Hingga detik ini, kita tentu merasakan zaman yang kian berkembang dan selalu menawarkan tantangan modernitas yang begitu kompleks. Begitupun buah hasil dari modernitas seperti perkembangan sains dan teknologi seakan tak pernah ada habisnya menghiasi kehidupan kita saat ini.
Bagi sebagian orang, modernitas ini dinilai sebagai suatu hal positif yang banyak membantu kehidupannya. Namun, bagi sebagian yang lain justru modernitas dianggap sebagai momok yang begitu menyeramkan.
Bagaimana tidak, sebagai sesuatu yang baru dan asing, modernitas tentu akan menjadi polemik bagi sebagian orang, sehingga tidak bisa diterima begitu saja. Apalagi jika modernitas tersebut diperkenalkan dengan cara yang tidak tepat.
Bagi yang pernah menonton film “Tai Chi Zero” dan “Tai Chi Hero”, mungkin bisa menjadikan film tersebut sebagai ilustrasi terkait tantangan modernitas ini. Dalam film ini diperlihatkan perbenturan yang sangat hebat antara tradisi dan modernitas.
Tradisi digambarkan dengan Kungfu, sedangkan modernitas digambarkan dengan alat-alat teknologi yang canggih, seperti persenjataan dan transportasi kereta api.
Singkatnya, minimal ada tiga bentuk sikap yang diperlihatkan film ini dalam memandang tradisi dan modernitas. Pertama, mereka yang menolak adanya modernitas dan tetap mempertahankan tradisi. Kelompok ini diwakili oleh para tetua desa Chen yang bersikukuh menggenggam tradisi Kungfu leluhur mereka.
Kedua, mereka yang menerima modernitas dan meninggalkan tradisi. Kelompok ini diwakili oleh Kakak Pertama yang tidak menyukai Kungfu dan lebih memilih mempelajari teknologi mesin, begitu juga Fang Zi Jing yang merupakan lulusan Barat dan tentu saja banyak mempelajari teknologi Barat.
Mereka berdualah yang membawa alat-alat teknologi modern ke desa Chen, bahkan Fang Zi Jing berusaha menghancurkan desa itu dengan teknologi senjata yang begitu canggih seperti mesin penembak dan boomerang.
Dan Ketiga, mereka yang tidak menolak modernitas dan tetap mempertahankan tradisi. Kelompok ini diwakili oleh Guru Besar Chen. Ini terbukti ketika ia memberikan intruksi kepada Yang Lu Chan untuk menghancurkan Troy atau mesin penembak yang dibawa Fang Zi Jing.
Guru Besar Chen terlihat paham dan mengerti betul tentang mesin tersebut. Bahkan, di akhir cerita ia mengakui kehebatan Kakak Pertama yang berhasil menyelamatkan Lu Chan dan Yu Niang dengan “sayap langit” yang dibuatnya.
Dari gambaran tersebut, penulis berasumsi bahwa akan muncul sikap dan respon yang sama jika tantangan modernitas tersebut dibawa ke dalam kajian al-Qur’an. Modernitas yang penulis maksud di sini ialah membawa teori-teori modern dalam proses memahami al-Qur’an.
Sebagian muslim ada yang masih belum bisa menerima modernitas tersebut dengan alasan khawatir akan merusak sistem normativitas dan ke’sakral’an al-Qur’an atau alasan lainnya, sehingga mereka lebih memilih bertahan pada tradisi pemahaman ulama klasik.
Namun, tidak sedikit juga umat muslim yang sadar akan modernitas dan merasa perlu memahami al-Qur’an dengan konteks modern saat ini.
Di sini tentu penulis tidak akan menjawab pertanyaan manakah sikap yang paling ideal dalam menghadapi tantangan modernitas. Penulis hanya mencoba menggambarkan bagaimana tantangan modernitas tersebut turut mempengaruhi pemahaman al-Qur’an.
Hingga akhirnya, persoalan-persoalan modern inilah yang meniscayakan adanya perubahan pola pikir (shifting paradigm). Salah satu contoh mungkin kita bisa melihat tafsir-tafsir klasik ketika memahami ayat-ayat kealaman (kauniyah).
Penafsiran tentang kilat dan petir misalnya (QS. Al-Baqarah: 19-20), di mana beberapa ulama klasik menafsirkan kilat dan petir sebagai cambuk malaikat. Bagaimana mungkin penafsiran seperti ini dapat diterima oleh masyarakat modern yang telah dipenuhi dengan rasionalitas dan teknologi yang kian canggih.
Perkembangan sains dan teknologi tentu menuntut ayat-ayat seperti ini agar dijelaskan dengan penjelasan yang lebih rasional, dan jika perlu dibuktikan dengan pembuktian yang ilmiah.
Belum lagi ketika lahirnya sistem negara bangsa semenjak pasca perang dunia. Di mana semenjak itu, umat muslim wajib mematuhi peraturan yang telah ditetapkan negaranya.
Kita ambil contoh dalam kasus Indonesia sendiri, bagi pencuri (baik laki-laki maupun perempuan) akan diberi hukuman penjara, sementara dalam tradisi Islam yang tertera dalam nash al-Qur’an, hukuman bagi pencuri ialah potong tangan (QS. Al-Maidah: 38).
Di sini terjadi perbenturan antara tradisi dan modernitas, dan dampaknya tentu akan menimbulkan keresahan umat Islam dan kebingungan akan peraturan mana yang sekiranya lebih layak untuk mereka patuhi.
Begitupun persoalan-persoalan manusia modern yang semakin kompleks yang ditandai dengan munculnya fenomena-fenomena baru yang tidak pernah dijumpai sebelumnya.
Sebut saja fenomena bayi tabung, kloning, bank ASI, bank sperma, operasi plastik dan berbagai fenomena lainnya. Kasus-kasus seperti ini juga tentu tidak mungkin dihindari, melainkan perlu dicarikan jawabannya melalui pemahaman al-Qur’an.
Sedikit gambaran di atas mungkin dapat menjawab pertanyaan apakah tradisi pemahaman al-Qur’an klasik mampu merespon tantangan-tantangan modernitas tersebut?
Jika boleh diilustrasikan kembali dengan film Tai Chi di atas, akan terjawab pertanyaan yang serupa apakah tradisi Kungfu Chen mampu melawan dan mengalahkan alat persenjataan teknologi seperti bom, mesin tembak (troy), hingga bomerang yang dibawa oleh Fang Zi Jing?
Nyatanya tidak mampu. Dalam akhir film tersebut, Guru Besar Chen, Yang Lu Chan dan Yu Niang hampir dikalahkan oleh teknologi Fang Zi Jing.
Hanya saja, ketika Fang Zi Jing hendak menembakkan senjatanya ke arah Yang Lu Chan, tiba-tiba datanglah Kakak Pertama yang terbang dengan “sayap langit”nya dan langsung menjatuhkan bom dari atas, sehingga memusnahkan Fang Zi Jing dan pasukannya.
Dari kejadian inilah, Guru Besar Chen dengan jelas mendeklarasikan kehebatan teknologi modern yang terekam dalam kata-kata yang diucapakannya kepada Kakak Pertama, “Sebenarnya engkau lebih hebat daripada aku”. Maksudnya, senjata teknologi yang dibawa Kakak Pertama lebih hebat dari kekuatan Kungfu Guru Besar Chen.
Jika ditarik kembali ke dalam konteks al-Qur’an, menurut hemat penulis, dari kejadian ini kita dapat menentukan sikap ideal dalam merespon modernitas tersebut. Bahwasannya modernitas pada dasarnya akan selalu menghiasi kehidupan manusia dan tidak menutup kemungkinan akan selalu berkembang dan kompleks.
Maka dari itu, dalam memahami al-Qur’an tentu kita perlu menggunakan pendekatan dan teori-teori modern agar memperoleh jawaban yang relevan. Namun, di samping itu, kita juga tidak bisa meninggalkan tradisi-tradisi yang telah digagas oleh ulama klasik, terlebih jika tradisi tersebut baik dan masih bisa dipertahankan.
Kita perlu mempertahankan tradisi-tradisi klasik yang baik, karena pada dasarnya modernitas tidak akan selalu menunjukkan kesempurnaannya. Inilah yang dikenal dengan konsep Al-Muḥāfazah ‘Alāal-Qadīm as-ṣalih wa al-Akhẓu bi al-Jadīd al-Aṣlaḥ, merawat tradisi yang baik dan menerima pembaharuan yang lebih baik.
Sehingga dengan sikap seperti ini, kita dapat merasakan al-Qur’an sebagai kitab suci yang akan selalu relevan dengan tempat dan waktu (ṣāliḥ likulli zamān wa makān).
Refleksi ini disarikan dari diskusi Mata Kuliah Pemikiran Tafsir Kontemporer di kelas Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Semester 6 bersama Ibu Lien Iffah Naf’atu Fina, M.Hum.
One Comment