Tujuh Falsafah Keislaman KHA Dahlan

"..Pengorbanan itu harus dimulai dari diri sendiri, dengan sedikit bicara, banyak kerja - Sepi ing pamrih rame ing gawe.."3 min


5
37 shares, 5 points

Masyarakat Indonesia mengenal KHA Dahlan sebagai pendiri organisasi kemasyarakatan Islam Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1912. Nama kecilnya Muhammad Darwis. Jejak langkah perjuangannya diangkat di layar lebar dengan judul Sang Pencerah. KHA Dahlan wafat pada 23 Februari 1923.

KHA Dahlan teman seperguruan KH Hasyim Asy’ari di bawah asuhan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi di Mekah.  KH Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi kemasyarakatan Islam Nahdlatul Ulama pada tahun 1923. Sungguhpun tunggal guru, masing-masing mendirikan organisasi dengan karakter sesuai latar belakang historis, sosial, kultural, dan antropologis, serta keagamaannya.

Landasan perjuangan dan etos dakwah KHA Dahlan dapat dipahami dari tujuh falsafah keislamannya sebagai berikut. Pertama, “Manusia hidup di dunia hanya sekali: sesudah mati, akankah mendapat kebahagiaan atau kesengsaraan?” Pandangan KHA Dahlan tersebut menegaskan tentang eksistensi manusia di dunia dan menyiratkan keyakinan kuat akan adanya kehidupan sesudah mati, yakni alam akhirat.

Kehidupan seseorang di akhirat tergantung pada jalan hidup yang ditempuh dan cara hidup yang dijalaninya. Siapa yang sungguh-sungguh menempuh jalan Allah swt yang lurus, niscaya memperoleh kebahagiaan, sedangkan yang menyimpang dari jalan Allah swt akan mendapatkan kesengsaraan. Keyakinan KHA Dahlan tersebut ditopang kearifan ulama, “Semua manusia mati kecuali ulama. Para ulama dalam kebingungan, kecuali yang beramal. Mereka yang beramal pun dalam kekhawatiran, kecuali yang ikhlas.”

KHA Dahlan pun menegaskan, “Lengah, akan sengsara di dunia dan akhirat. Mencari kemuliaan di dunia saja, kalau tidak sungguh-sungguh, tak akan berhasil, apalagi mencari keselamatan dan kemuliaan di akhirat. Bagaimanakah supaya aku selamat dari api neraka? Harus mengerjakan perintah apa; beramal apa; menjauhi dan meninggalkan apa?” Ujung renungan tersebut menjadi pangkal pendirian organisasi Muhammadiyah yang mula-mula bernama “Sopo Tresno.”

Kedua, “Kebanyakan manusia berwatak angkuh dan takabur; mengambil keputusan sendiri-sendiri. Tidak mau bertukar pikiran, memperbincangkan mana yang benar dan mana yang salah. Tiap-tiap golongan agama menganggap dirinya yang akan selamat dan bahagia dan yang lain akan celaka dan sengsara.” “Masing-masing pihak membanggakan apa yang ada pada mereka.” (QS 30:32).

Secara individual banyak orang yang angkuh dan merasa tahu, sehingga cenderung mengambil keputusan sendiri-sendiri, tanpa bertukar pikiran dengan orang lain untuk menimbang mana yang benar dan mana yang salah.

Di sisi lain golongan agama menganggap kelompoknya yang paling benar dan akan bahagian di dunia hingga akhirat, sedangkan golongan lain akan sengsara. Maka, perlu wadah untuk menghimpun individu-individu guna melakukan tukar pikiran dan musyawarah, agar semakin cerdas. Wadah itu diharapkan dapat menjadi percontohan bagi golongan lain dalam berorganisasi dan menghimpun segala potensi.

