Pandemi Sebagai Medan Ziarah-Haji

Covid-19 tak lain adalah proses membuka diri, mematuhi dalam “Labbaik-Allahumma-Labbaik” kami menerima panggilanmu untuk berziarah dalam masa pandemi ini. 4 min


1
Haji di Masa Pandemi
Foto: Ratusan jemaah melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah di Masjid al-Haram, dengan tetap menjalankan protokol Covid-19 jelang ziarah haji di Mekah, Arab Saudi, Rabu, 29 Juli 2020 (AP Photo/Kompas.com)

Haji adalah ibadah yang menggambarkan tentang evolusi manusia menuju Tuhannya. Menurut Ali Syariati, pemikir Islam dari Iran, Haji memuat beragam simbol dan peran yang selalu ingin direplikasi.

Ada ragam tempat, seperti Ka’bah, Shofa Marwah, juga Arafah. Pun, peran-peran, seperti Ibrahim, Ismail dan Hajar, termasuk pula tokoh yang tidak kentara, yakni setan. Menariknya, dalam Haji replikasi peran dan simbol itu dilakukan seorang diri, yakni diri para jamaah.

Ibadah yang sakral ini secara simbolis dapat menjadi cermin dari ziarah yang kini juga kita alami, ziarah pandemi Covid-19.

Pandemi Covid-19, sebagaimana pula Haji, merupakan sebuah panggilan dari Allah; akankah manusia menyadarinya, apakah kita mengakuinya, ataukah menjadi sosok ignorant yang tidak peduli, maka Covid-19, begitu pula dengan masa Haji, ia tetaplah datang.

Sebagaimana para jamaah Haji yang mampu berangkat karena seizin Allah, demikianlah kita ini generasi pilihan yang diizinkan oleh kuasaNya untuk mengalami apa yang orang Jawa sebut sebagai pagebluk? Kuncinya, mendapati diri dalam pandemi Covid-19, sebagaimana pula para peziarah Haji, merupakan sebuah panggilan. Untuk itu menerimanya dengan kepatuhan adalah pilihan yang tepat.

Baca juga: Idul Adha Menggugah Jiwa Kasih Sayang dan Pengorbanan

Beberapa dari kita mungkin menyangsikan kesamaan antara pandemi dengan ziarah-haji. Faktanya, orang yang berhaji adalah mereka yang telah bersiap -jauh- sebelumnya, sedangkan Covid-19 merupakan musibah, ia datang tiba-tiba, tanpa pernah bertanya apakah kita siap menerimanya. Begitu pula, perjalanan haji cukup dilalui dalam waktu satu bulan, sedangkan kapan pandemi ini akan berakhir, kita mungkin baru saja memulainya, dan tanpa pernah tau kapan ia berakhir.

Namun, bila kita perhatikan dengan baik maka proses di mana kita mengalaminya, Covid-19 tak lain adalah proses membuka diri, mematuhi dalam “Labbaik-Allahumma-Labbaik” kami menerima panggilanmu untuk berziarah dalam masa pandemi ini.

Isolasi diri merupakan fase ber-ihram, di mana rumah adalah miqat kitaIa adalah liminal period menurut Victor Turner (1969), antropolog pengkaji ziarah. Dalam ihram dan miqat kita diajak untuk menanggalkan ke-aku-an kita, suku, status sosial, ras, kelompok dan afiliasi. Tidak lagi berguna status sosial dan jabatan, kepemilikan, warna kulit dan rasmu, karena di hadapan virus Corona siapapun berada dalam derajat yang sama: bila tidak mematuhi protokol kesehatan Covid-19, maka kamu akan celaka.

Di sini faktor psikologis amat berpengaruh. Demikianlah isolasi diri. Pertanyaan seperti, “kalau kita berdiam di rumah, mau makan apa?” selalu menghantui. Namun, sebagaimana ber-ihram adalah sebuah pelepasan atas kelekatan kita pada dunia, isolasi diri menjadi fase membebaskan diri pada keterpenjaran dari pekerjaan, pada kantor, bos, deadline pekerjaan, target pendapatan, dan sebagainya.

Isolasi diri, sebagaimana untaian kalimah talbiyah adalah sebuah pembebasan diri atas kelekatan terhadap keduaniawian, ia juga adalah medium bertafakur, berwukuf, memuja berpasrah pada Zat yang paling dekat, meninggalkan segala aktifitas untuk mefokuskan dirinya pada Allah swt. Demikian pula dari masa isolasi diri, keluarga adalah tumpuan utama. Ia adalah permata yang selama ini terabaikan, karena kita terlalu masyuk dengan dunia luar.

Bila bagi peziarah haji rangkaian ibadah dilalui melalui ketidakmudahan, inilah jihad tertinggi ziarah Haji. Demikian pula keterasingan kita karena virus Covid-19 merupakan titik pijak untuk beradaptasi, memulai kebiasaan dengan norma yang asing, aneh, bahkan tidak pernah kita lakukan sebelumnya. Maka, sebagaimana pula haji, membiasakan diri dalam kondisi norma baru adalah sebuah jihad.

Haji dan Pandemi: Ruang Kontestasi 

Mereka yang menolak pandemi virus corona sebagai sebuah perziarahan akan mengatakan bahwa dalam isolasi kita tetap harus melaksanakan kerja harian, rutinitas, dan target. Bahkan justru menjadi stressor utama. Sekali lagi, sebagai sebuah ziarah, pagebluk ini justru mempertanyakan apa arti dari semua target, apa makna keuntungan, bertumpuknya uang, keberlimpahan, semua itu demi apa?

Covid 19 telah mebuktikan justru alam yang tenang, udara yang jernih, jalanan lengang adalah alam yang benar-benar kita butuhkan. Bercengkerama dengan anak dan pasangan, kepedulian terhadap sesama, bahkan hanya dengan memastikan bahwa tetangga kita sudah makan pagi, kesemua itu adalah nikmat yang lebih dari cukup, bukan? Dari gegap gempita dunia, yang kita butuhkan justru kesederhanaan. Di situlah covid mengajarkan akan makna hidup, sebagaimana jumrah mengajak kita untuk menghilangkan ego dan kemaksiatan yang disimbolkan oleh sosok bernama setan.

Sebagaimana haji yang nyatanya tidak bisa dihindarkan dari kepentingan politik dan uang; covid-19 merupakan ruang kontestasi. Adalah tidak bijak bila kita menutup mata adanya ragam kepentingan yang ingin menunggangi kondisi pandemi ini.

Mulai dari teori konspirasi, hegemoni negara besar dalam produksi vaksin, hingga kepentingan ekonomi global yang ingin segera terselamatkan. Seperti pula disebut oleh Robert Bianchi (2004) sang peneliti Haji, pandemi bukanlah fenomena yang anti-struktur.

Kini, kita juga menadapati adanya pertaruangan antar kelas, yakni antara mereka yang percaya teori konspirasi dan mereka yang berpegang pada sains. Gap antara mereka yang menggunakan doa-doa sebagai tameng atas pandemi, dan kelompok lain yang yakin covid akan rampung dengan protokol kesehatan. Ragam kepentingan datang, ragam pembacaan atas covid bermunculan, di situlah perang merebut hegemoni terjadi.

Pandemi adalah Ziarah Sehari-Hari

Di masa normal baru yang juga menjadi ruang kontestasi wacana, ada kebingungan yang terjadi pada publik. Masyarakat menjadi semacam gagap atas apa yang sebenarnya sedang dihadapi, apakah pandemi ini nyata, atau ia seperti setan yang tidak pernah terlihat tetapi menghantui?

Ketika kita tidak bisa lagi mengenali makna liminal, di sinilah multiplisitas makna pandemik terjadi. Sebagaimana masyarakat muslim mungkin terbiasa melihat Ka’bah melalui TV, internet, bahkan sajadah alas untuk salat, pandemi Covid-19 telah menjadi bagian dari keseharian kita. Kita telah menyatu dengan kondisi ini, sebagaimana Ka’bah adalah keseharian kita tempat bersujud.

Baca juga: Berhaji di Era Digital

Kunci ziarah kini berada pada masing-masing diri sendiri. Mereka yang mampu melihat pengembaraan di masa pandemi sebagai sebuah ziarah akan melahirkan kesadaran diri. Sebagaimana ibadah haji yang juga melibatkan ‘panggilan dan ijin Allah, maka pribadi yang berkesadaran dalam ziarah pandemi selayaknya juga mengikuti dengan kepatuhan karena menginginkan kebaikan, “hajjan-mabruran, wa saýan masykuran, wa dzanban maghfuran”. 

Mabrur dari kata al-birr, berarti ketaatan dan kepasrahan, yang dalam hal ini dimaknai oleh Imam Asy Syuyuthi sebagai keengganan untuk kembali pada perbuatan maksiat. Dalam kemabruran ini ada unsur ridla Allah, artinya bukan hanya ijin dan panggilan Allah, tetapi bagi mereka yang mematuhi segenap aturan serta tidak kembali pada kemaksiatan, maka Allah akan meridlainya menjadi insan “hajjan mabruran”.

Jiwa-jiwa yang mampu mentransformasikan musibah pandemi menjadi sebuah berkah, mengubah bukan hanya gaya hidup, tetapi juga pandangan hidup dari berlebih-lebihan yang lebih dekat pada kemubaziran dan keserakahan menuju kesederhanaan, kebercukupan adalah transformasi kita dari ziarah pandemi Covid-19 ini.

Bila demikian, pertanyaan kapankah pandemi Covid-19 ini berakhir bukan lagi dialamatkan pada pemerintah, WHO, tapi sesungguhnya adalah ungkapan mempertanyakan pada diri sendiri. Kapan kita akan mengakhiri ketidakpedulian dengan aturan protokol, kapan kita memulai hidup sederhana dan tidak kembali lagi pada keserakahan, ketidakpedulian?

Sungguh, pertanyaan kapan pandemi ini berakhir adalah pertnyaaan akankah kita sudah siap bertransformasi menjadi pribadi yang lebih arif melihat kesederhanaan sebagai derajat tertinggi bagi manusia. Wallahu a’lamu bi showab [DK]

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannyadi sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

1
Subkhani K Dewi
Subkhani K Dewi, ibu dari 3F (Fidza, Fiya, Fata) yang sedang menempuh studi S3 di Western Sydney University, Australia. Sehari-hari bekerja di UIN Sunan Kalijaga sambil ''mengasuh'' Jurnal Living Hadis.

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals