Pada abad XX terjadi peristiwa yang menarik perhatian dunai di Afrika Selatan. Politik apartheid yang mulai benar-benar muncul pada awal abad XX memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat kulit gelap Afrika Selatan. Apartheid muncul disebabkan oleh kelompok orang Eropa yang menguasai pemerintahan Afrika Selatan membentuk struktur politik baru yang sangat bias pada warna kulit/ras.
Hal menarik yang membedakan pendiskriminasian yang terjadi di Afrika Selatan dan wilayah lain adalah adanya Undang-Undang yang disahkan mengenai hak-hak terbatas orang kulit berwarna dan gelap. Undang-Undang ini sangat jelas bagaimana mereka mengatur hak-hak terbatas yang diperoleh warga kulit gelap. Misalnya, Undang-Undang larangan perkawinan silang warna/campuran yang disahkan tahun 1949 yang dimaksudkan untuk menjaga “kemurnian” garis keturunan warga kulit putih.
Tentu kebijakan ini menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai kalangan terutama warga berkulit gelap. Menanggapi hal ini, banyak bermunculan gerakan menentang apartheid. Muncul Kongres Nasional Afrika (ANC), Kongres Pan Afrika (PAC), Muslim Youth Movement (MYM), Muslim Student Association (MSA), Call of Islam, bahkan PBB juga ikut menyuarakan penolakannya pada sistem apartheid ini.
Dukungan terhadap gerakan anti-arpatheid semakin meluas setelah adanya pembantaian terhadap demonstran di Sharpeville, dekat Johannesburg. Perjuangan mereka akhirnya membuahkan hasil yang nyata. Diangkatnya Nelson Mandela (aktivis anti-apartheid) sebagai presiden Afrika Selatan pada tahun 1994 menjadi titik balik terhapusnya politik apartheid di Afrika Selatan.
Penghapusan apartheid tidak hanya dilakukan oleh kalangan politikus. Para cendekiawan Afrika Selatan juga ikut andil dalam mendukung anti-apartheid. Salah satu dari mereka adalah Farid Esack (lahir 1956), seorang cendekiawan Muslim yang aktif dalam membangun keadilan dalam bermasyarakat. Ia banyak menulis buku-buku tentang perjuangan, al-Qur`an, dan Islam.
Di dalam salah satu bukunya yang berjudul Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford, 1997), Esack mencoba merefleksikan ayat-ayat al-Qur`an sebagai dasar perjuangan keadilan dan anti diskriminasi terhadap kaum tertindas. Esack mencari pesan-pesan keadilan dalam al-Qur`an dengan mengkritik penafsiran tradisional yang melegitimasikan ketidakadilan dan intolernsi beragama.
Untuk menjadikan al-Qur`an sebagai dasar perjuangan keadilan Esack membacanya dengan hermeutika pembebasan yang pada akhirnya melahirkan “teologi pembebasan”. Dalam hermeneutiknya, ia menjelaskan bahwa kunci penting bagi penafsir untk menemukan makna kebebasan dalam al-Qur`an adalah takwa dan tauhid.
Dengan dua kunci pokok tersebut seseorang dituntut untuk tidak menggunakan al-Qur`an secara semena-mena, namun juga tidak terkunci pada pemahaman tradisional yang telah dipegang teguh tapi tidak memberikan dampak apapun pada kehidupan. Al-Qur`an juga harus dipahami dari berbagai perspektif sebagai satu jalinan. Jika al-Qur`an hanya dipandang dalam satu perspektif saja, politik misalnya, akan menjadi alat pendukung satu pandangan tanpa memperhatikan etos dasarnya.
Dua kunci selanjutnya adalah manusia (al-nas) dan kaum tertindas (mustadh’afun fi al-ardh). Manusia sebagai subjek yang menafsirkan al-Qur`an harus dapat memposisikan al-Qur`an dalam mendukung kepentingan seluruh rakyat mayoritas (keadilan), bukan minoritas (apartheid). Penafsir juga dituntut untuk merasakan perjuangan kaum tertindas dengan berada di tengah-tengah mereka, dan akan lebi baik jika ikut dalam perjuangannya. Dengan posisi ini, penafsir akan dapat menafsirkan al-Qur`an dilandaskan pada sejarah dan perjuangan kaum tertindas serta memberikan perspektif tentang kelebihan kaum tertindas dalam pandangan ilahi dan kenabian dibandingkan kaum lain.
Dua kunci terakhir adalah adil (‘adl dan qisth) dan perjuangan (jihad). Keadilan digunakan sebagai alat ideologis dalam menentang penindasan dan ketidakadilan dalam segala bentuknya. Menjadikan keadilan sebagai dasar penentangan harus dibarengi dengan komitmen teologis dan ideologis serta nilai-nilai keadilan. Keadilan ini tidak hanya dipahami secara teori, tapi juka harus dipraktikkan dalam bentuk perjuangan (jihad).
Jihad ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti demo, konferensi, boikot, dan sebagainya, tidak melulu hanya mengangkat senjata. Namun perlu diingat tujuan jihad adalah untuk menumpas penindasan dan ketidakadilan, bukan untuk mengganti sistem ketidakadilan dengan sistem ketidakadilan yang lain atau mengganti kelompok dominan dengan kelompok dominan lain. Jika demikian maka perjuangan menumpas ketidakadilan tidak akan ada habisnya dan akan berlangsung tanpa akhir.
Dengan hermeneutika pembebasan, Esack ingin menjadikan al-Qur`an sebagai dasar dalam gerakan penentangan terhadap penindasan dan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok tertindas. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kelompok teologi tradisionalis yang berjuang dalam mempertahankan keimanan dengan mereduksi Islam menjadi ritual-ritual formal, mengabaikan nilai spiritual. Berbeda juga dengan teologi modern yang menempatkan diri dan ditujukan pada sekularitas wilayah istimewa, teologi pembebasan terletak dan tertuju pada dunia marginal.
Esack juga mengingatkan bahwa kebenaran dalam tafsir tak pernah mutlak. Sementara hermeneutika seseorang terus bergerak, Ia didorong ke arah kebenaran yang autentik dan terus meningkat, kemudian mengarah pada praksis yang lebih besar. Al-Qur`an tidak akan mengungkapkan makna final, makna mutlak, namun akan terus mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang bermacam-macam meskipun hanya dalam satu ayat.
Farid Esack mengajarkan kepada kita bahwa al-Qur`an bisa dijadikan dasar dalam memperjuangkan hak-hak yang hilang dalam diri manusia. Al-Qur`an tidak melulu dipandang sebagai kitab suci yang transenden, hanya dibaca dalam keseharian atau dalam ibadah-ibadah formal. Sebagai kitab petunjuk mestinya al-Qur`an dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan.
Seperti yang telah disebutkan tadi, tidak ada penafsiran yang benar-benar mutlak kebenarannya. Makna al-Qur`an akan terus ditemukan dan berkembang sepanjang masa. Al-Qur`an dapat ditafsirkan berdasarkan kondisi penafsir, baik itu di sekitar penafsir maupun di dalam diri penafsir sendiri. karena itulah al-Qur`an itu satu namun tafsirnya beragam.
0 Comments