Islam, Politik dan Islam Politik

"..Ketika masyarakat Muslim awal diatur berdasarkan fikih, khalifah dan ulama bukanlah para pemimpin politik.."3 min


4

Islam muncul pada awal abad ketujuh di Mekah, di dalam komunitas masyarakat perdagangan. Nabi Muhammad Saw, salah seorang saudagar yang sejak muda telah melakukan perjalanan yang begitu panjang dan luas di wilayah tersebut, tiba pada kesimpulan bahwa jika suku-suku yang tinggal di kota ingin mencapai kekuasaan politik dan ekonomi yang lebih besar, maka  merekaharus bersatu di bawah sebuah bendera yang sama. Sebagaimana dicatat Tariq Ali:

‘Motivasi spiritual Muhammad sebagian dipicu oleh hasrat sosio-ekonomi, oleh keinginan untuk memperkuat kedudukan komersial bangsa Arab dan kebutuhan untuk menanamkan serangkaian aturan bersama. Visinya meliputi sebuah konfederasi suku yang dipersatukan oleh tujuan umum dan kesetiaan pada satu iman tunggal… Islam menjadi pengikat yang dipakai Muhammad untuk menyatukan suku-suku Arab, yang sejak semula menganggap perdagangan sebagai satu-satunya pekerjaan yang mulia.’

Islam yang dibayangkan Muhammad adalah ajaran yang mengombinasikan spiritualitas dengan politik, ekonomi, dan adat istiadat sosial. Ia sendiri memainkan peran baik sebagai pemimpin politik dan  sosok yang religius, kekuasaannya dalam dua hal tersebut tak terbantahkan. Namun, tidak demikian yang terjadi dengan para penggantinya.

Tak lama setelah kematiannya, ada banyak konflik tentang siapa yang akan menjadi pengganti sementara (khalifah). Khalifah keempat, Ali ibn Abi Talib, dibunuh oleh Abd-al-Rahman ibn Muljam, seorang pengikut sekte Khawarij.  Pengikut Mu’awiyah (pendiri dinasti Umayyah) dikenal sebagai Sunni, sementara pengikut Ali dikenal sebagai Syiah. Pendeknya, perjuangan atas kekuasaan politik mengarah pada perpecahan atau pembagian religius pertama antara Syiah dan Sunni.

Dalam satu abad setelah meninggalnya Muhammad, tentara Muslim terus bergerak mengalahkan kekaisaran negara tetangga dan membangun sebuah kekaisaran yang sangat kuat. Dalam konteks inilah, pemisahan de facto antara kekuasaan politik dan religius mulai mengambil bentuknya. Saat para keturunan nabi atau khalifah memegang jabatan religius, monarki atau kesultanan memegang kekuasaan politik.

Kita menggunakan istilah de facto, karena tidak ada pemisahan secara legal atau formal antara agama dengan politik, melainkan pemisahan atas bidang kegiatan dan kekuasaan; dengan bidang keagamaan berada di bawah politik. Sebagai contoh, khalifah Abbasiyah, pemimpin agama dari salah satu kekaisaran Muslim awal, pada kenyataannya adalah semata-mata figur belaka, yang tidak sanggup menjalankan kekuasaan apapun sebagaimana pengertian kekuasaan itu sendiri. Adalah pemimpin pasukan Turki yang memegang kekuasaan politik dari abad ke 9 hingga 13. Para ulama membenarkan praktik ini dengan melimpahkan legitimasi pada khalifah, dan untuk mengesahkan kekuasaan mereka sendiri.

Muhammad Ayub melacak kesinambungan praktik ini selama berabad-abad dan mencatat, ‘pembedaan antara hal-hal temporal dan religius dan keunggulan de facto kekuasaan temporal di atas lembaga agama berlanjut terus hingga ke masa-masa pemerintahan tiga dinasti besar Sunni-Umayyah, Abbasiyah, dan Ottoman (Turki).’

Kekaisaran Muslim pertama, yang membawa bersama sejumlah besar orang-orang dari berbagai wilayah, dihadapkan pada kebutuhan baru tentang bagaimana mengelola kepelbagaian itu. Dari sini dikembangkanlah serangkaian aturan hukum yang dapat diterapkan secara seragam untuk seluruh umat Islam. Kebutuhan untuk sebuah sistem organisasi adalah dorongan di belakang perkembangan fikih – peraturan-peraturan yang dijadikan sebuah hukum baku.

Para ulama, kelas yang terdiri atas akademisi religius, kemudian ditugaskan untuk memformulasikan fikih. Bermacam-macam sistem fikih yang muncul dari usaha ini, mencoba mendeskripsikan seluruh tindakan manusia dan kegiatannya, lalu menggolongkannya ke dalam label terlarang, tak disukai, direkomendasikan, dan lain sebagainya. Aturan-aturan ini meliputi hampir semua sisi kehidupan, mulai dari aturan yang mengatur aktivitas perdagangan dan kriminal hingga aturan tentang pernikahan, perceraian, kepemilikan, kesehatan, dan berbagai aspek hubungan interpersonal.

Ketika masyarakat Muslim awal diatur berdasarkan fikih, khalifah dan ulama bukanlah para pemimpin politik. Sebagaimana yang telah dinyatakan di atas, ulama memainkan peran sekunder dan lebih rendah dalam hubungannya dengan kepemimpinan politik. Risalah-risalah Islam yang muncul pada masa ini dan periode sesudahnya, punya kesepakatan yang menentukan tentang bagaimana pemimpin yang baik, atau seperti apa pemerintah yang baik, dan kesepakatan ini dipenuhi banyak saran dan nasehat untuk para pemimpin. Namun, mereka tidak menuntut posisi politik untuk peran keagamaannya itu.

Sementara mereka bersiteguh pada aturan dalam masyarakat sesuai dengan yang termaktub dalam hukum Shariah, mereka juga menganggap diri mereka sebagai penyensor dari pemimpin buruk, tapi tidak sebagai pemimpin itu sendiri. Kembali mengutip Ayub, ‘terdapat konsensus bahwa sejauh seorang pemimpin dapat membela wilayah Islam (dar al-Islam) dan tidak mencegah kaum Muslim mempraktikkan ajaran agamanya, maka pemberontakan adalah sesuatu yang dilarang, karena fitnah (anarki) lebih buruk dari tirani atau kesewenang-wenangan.

Sebagai konsekuensinya, terjadi pembagian kerja antara ‘mereka yang menulis’ dan ‘mereka yang menghunus pedang.’ Kelas pertama, termasuk diantaranya ulama dan birokrat yang bekerja di bawah kepemimpinan politik penguasa, ditugasi menunaikan fungsi-fungsi administrasi dan kebijakan. Sementara kelas yang kedua membela dan memperluas kerajaan dan memegang kekuasaan politik. Dengan demikian, jika nabi Muhammad adalah pemimpin politik maupun agama sekaligus, kebutuhan kerajaan ini memerlukan pemisahan secara de facto.

Ketika hal ini menjadi realitas hubungan antara agama dan politik, para teolog terkemuka dengan caranya sendiri mencoba membalikkan realitas keterpisahan hubungan antara agama dan politik tersebut. Tujuannya tidak lain untuk mulai membenarkan kredibilitas mereka. Mereka melakukannya secara konsisten sepanjang sejarah, sehingga tercipta kesan bahwa hubungan agama dan politik terjalin sangat erat dari apa yang sebetulnya terjadi. Meski demikian, terdapat contoh-contoh dari para teolog berpikiran praktis seperti Al Ghazali di abad ke-11 dan ke-12, yang secara terbuka mengimbau pembagian kerja antara khalifah dengan sultan.

Karena itulah, berlawanan dengan klaim Lewis tentang kemelekatan agama dan politik dalam Islam, Ayub menunjukkan bahwa ‘perlintasan sejarah hubungan agama-negara dalam Islam… tak banyak berbeda dengan Kekristenan di Barat.’ Apa yang berbeda adalah tidak adanya benturan antara negara dan lembaga agama seperti yang terjadi pada Kekristenan. Meski demikian,  sekularisme modern mampu berdiri di mayoritas masyarakat Muslim.

Ini juga adalah akibat dari beberapa faktor; seperti kolonialisme dan kapitalisme yang menyebabkan terjadinya reformasi sekuler dan modernisasi dari atas. Begitu pula dengan perjuangan pembebasan nasional dari bawah yang dipimpin oleh kekuatan nasionalis sekuler. Hal-hal ini, juga faktor lainnya, sangat berperan dalam mengarahkan transisi ke sekularisasi di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.


Like it? Share with your friends!

4
Rizal Mubit

Rizal Mubit, S.HI., M.Ag. adalah Peneliti Farabi Institute dan dosen di Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik. Ia telah menulis sejumlah buku bertema keislaman.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals