Pesohor ilmuan barat kutemui banyak missed dan ketidakcocokan dalam beberapa titik poin. Bahkan sampai di titik paling kontradiktif dan ngeganjel, sehingga aku putuskan menolak beberapa part dari lipatan-lipatan pemikirannya dan benang kusut teorinya. Namun seiring bertambah ketidakcocokan itu malah kusemakin menkaguminya, adalah 3: 1- Stephen Hawking. 2- Albert Einstein. 3- Tesla.
Tapi jangan tanya jelasnya kenapa, dan perihal alasan mendasarnya, supaya tulisan ini tidak “nyerocos” dan berkepanjangan. Aku ingin persingkat saja. Kalian pergilah ke perpustakaan dan bongkar-pasangkan jawabannya.
Alasan lainnya adalah, aku bukan ilmuan, bukan mujtahid “logos” tertentu, tak ada bentuk ekspertasi apapun yang bisa kau jumpai dalam rimba pemikiran diriku, jadi untuk apa memberi argumentasi alasan lugas penolakannya, toh tidak akan jadi penting-penting amat di ruang keilmuan.
Aku dengan mereka antipode. Agak beda rentang pinggiran zamannya, dan juga kontras dunia dengan mereka. Jangan menggunakan anasir, pemikiran akhirat yang jauh, Thalos dan sebagainya, beda dunia adalah semacam ruang jatidiri. Adalah semacam keunikan rahasia paling inti yang tersimpan tersembunyi di ruang jatidiri.
Terdengar sayup-sayup dari masa lalu: Euureka, Eureekaaa. Ucap 3 ilmuan itu menemukan dirinya. Mereka menemukan siapa mereka sesungguhnya. Mereka senang bukan kepalang, senyum mereka mekar, akhirnyaaa… Bisyukurillaaah….
Mereka lanjut menemukan tugas berhidupnya dan gaspoool mengabdi pada dirinya yang sesungguhnya. Meneliti, memformulasikan lalu menguji rumusan teorinya, dikonsepkan dengan desain rumus-rumus njelimeet. Semua bertugas dengan dirinya yang sesungguhnya. Sementara aku merdeka berenang di lautan dengan ikan-ikan, mereka dibuat penat meneliti sirip dan duri-duri dagingnya.
Dunia manusia adalah mengenai jati diri. Lalu apakah kalian sudah “Euurekaaa” terhadap siapa kalian sesungguhnya? Tujuan yang paling murni dan sebenarnya dari kenapa kalian diciptakan? Kalau kalian menempuh dunia pendidikan dengan jurusan ekonomi apa kalian memang benar-benar ditakdirkan sebagai Ekonom? Jika kalian mendakwahi setiap kepala ummat di mimbar-mimbar masjid dengan jutaan hadits dan ayat-ayat suci yang sejuk nan indah apa dengan begitu kalian sudah merasa bahwa sebenar-benarnya kalian adalah seorang Ulama?
Atau itu jati diri kalian selama ini hanya karena ada unsur himpitan keadaan, grusa-grusu identitas, hasutan-hasutan sana-sini, produk ego yang buta, nafsu individualis, persaingan dan rivalitas, dan lainnya sehingga Faktor X itu menggerhanai siapa sesungguhnya kalian sebenarnya?
Apa ada yang salah alamat di antara kalian? Atau menjadi sudah tidak penting “diri kalian” dari kalian? Karena yang penting hidup adalah sederhana: lahir, kerja, nikah, ngencuk, punya anak, masih kerja, meninggal, beres.
Stop “manusia-manusia tipuan” dalam diri kalian. Kalian semua adalah murni dengan penuh kehebatan dalam dunia kalian sesungguhnya. Semua orang punya potensi untuk memaksimalkan dirinya dalam ruang lingkup dunianya. Manusia punya biik-bilik dunianya sendiri. Setiap individu punya panggungnya sendiri-sendiri dan keunikan masing-masing. Tugas kita cuma menggenjot sampai versi terbaik dari diri kita.
Jangan ceritakan padaku lagi mengenai orang yang gagal menemukan panggungnya dan hidup di bawah panggungnya sendiri dengan tanpa pernah sadar ia punya panggung. Dunia-dunia manusia sudah cukup salah kaprah untuk diteruskan mencla-mencle identitas.
Aku banyak dibilang temanku digadang-gadang sebagai Aristoteles Kontemporer, Lao-Zu Abad 21 atau Rumi Reborn, sebelum aku tampar dan tempelengi mereka satu-satu sehingga mulutnya mincep. Arsyad Ibad adalah Arsyad Ibad. Tidak ada apapun di dalam identitas jati diriku kecuali aku. Tidak Aristoteles. Tidak Lao-Zu. Tidak Rumi. Tidak siapapun.
Enak saja. Apalagi aku ini cuma remaja biasa. Apalagi? Filsuf sufistik? Sufi folosofis? Aku marah dan bergidik, agak nggilani, minder, sepertinya kuno sekali dan kurang modern “Filsuf” “Sufi” untuk anak semillenial aku yang doyan main PUBG.
Tapi inti dari “apapun duniaku sebagai manusia sesungguhnya”, menjadi apapun kalian di dunia masing-masing, jadilah manusia baik, penuh cinta kasih. Itu saja.
Arsyad Ibad
Sekargandha,
10 Juli 2018 21:16
0 Comments