Mufassir adalah orang yang menerangkan makna atau maksud dari ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an. Tentu mereka yang menerangkan makna ayat-ayat Al-Qur’an tersebut adalah mereka yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas.
Buya Hamka adalah salah satu orang yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Tak ada yang menyangsikan bahwa Buya Hamka adalah seorang mufassir. Bagaimana hendak menyangsikannya, sementara Tafsir Al-Azhar yang fenomenal itu sangat membumi di nusantara hingga sekarang ini?
Al-Qur’an bagaikan teman karib bagi Buya Hamka, sehingga dalam kesehariannya tidak pernah lepas dari Al-Qur’an. Menurut kesaksian putranya (Irfan Hamka), interaksi Buya Hamka dengan Al-Qur’an tidak kurang dari lima jam setiap harinya.
Hal itu menunjukkan bahwa Buya Hamka begitu dekat dengan Al-Qur’an. Hasil dari kedekatannya dengan Al-Qur’an itulah yang nantinya melahirkan salah satu karyanya yang monumental, yaitu Tafsir Al-Azhar.
Tafsir Al-Azhar merupakan tafsir Al-Qur’an lengkap 30 juz yang ditulis oleh Buya Hamka, yang terbitnya pertama kali pada tahun 1966. Dengan demikian, sejak dari tahun pertamanya terbit hingga sekarang (2019), usia Tafsir Al-Azhar sudah mencapai 53 tahun.
Oleh karena keakrabannya dengan Al-Qur’an itulah yang membuat penulis tertarik untuk melihat pandangan Buya Hamka terhadap Al-Qur’an itu sendiri.
Al-Qur’an secara bahasa adalah mashdar dari qara’a-yaqra’u-qira’atan-qur’anan yang berarti bacaan (QS. 75: 17-18). Atau dalam pengertian isim maf’ul dapat diartikan sesuatu yang dibaca.
Sedangkan secara istilah, Al-Qur’an adalah wahyu-wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dengan perantara malaikat Jibril untuk disampaikan kepada manusia. Atau dapat juga diartikan dengan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang dibaca dengan mutawatir dan beribadah dengan membacanya (Yunahar Ilyas, 2014: 16).
Dalam permulaan tafsirnya, Buya Hamka menuturukan bahwa Al-Qur’an itu -baik dari sisi bahasa ataupun istilah- keduanya sama-sama merujuk kepada satu makna, yaitu Al-Qur’an memang dibaca. Bahkan Buya Hamka menegaskan bahwa kekuatan dan keistimewaan Al-Qur’an terjadi pada pembacaannya (Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz I, Hlm. 9).
Oleh sebab itu, Al-Qur’an itu mesti dipelihara otentisitas bacaannya dengan mempelajari ilmu tajwid. Selain itu, penting juga memperhatikan dan mempelajari berbagai macam qira’at Al-Qur’an dalam rangka memelihara kitab suci Al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan.
Dalam ruang lingkup Ulumul Qur’an, ada pembahasan tentang makkiyah dan madaniyah. Berdasarkan tempat turunnya, makkiyah adalah surat-surat ataupun ayat-ayat yang diturunkan di Makkah. Sedangkan madaniyah adalah surat-surat ataupun ayat-ayat yang diturunkan di Madinah.
Buya Hamka menerangkan bahwa ada perbedaan isi dari surat-surat ataupun ayat-ayat yang turun di Makkah dan Madinah. Surat-surat ataupun ayat-ayat yang turun di Makkah adalah khusus untuk menetapkan dan meneguhkan akidah Islam yang pokok yaitu Tauhid, menentang penyembahan berhala, dan meyerukan manusia agar memerdekakan akal dan jiwa dari perbudakan adat, tradisi, serta taqlid.
Sedangkan surat-surat ataupun ayat-ayat yang turun di Madinah adalah penetapan hukum-hukum fikih, undang-undang mengenai peperangan, dan aturan-aturan hidup bermasyarakat dan bernegara.
Buya Hamka juga menuturkan bahwa atas dasar itulah dapat dipahami bahwa Al-Qur’an itu -baik saat turun di Makkah ataupun Madinah- tidak diturunkan sekaligus melainkan secara bertahap. Inilah kemudian yang dipersoalkan oleh kaum musyrikin sebagaimana digambarkan Al-Qur’an:
“Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’ Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqan/ 25: 32)
Pada ayat di atas terdapat dua hikmah. Pertama, untuk memantapkan setiap persoalan itu di hati Nabi. Kedua, agar ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat dibaca dengan sebenar-benar bacaan.
Oleh sebab itu, turunnya Al-Qur’an secara bertahap dapat dirasakan dan diresapi oleh Nabi. Hal demikian dirasakan pula oleh para sahabat, yang setiap turun ayat dibacakan dengan seksama oleh Nabi kepada mereka. Kemudian mereka terima, mereka hafalkan, dan mereka baca (Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz I, Hlm. 11).
Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia. Menunjukkan manusia kepada jalan yang lurus dan menggembirakan mereka yang beriman dan beramal saleh, bahwa bagi mereka adalah pahala yang besar (QS: 17: 9).
Oleh sebab itu, membaca merupakan jalan awal untuk memperoleh petunjuk Al-Qur’an tersebut. Dengan membaca manusia dapat memahami maksud ayat-ayat Al-Qur’an untuk kemudian diamalkan dalam kehidupannya sehari-hari. Tanpa melalui tahap pembacaan tersebut, mustahil manusia dapat memperoleh energi Al-Qur’an.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari ‘Alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq/ 96: 1-5)
“Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (QS. Shad/ 38: 29).
Rasulullah SAW juga menyampaikan bahwa dengan membaca setiap huruf dari Al-Qur’an akan memperoleh kebaikan demi kebaikan bagi pembacanya.
“Barang siapa membaca satu huruf dari Kitabullah, baginya satu kebaikan. Satu kebaikan akan dilipatgandakan sepuluh. Aku tidak mengatakan ‘alif lam mim’ itu satu huruf, akan tetapi ‘alif’ satu huruf, ‘lam’ satu huruf, dan ‘mim’ satu huruf.” (HR. Tirmidzi)
Keistimewaan lain yang diperoleh dari membaca Al-Qur’an, Allah SWT menuturkan:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur’an), dan melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi, agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir/ 35: 29-30)
Pada hari kiamat Al-Qur’an akan datang kepada orang-orang yang selalu membacanya untuk memberikan syafa’at kepada mereka. Sebagaimana Rasulullah SAW menuturkan:
“Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya.” (HR. Muslim)
Sebagai akhir tulisan ini, penulis kutip pernyataan Buya Hamka yang tertuang dalam Tafsir Al-Azhar:
“Maka oleh sebab Al-Qur’an adalah bacaan, seyogianyalah bagi orang yang beragama Islam memfasihkan bacaannya, dan mendidik lidah anak-anaknya, menyerahkan anak-anak kepada guru-guru yang fasih membacanya, sebab Al-Qur’an untuk dibaca dan diamalkan. Sebab Al-Qur’an itulah yang telah membentuk kebudayaan dan pedoman hidup penganut Islam, yang ditegakkan di atas budi, memperhalus perasaan, memperkaya ingatan, dan melemah-lembutkan ucapan lidah” (Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz I, Hlm. 14).
0 Comments