Suatu siang bakda zuhur, seorang ibu, sebut saja Ibu Risti, tiba-tiba merasakan tangan kirinya lemas. Menjelang sore, dia sudah berniat hadir ke pengajian ranting yang dilangsungkan di rumah Bu Lurah. Dia pun berangkat. Lemas di sekujur tangan kirinya disembunyikannya dari publik. Tak ingin ada orang lain yang mengetahuinya. Dia ingat ajaran ibunya, “Tak usahlah kau sampaikan penderitaanmu pada orang lain, agar mereka tidak ikut sedih”.
Tiba-tiba seorang ibu di depan Bu Risti jatuh dari motornya. Bu Risti terhentak, dalam hati menjerit pada Tuhan, “Ya Rabb, betapa aku sedang tidak bisa membantunya. Aku pun tidak ingin orang-orang mengetahui sakitku ini.” Alhamdulillah, kuasa Allah, tiba-tiba ada seorang ibu setengah baya dari arah timur segera datang membantu. Bu Risti bergumam bahagia, “Alhamdulillah.. Terima kasih ya Rabb, telah Engkau tolong ibu itu membangunkan kembali motornya. KuasaMu jua mengirimkan sang penolong untuk itu.”
Pengajian berlangsung hingga bakda ashar. Usai pengajian, Bu Risti segera menjalankan motornya menuju BP PMI. Pelan. Dia hanya bisa menggunakan kekuatan tangan kanannya. Alhamdulillah, kuasa Allah, motor sampai juga di klinik tersebut. Petugas segera memeriksa. Tensi, normal, 100/80. Adapun saat diperiksa dokter, Bu Risti menyampaikan tidak ada keluhan lain, selain lemas. Dokter pun akhirnya merujuknya ke rumah sakit terdekat, dengan diagnosisnya Radiculopathy. Selama menunggu rumah sakit buka, dokter memberinya obat radang dan nyeri.
Masih dengan motornya, Bu Risti melajukan motornya menuju rumah. Tentu dengan susah payah dia lakukan itu. Hatinya pun getir mengingat kata “rujuk ke rumah sakit”. Kalau ingin sembuh sih ya periksa, tapi entah mengapa hati jadi gundah gulana. Bu Risti hanya memiliki doa dan keyakinan, maka dia pun berdoa, memohon kepada Allah agar motornya bisa sampai rumah. Alhamdulillah sampai juga di rumah. Saat harus menaikkan motor ke ruang garasi, lagi-lagi hal yang susah dilakukan dengan hanya satu tangan kanan saja. Syukur alhamdulillah saat itu semua berhasil dia lakukan.
Untuk ganti baju, susah. Untuk wudlu, susah. Untuk shalat pun, susah. Bu Risti butuh melakukannya dengan sepenuh perjuangan. Ini baru kejadian pada satu tangannya, tangan kiri. Dia membayangkan betapa anak-anak yang mengalami cacat sejak bayi hingga akhir usianya. Karena itu, meski harus berjuang melawan kesulitan dan rasa sakit, Bu Risti tetap berusaha mengedepankan rasa syukurnya pada Sang Pemilik Hidup. Usai minum obat malam itu, Bu Risti mencoba browshing apa itu Radiculopathy.
Radiculopathy servikal terkadang disebut saraf terjepit atau mengalami iritasi di leher yang menyebabkan nyeri, mati rasa, atau lemas yang menyebar ke dada atau lengan. Gejala-gejalanya berupa nyeri dan kesemutan di leher atau lengan. Untuk perawatannya, kondisi ini biasanya akan sembuh tanpa pengobatan. Jika tidak sembuh dengan sendirinya, kerah pembatas gerak, terapi fisik, pengobatan atau bedah dapat membantu.
Setelah membaca informasi seputar Radiculopathy, segera Bu Risti istirahat. Diletakkannya handphone yang biasanya dia pegang hingga larut malam. Maklumlah, tugas-tugas kerja harus segera dia selesaikan dan itu butuh handphone. “Ah, pegang handphone pun harus bijak,” gumam Bu Risti.
Sambil merebahkan badan dan menunggu matanya terpejam, Bu Risti merenungkan makna kejadian ini. Dia belajar bahwa: (1) sakit itu terkait dengan budaya masyarakat. Bu Risti tidak mau mengatakan hal sebenarnya saat itu karena budaya yang diterima mengajarkannya begitu. (2) Fungsi gerak tubuh manusia adalah salah satu tanda kekuasaan Allah. Bu Risti belajar bahwa penting bagi manusia untuk mempelajari kehendak Allah atas dirinya. Mensyukuri nikmat sehat adalah hal luar biasa yang harus dilakukan setiap manusia. Ikhlas menerima sakit dan mengupayakan sehat kembali, juga penting dilakukan.
Kedua hal di atas, memungkinkan kita mengkajinya lebih dalam. Budaya Indonesia memiliki keragaman yang beraneka warna. Bagaimana tiap budaya mewariskan nilai-nilainya melalui pendidikan? Adapun tentang fungsi gerak tubuh manusia, setiap kita sudah sering mendengar kata “olahraga” dan “senam”. Pemerintah sudah mensosialisasikan pentingnya olahraga.
Di tingkat kampung pun, tiap ahad sore ibu-ibu menyelenggarakan senam bersama. Fikiran Bu Risti terus mengembara. Menurutnya, dari sakitnya ini, dia belajar bahwa olahraga itu seharusnya ditegakkan dalam kehidupan pribadi setiap orang. Olahraga tidak perlu menunggu seminggu sekali, menunggu ada temannya, menunggu pakaian senam. Bukan.
Saat sakit, orang seringkali merasa berputus asa dan hilang harapan. Putus asa, seakan dunia telah berakhir sampai di sini. Hilang harapan, seakan tiada lagi yang dapat dilakukannya. Ini sudah digambarkan dalam QS Fushshilat: 49 “Tidak jemu manusia selalu memohon kebaikan, namun bila ditimpa musibah, dia berputus asa dan hilang harapan.” Dari ayat ini kita mengetahui bahwa penting bagi tenaga kesehatan dan keluarga pasien untuk menghilangkan rasa putus asa dan membangkitkan kembali harapannya.
Bu Risti belajar memahami bahwa shalat, doa dan dzikir sangat diperlukan bagi orang sakit. Menurut Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater, karena shalat, doa dan dzikir mengandung unsur religi yang dapat membangkitkan harapan (hope), percaya diri (self convidence) dan keimanan (faith) yang bertambah pada diri orang yang sedang sakit; yang pada gilirannya system kekebalan tubuh (immunity) meningkat, sehingga mempercepat proses penyembuhan. Mengapa?
Baca juga: Doa yang Didengar Allah
Karena dokter dengan terapi mediknya hanyalah mengobati pasien, sedangkan yang menyembuhkan sesungguhnya Allah SWT. Tiga firman Allah menjelaskannya. “Dan bila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan” (QS. Asy-Syu’ara: 80). “Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa, apabila berdoa kepadaKu” (QS. Al-Baqarah: 186). “Al-Qur’an ituadalah petunjuk dan penawar (penyembuh) bagi orang-orang yang beriman” (QS. Fushshilat: 44).
Apakah dengan demikian kesembuhan itu cukup dengan berdoa? Tentu bukan begitu maknanya. Doa dan ikhtiar itu mustilah seiring sejalan. Menurut WHO (1984), APA (1992), WPA (1994), definisi sehat meliputi biologic (fisik), psikologik, social dan spiritual (BPSS). Penelitian di bidang itu dilakukan oleh Synderman (1996) menghasilkan kesimpulan yang menyatakan “Terapi medik saja tanpa disertai doa dan dzikir tidak lengkap; sebaliknya doa dan dzikir saja tanpa disertai terapi medik tidak efektif.”
“Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat itu tepat mengenai sasarannya, maka dengan izin Allah penyakit itu sembuh.” (HR Muslim dan Ahmad).
“Berobatlah kalian, maka sesungguhnya Allah swt tidak mendatangkan penyakit kecuali mendatangkan juga obatnya, kecuali penyakit tua.” (HR. At-Tirmidzi).
Artikel terkait: Menebar Doa Menuai Bahagia
One Comment