Potret Perkosaan dan Pelestarian Paham Keagamaan ala Tradisi Patriarki

Langgengnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sedikit banyak telah menjadikan ajarannya masuk dalam norma kemasyarakatan. 3 min


Sumber gambar: www.liputan6.com

Perkosaan menjadi salah satu tindakan yang merenggut Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut catatan tahunan Komnas (Komisi Nasional) Perempuan Tahun 2019, telah terjadi 3062 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik.

715 kasus diantaranya adalah kasus perkosaan. Angka tersebut belum merepresentasikan kasus perkosaan lainnya yang tidak dilaporkan kepada lembaga penegak hukum.

Hal ini mengindikasikan masih rendahnya kepercayaan masyarakat akan kinerja lembaga penegak hukum dalam mengusut kasus kekerasan seksual, sekaligus dibarengi stigma yang mengakar di masyarakat.

Masyarakat selalu menganggap korban perkosaan memiliki kepribadian yang buruk. Karenanya, para korban memilih untuk bungkam dan dibunuh oleh perasaan malu hingga trauma tanpa adanya penanganan.

Baca juga: Quo Vadis Politik Kriminal RUU-PKS

Langgengnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, sedikit banyak telah menjadikan ajarannya masuk dalam norma kemasyarakatan.

Di antaranya adalah karakter patriarki yang mengakar dalam penafsiran tekstual ajaran-ajaran Islam yang masuk dan menjadi bagian dari nilai dan norma dalam masyarakat Indonesia.

Salah satunya adalah maraknya image perempuan yang disebut sebagai ‘fitnah’ bagi laki-laki, perempuan objek seksual laki-laki, perempuan harus tunduk kepada suaminya ketika sudah menikah dan wacana lainnya. Tidak sedikit mengatasnamakan agama, menjadikan legalitas akan kuasa laki-laki dan sikap legowo perempuan.

Pandangan ini memberikan implikasi logis atas maraknya perkosaan, yang disebabkan oleh anggapan bahwa perempuan “karena menjadi perempuan” secara otomatis hidupnya dipenuhi oleh aturan yang mengekang aktualisasinya.

Paham keagamaan—Islam– di Indonesia mengandung kadar yang rendah akan adopsi konsep “saling” dalam pembentukan ajaran Tuhan untuk manusia berkehidupan. Sejarah mengatakan bahwa banyak aturan bagi perempuan, namun tidak ditujukan untuk kaum laki-laki.

Sebagaimana telah diketahui, masyarakat jahiliyyah yang sangat patriarki menjadikan Nabi saw. dalam menyampaikan ajaran pun menyesuaikan dengan tradisi penerima—Masyarakat jahiliyyah.

Seksualitas: Menyoal Fenomena Perkosaan Lebih Mendalam

Berbicara tentang seksualitas, tidaklah sama dengan gender atau bahkan seks. Hanya seks yang dengan jelas berkenaan dengan anatomi-biologis manusia, yang menentukan manusia itu laki-laki atau perempuan. selebihnya, gender dan seksualitas adalah produk sosial.

Sehingga, jika dimaknai lebih lanjut, seksualitas adalah konstruksi sosial yang berkaitan dengan sikap, perasaan, nilai, yang berkaitan dengan perilaku dan orientasi seksual. Oleh karena itu, antara gender dan seksualitas saling bertautan dalam hal sifatnya yang masih dapat diubah.

Baca juga: Membaca Perempuan dari Masa ke Masa

Inayah Rohmaniyah (2019: 38-39) mengatakan bahwa konstruksi seksualitas akan selalu berubah-ubah seiring perubahan yang dialami oleh pengetahuan yang berkuasa dalam membentuk wacana. Jelasnya, seksualitas akan memiliki keterkaitan dengan pengetahuan, norma, serta perilaku yang subjektif dalam ranah seks dan sistem kuasa pengetahuan.

Oleh karenanya, pemaknaan seksualitas di kalangan masyarakat adalah makna atas pengalaman seksual yang secara nyata terjadi di masyarakat.

Salah satunya adalah dengan siapa seseorang dapat berhubungan seksual, batas usia bolehnya melakukan hubungan seksual, bahkan sampai alat kontrasepsi laki-laki maupun perempuan yang juga dikendalikan oleh sistem pengetahuan kuasa atau mengatur Bodily Function—meminjam istilah Inayah Rohmaniyah— hingga bagaimana tubuh seseorang dapat mengundang hasrat manusia lainnya.

Dalam ranah paham keagamaan yang diproduksi di masyarakat, sebut saja salah satunya seperti hadis mengenai perempuan adalah fitnah bagi laki-laki;

حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عُثْمَانَ النَّهْدِيَّ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ»

“ … aku tidak meninggalkan setelahku satu fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada fitnahnya para wanita”.

Argumentasi yang lahir dari hadis ini adalah ketika perempuan di luar rumah, hal tersebut menjadikan perempuan seolah ‘menebar fitnah yang akan memancing pandangan kaum laki-laki’.

Inilah awal dari perkosaan dilancarkan. Sebagian besar laki-laki menyetujui bahwa perempuan sebagai penggoda berdasarkan legitimasi hadis tersebut secara tekstual. Namun, perlu ditinjau kembali bagaimana Islam terkesan tidak adil jika hanya memvonis perempuan.

Hadis tersebut juga menurunkan pemahaman lain, di antaranya bahwa suara perempuan adalah aurat, cara berjalan perempuan dilarang berlenggak-lenggok, dilarang menggunakan wewangian dan wacana lainnya.

Perkosaan dari sudut pandang seksualitas, apabila dirunut dari aspek konstruksinya, maka akan didapati; pertama, aspek pengetahuan seksualitas.

Perkosaan dalam ranah konstruksi pengetahuannya, dilihat dari kacamata seksualitas selalu menimpa lebih banyak kepada perempuan. hal ini dilandasi oleh paham agama, yang salah satunya berasal dari pembacaan atas hadis ‘perempuan adalah fitnah terbesar laki-laki’.

Oleh karena itu, jika ditinjau lebih lanjut akan memberikan pemahaman distingtif, bahwa perempuan sangat dijunjung oleh Islam dalam hal aturan berpakaian dan berperilaku, namun dalam sisi yang lain tanpa disadari, aturan tersebut penuh akan kesan ketimpangan seksualitas.

‘fitnah’ dalam hadis tersebut sejatinya juga mengandung anjuran untuk laki-laki menjaga dirinya, tidak hanya untuk perempuan. Sehingga, dalam banyak dalil mengenai aturan yang dialamatkan kepada perempuan juga harus dibaca dalam sudut pandang anjuran positif terhadap laki-laki, begitupun sebaliknya.

Kedua, terkait dengan norma atau etika seksualitas. Dalam hadis tersebut perlu adanya pembacaan dari dua arah. Dalam aspek norma seksualitas terkait sebab perkosaan, salah satunya adalah konstruksi perempuan yang diatur dalam hal berpakaian dan berperilaku tidak hanya oleh agama, namun juga sosial serta tradisi setempat.

Akhirnya, muncullah standar kesopanan berbusana yang akan bertransisi sesuai politik identitas juga budaya.

Kondisi ini diperparah dengan penjelasan dari para pegiat keagamaan, sebut saja di antaranya adalah pendakwah di media sosial yang juga melanggengkan norma ini. Salah satu penyebabnya adalah mayoritas pendakwah tersebut adalah laki-laki, sebagaimana mayoritasnya kalangan laki-laki dalam deretan mufassir generasi awal.

Ketiga, aspek perilaku seksual yang lebih banyak berpihak pada laki-laki. salah satunya berupa pengalaman seksual laki-laki yang dianggap biasa dan alat kontrasepsi laki-laki yang lebih minim risiko daripada perempuan. Risiko yang dimaksud di antaranya adalah rasa sakit yang dirasakan dan perubahan fisik tubuh.

Baca juga: Jadi Perempuan itu Rumit

Editor : Sukma Wahyuni

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
2
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Karina Rahmi Siti Farhani
Perempuan asal Garut. Mahasiswi Program Pendidikan Kader Ulama Perempuan Masjid Istiqlal - LPDP . Menekuni kajian Keislaman-Keperempuanan

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals