Fatima Mernissi: Bukti Keberanian Pemikir Perempuan

Keberanian inteletual Mernissi tidak saja mendobrak sistem patriarki di masanya, namun juga mendobrak para sahabat Nabi yang dianggapnya tidak objektif3 min


0
Sumber foto: www.apikartini.org

Fatima Mernissi adalah seorang perempuan yang membuat saya takjub. Sebagai sesama perempuan, saya kira keberanian yang dimilikinya jauh melampaui pikiran perempuan lain, khususnya saya.

Sebagai salah satu contohnya, tidak banyak pemikir perempuan yang cerdas, brilian, dan tentunya sangat berani seperti Fatima Mernissi. Berani dalam artian tidak hanya mendobrak stigma dan struktur sosial yang acap kali mendiskreditkan perempuan, Mernissi—sebutan pendek Fatima Mernissi— juga masuk dalam ruang yang sangat sensitif yakni keagamaan, khususnya hadis Nabi.

Sebenarnya, pemikir perempuan Muslim yang kemudian sering disebut feminis—meskipun tidak semua menyebut dirinya dan ingin disebut feminis—cukup banyak, sebut saja Nawal al-Sadawi, Amina Wadud, Laela Ahmad, Maryam Jameela, Ghada Karmi, Anne Shofie, dan lainnya. Lantas apa menariknya Mernissi?

Baca juga: Distingsi Penafsiran Amina Wadud dan Ulama Klasik Terhadap Ayat Penciptaan Perempuan

Kegelisahan Mernissi kecil dimulai ketika ia dijadikan harem—seorang gadis dididik untuk tidak sembarangan berinteraksi dengan orang lain, terutama laki-laki, tanpa seizin keluarganya— hal ini tentu membatasi aktualisasi dirinya.

Dalam pola relasi keluarganya, terjadi silang pendapat dalam memandang harem. Di antaranya adalah penolakan yang datang dari keluarga ibu Mernissi. Mereka memandang bahwa harem terlalu kolot untuk tetap dijalankan saat itu.

Sayangnya, patuh pada tradisi sangat mengakar dalam paradigma keluarga Mernissi. Menaati tradisi yang diagungkan oleh pihak keluarga Mernissi lainnya menjadikan harem tetap menjadi sistem didikan yang diterima oleh Mernissi sejak kecil hingga remaja. Hal ini membuat Mernissi tumbuh seperti perempuan lain pada masanya.

Hal yang membuat Mernissi berbeda adalah ia masih bisa mengecap bangku sekolah. Ia menuturkan dalam autobiografi berjudul Perempuan-perempuan Harem, bahwa andaikata ia lahir dua tahun lebih awal, mungkin ia tidak akan sekolah dan tidak akan menikmati pendidikan.

Pasalnya, pada saat ia lahir—tahun 1940—, pasukan nasionalis Maroko sudah berhasil mengalahkan imperialisme Prancis.

Sewaktu remaja, Mernissi menyadari banyak hal terkait posisinya sebagai perempuan di masyarakat dan berbagai ambivalensi pemikiran yang diajarkan kepadanya. di satu sisi al-Qur’an menyerukan keadilan, namun pemahaman guru-gurunya, keluarganya, masih ada yang mengharuskan sistem harem, sedangkan untuk laki-laki tidak ada sistem serupa.

Guncangan hebat pun kembali dialami Mernissi ketika belajar hadis. Redaksi hadisnya, bahwa “anjing, keledai, dan perempuan, akan membatalkan shalat seseorang apabila melintas di depan mereka, menyela antara orang yang shalat dan kiblat.”

Mernissi merasa tidak percaya, bagaimana mungkin Nabi Muhammad saw. yang terkenal sangat mulia, bisa menyakiti seorang gadis kecil yang sedang berusaha mempelajari hadis-hadisnya.

Bagaimana mungkin seorang Nabi yang agung, menyamakan wanita dengan anjing serta keledai? Siapa yang keliru di sana, apakah perasaannya yang masih tidak tahu apa-apa, atau hadis Nabi, atau siapa?

Tentu saja, sebagai seorang muslim taat dan diajari berbagai nilai-nilai keagamaan di keluarganya, Mernissi tidak berani untuk menyalahkan hadis Nabi.

Namun, justru karena itulah, Mernissi menjadikan momen perjumpaannya dengan hadis itu sebagai kesempatan yang “istimewa”.

Bertahun-tahun setelahnya, ketika Mernissi menjadi seorang ahli sosiologi dan politik serta mempunyai bekal jurnalistik yang kuat, ia kemudian mempunyai jalan sendiri untuk menangkal kegelisahannya. Hermeneutika feminis menjadi rumusan yang diusungnya demi mengembalikan substansi ajaran Islam yang telah akut berkubang dalam bias patriarki.

Baca juga: Pendekatan dan Analisis dalam Penelitian Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir

Secara singkat dapatlah disebutkan bahwa secara metodologi hermeneutika feminis dapat dijelaskan dalam tiga tahap, yakni pertama, mengacu pada metodologi Islam klasik tentang ijtihad, tafsir dan syarah.

Kedua, menggunakan tambahan berbagai metodologi dan paradigma keilmuan modern-kontemporer, seperti Linguistik, Sejarah, kritik sastra, Sosiologi, Antropologi, Semiotika, Semantika, Politik, Hukum, Psikologi, dan lainnya. 

Ketiga, menganalisis ayat al-Qur’an atau Hadis secara kritis berdasarkan pengalaman-pengalaman perempuan yang tidak atau belum disadari oleh penafsir atau pengaji yang patriarkis.

Tidak tanggung-tanggung, keberanian inteletual Mernissi, tidak saja mendobrak sistem patriarki di masanya, namun juga mendobrak para sahabat Nabi yang dianggapnya tidak objektif.

Hasil kajiannya menemukan bahwa seorang perawi hadis sekaliber Abu Hurairah, seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, disebutnya telah berlaku diskriminatif terhadap perempuan. Oleh karenanya, hadis-hadisnya harus ditolak—minimal hadis yang mendiskriminasi perempuan—.

Dalam bukunya Women and Islam (1991), Mernissi membeberkan semua kritik kepada Abu Hurairah. Terutama yang paling menarik adalah berbagai perseteruannya dengan Aisyah.

Jika Aisyah—istri Rasulullah—mengkritik Abu Hurairah karena dianggap meriwayatan hadis yang belum pernah didengarnya (sebab Aisyah sangat dekat dengan Nabi), Abu Hurairah malah menyebutnya sebagai wanita yang terlalu sibuk berdandan sehingga tidak memperhatikan hadis Nabi.

Dari Kritik sampai Hermeneutika yang Menarik

Kritik yang dituai dari sikapnya yang demikian kritis terhadap sahabat Nabi, jelas tidak sedikit. Tidak hanya kritik, tetapi berbagai caci-maki paket komplit, termasuk, pihak-pihak yang “mengharamkan” hermeneutika. Mereka juga kerap berdalih soal sesat pikirnya seorang Fatima Mernissi.

Bagi saya, justru di sanalah menariknya hermeneutika. Ia  sejatinya tidak akan berbunyi dan berguna tanpa ilmu (science modern). Hermeneutika adalah jembatan yang menghubungkan secara sangat menarik dan kreatif antara teks dan keilmuan paling mutakhir.

Baca juga: Diskusi Hermeneutika dan Tafsir al-Quran

Dengan demikian, selain hermeneutika tidak bisa berdiri sendiri, ia juga mempunyai implikasi yang sangat kritis, sampai-sampai mengganggu kemapanan dan kenyamaan banyak pihak.

Efek kemanjuan dan penemuan-penemuan kesadaran baru yang dapat ditawarkan hermeneutika menjadi terabaikan karena banyak pihak secara emosional menghukuminya sebagai “sesat”, ilmu yang menyesatkan.

Akibatnya, banyak perempuan milenial—bahkan mungkin juga laki-laki— enggan dan takut untuk mempertanyakan segala hal yang dapat membuatnya lebih baik. Atau malah sebaliknya, jika ada pihak yang kritis, generasi milenial akan menyambutnya dengan julid dan nyinyir tiada tara.

Belajar dari masa muda Mernissi, banyak hal yang sejatinya mungkin sekali dialami oleh generasi saat ini. Sikap kurang piknik dan minat baca yang rendah, menjadikan setiap kegelisahan itu beres dengan mencari jawaban dari para penceramah di Youtube atau mungkin mencari jawaban sederhana di internet.

Terus terang saja, siap kritis, revolusioner, sampai yang dianggap nyeleneh, tidak mungkin terjadi pada mental-mental “instan” yang hanya siap jadi konsumen. Hermeneutika menawarkan siapa saja jadi produsen, atau pun jadi konsumen, jadilah konsumen yang kritis.

Terlebih di dunia serba digital seperti saat ini, masih bersedia menjadi konsumen yang naif apalagi dibarengi dengan emosional yang tinggi, bersiaplah menjadi sampah peradaban.

Editor : Sukma Wahyuni

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

0
Karina Rahmi Siti Farhani
Perempuan asal Garut. Mahasiswi Program Pendidikan Kader Ulama Perempuan Masjid Istiqlal - LPDP . Menekuni kajian Keislaman-Keperempuanan

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals