami kepunahan.
Melalui selayang pandang singkat ini, mari perlahan kita selami, apa yang lebih membahayakan daripada Covid-19 dan bagaimana solusi dalam mengatasinya. Terlepas dari mematikan atau tidaknya Covid-19, ada yang lebih penting untuk dikaji sekaligus direalisasikan secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Sebab, jika terlalu lama dibiarkan saja, pola masyarakat–saling curiga dan minimnya kepekaan–akan tumbuh subur dan beranak-pinak. Apakah itu? Mengapa perlu dikaji-direalisasikan secara seksama dan secepatnya?
Kita sepakat, selama #dirumahaja, kegiatan tatap muka vis a vis semakin terbatas. Semua kegiatan dilakukan secara virtual, Work from Home. Dengan kegiatan yang serba dibatasi dan dilakukan secara daring, pasti kita lebih bebas dalam memilih siapa yang hendak kita tuju dan apa yang akan kita gugu. Sudah pasti seseorang yang sevisi dan sefrekuensi dengan kita, bukan?
Dampak dari kegiatan seperti itu, lambat laun kita akan merasa asing ketika hendak berkomunikasi cum bersosialisasi secara nyata terhadap orang lain yang terkadang berbeda frekuensi dengan kita. Pada hakikatnya, setiap orang beda kepala, beda isi, beda tujuan. Hal itulah yang menjadi batu terjal yang perlu kita lewati setelah pandemi ini fana.
Baca Juga: Kenapa Orang Lebih Percaya Diri Punya Pacar Tatakala Menjadi Mahasiswa? |
Manusia Ruang
Bila mengikuti perkembangan media, berita tentang pandemi serta obituari memang belum benar-benar tuntas. Tak mengapa, meskipun pemberitaan itu masih digencarkan di banyak media massa, masyarakat mulai menormalkan kembali kegiatannya. Tentu dengan segala protokol kesehatan yang telah ditentukan. Saat seperti itulah kita dituntut kembali menjadi ‘manusia ruang.’
Mungkin anda sekalian merasa asing mendengar istilah ‘manusia ruang,’ bukan? Sebelum menyelam lebih dalam. Kita pasti pernah mempelajari matematika tentang titik, garis, bidang, dan ruang yang biasanya dipelajari saat di bangku sekolah menengah dan diberi nama Geometri.
Ruang menjadi kasta tertinggi dalam unsur geometri, karena menghimpun kumpulan titik, menjadi garis yang berkesinambungan membentuk sebuah bidang, hingga pada akhirnya dapat disebut ruang jika beberapa bidang telah menyatu. Fungsi utama dari sebuah ruang adalah untuk mewadahi apapun, berupa barang atau hanya udara.
Serupa halnya dalam menjadi manusia, yang harus terus-menerus berproses. Jika hanya menjadi titik, garis, ataupun bidang, muskil bagi kita untuk menerima dan mewadahi keragaman manusia lainnya dalam prespektif kita.
Sampai di sini, apakah anda sekalian sudah memahami istilah ‘manusia ruang’ dan korelasinya dengan era baru setelah pandemi? Mari kita berpikir dan berefleksi.
Baca Juga: Musim Dingin yang Panjang di Dunia Mahasiswa |
Nasib Manusia Ruang di Era Pasca-Pandemi
Ya, memang perlu sedikit berpikir mendalam agar menemukan makna ‘manusia ruang’ yang kini mulai usang, dikarenakan sekian lamanya kita “bersemedi” di rumah dan membatasi diri terhadap orang lain.
Seperti yang telah saya sebutkan tadi, selama masa pandemi beberapa bulan ini, kita lebih leluasa untuk memilih-milih orang yang satu frekuensi dengan kita. Padahal, sebelumnya kita diharuskan beraktivitas di luar dengan menghadapi pusparagam sikap, pemikiran, dan tujuan masing-masing individu manusia.
Saat ini, perlu pembiasaan kembali agar kita dapat kembali lebih terbuka terhadap perbedaan dan kembali menyuburkan kepekaan sosial yang sebelumnya sempat layu. Hal itulah yang sangat penting untuk kita realisasikan bersama-sama. Bukankah perbedaan seharusnya adalah hal lumrah di negara multikulturalisme? Untuk itulah jangan sampai–dengan dalih waspada terhadap virus–mengesampingkan kepekaan sosial dan menutup diri terhadap perbedaan.
Pasca-pandemi atau yang sering disebut New Normal ini perlu diiringi dengan New Moral. Melihat realita bahwa kini banyak orang yang semakin tak peduli terhadap satu sama lain, bahkan acuh saat melihat tetangganya sedang terpuruk secara ekonomi, membuktikan bahwasanya kontruksi manusia yang sebenarnya bersifat seperti ruang–mewadahi segala perbedaan–telah mengalami kemerosotan.
Fungsi dan kegunaan sebuah ruang itu yang kini mulai sunyi dalam renungan manusia saat menghadapi serba-serbi yang baru pasca-pandemi. Dengan begitu, pantaslah jika sebuah kedamaian menggugat saudara-saudara kita yang sedang kesusahan dan memperkeruh ragam perbedaan yang semakin lusuh.
Baca Juga: Menjadi ‘Ahsani Taqwim’ dengan Pancasila |
Kembali Berdaulat Menjadi Manusia Ruang
Re-kontemplasi atau perenungan kembali menjadi satu-satunya kunci dasar dalam mengembalikan kedaulatan ‘manusia ruang’ pada diri kita. Memang, pada dasarnya mengubah kebiasaan–komunikasi secara maya menjadi komunikasi nyata–yang beretika serta menghargai segala perbedaan butuh waktu dan proses.
Namun, proses yang terlalu lama juga tak baik. Perlu kita ingat, yang terpenting dari adanya Covid-19 ini bukan hanya soal mematikan atau tidaknya. Masih ada perihal kemanusiaan, etika komunikasi, dan kualitas moral yang harus kita rawat dengan kesadaran yang utuh dan menyeluruh.
Sementara, biarkan diri kita menampung segala serba-serbi kebaruan pasca-pandemi ini. Jangan sampai ada intervensi dan hegemoni dari pihak selain pada diri kita sendiri. Pihak di luar diri kita yang paling mudah untuk mengintervensi salah satunya adalah narasi-narasi di sosial media yang kerap memancing kita untuk turut menyuarakan gagasan kita, meski tak ahli di bidangnya, yang penting eksis dulu. Padahal apa yang kita suarakan tak berpengaruh kebaikan apapun, kecuali kejengkelan hati dan adu argumen yang mendongkolkan otak kita.
Semua orang tentu berharap agar pandemi ini benar-benar bersih dari muka bumi dan kehidupan dapat berjalan normal kembali seperti sedia kala. Banyak perubahan-perubahan karena dampak adanya pandemi ini. Tapi, adanya perubahan tersebut tak merubah pola keberadaban kita di Indonesia, bukan? Sebagai masyarakat yang terbiasa hidup dan terhimpun dari berbagai perbedaan, sudah keharusan bagi kita semua untuk mempertahankan dan meningkatkan kesatuan dalam keberagaman.
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya!
Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannyadi sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.iddi sini!
Mantullll. Namun, saya kurang sepakat dengan terma “Era Baru Pasca Pandemi”. Bagaimanapun pemberlakuan New Normal tidak berarti pandemi telah usai (pasca pandemi). Justru jika ditelisik secara defacto di masa New Normal ini kasus positif Covid-19 semakin melonjak. Itu dapat kita lihat dari data media massa atau data yang diekspos satgas Covid-19. Itu berarti New Normal tidak sama dengan pasca pandemi, melainkan masa adaptasi atau transisi ruang lingkup aktivitas baru.
Pada paragraf dua sebelum akhir, sengkarut alur pikir itu semakin jelas karena adanya pertentangan logika yang ditampilkan. 🙏
Ah, itu hanya sebatas komentar yang bertumpu pada ketidaktahuan saja. Terimakasih.
Wah.. terima kasih atas koreksinya, Mas. Barangkali begitulah ikhtiar kita agar terus menjadi manusia, dengan cara saling mengingatkan dan tepat seperti slogan Artikula.id “BIJAK MENYIKAPI PERBEDAAN”
Iya sama-sama mas Bro… betul sekali, setidaknya kita bersikap bijak atas perbedaan.