Ketiga, “Pekerjaan apa pun, kalau dilakukan berulang-ulang, akan menjadi kebiasaan. Kalau tabiat kebiasaan itu sudah menjadi kesenangan, akan sukar diubah. Kebanyakan manusia membela adat kebiasaannya. Bila ada yang mau mengubah, ia sanggup membela dengan mengorbankan jiwa-raga, karena ia beranggapan bahwa itu benar.”

“Manusia, seperti botol, selalu menerima sembarang apa saja yang diisikan. Manusia itu membenci apa yang tidak diketahuinya; manusia musuh kebodohannya. Kenalilah kebenaran itu dengan pengetahuan yang benar, bukan dengan memandang orangnya.”  “Kami mengikuti jalan yang kami peroleh dari leluhur kami.” (QS 31:21); “Orang-orang yang arif dan mendapat bimbingan Allah: mereka mendengarkan perkataan dan mengikuti yang terbaik di antaranya.” (QS 39:18-19).

Keempat, “Manusia harus mencari kebenaran yang sejati. Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran; bersama-sama mempergunakan akal pikiran untuk memahami hakikat dan tujuan hidup, mengevaluasi iktikad, kepercayaan, dan tingkah lakunya.”

Hidup di dunia ibarat musafir atau orang yang menyeberang jalan. Musafir harus yakin bahwa ia berada di jalan yang benar yang akan mengantarkan sampai tujuan dengan selamat dan bahagia. Seseorang yang telah menemukan jalan yang benar tidak sepatutnya berjalan demi keselamatan dirinya sendiri, melainkan mengajak orang-orang lain dengan bijaksana untuk menempuh jalan yang sama. “Apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka mendengar atau mengerti?” (QS 25:44).

Kelima, “Kebiasaan manusia tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar, karena khawatir akan terpisah dari kesenangan dan teman-temannya. Lalu hidup asal hidup. Manusia tidak menuruti kebenaran yang sudah diyakininya, karena takut mendapat kesukaran dan hanyut oleh kebiasaan buruk.”

“Jalan hidupku terang-benderang bagi orang yang mendapat petunjuk, tetapi hawa nafsu merajalela dan membutakan akal dan hati. Agama Islam mula-mula cemerlang, kemudian kelihatan makin suram. Akan tetapi sesungguhnya yang suram manusia, bukan agamanya. Agama adalah kecenderungan ruhani naik menuju kesempurnaan tertinggi nan suci, bersih dari pengaruh kebendaan duniawi.”

Keenam, “Kebanyakan pemimpin belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk menjadikan umat manusia dalam kebenaran. Mereka malahan mempermainkan dan memperalat manusia yang bodoh dan lemah.”

Pemimpin harus bertindak sebagai imam dalam segala aspek kehidupan. Teladan yang terbaik adalah Rasulullah Muhammad saw dan para pengikutnya terdahulu. Pengorbanan itu harus dimulai dari diri sendiri, dengan sedikit bicara, banyak kerja – Sepi ing pamrih rame ing gawe.

Ketujuh, “Belajar ilmu dan belajar amal. Mempelajari pengetahuan atau teori dan mengerjakan atau mempraktikkannya. Semua pelajaran ditempuh sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat. Demikian pula dalam beramal.”

“Mudah-mudahan Allah swt memberi petunjuk kepada kita ke jalan yang benar, sehingga kita memperoleh kebahagiaan yang abadi. Marilah mengadakan perkenalan, silaturahmi, komunikasi, dan pertemuan sesama kita untuk bermusyawarah, mencari, dan meneliti mana yang salah dan mana yang benar.”

Baca tulisan-tulisan Muhammad Chirzin lainnya: Kumpulan Tulisan Prof. Dr. Muhammad Chirzin, M.Ag.


Like it? Share with your friends!

5
37 shares, 5 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
4
Cakep
Kesal Kesal
1
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
5
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
4
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Muhammad Chirzin
Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag. adalah guru besar Tafsir Al-Qur'an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Anggota Tim Revisi Terjemah al-Qur'an (Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur'an) Badan Litbang Kementrian Agama RI.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals