Islam merupakan agama dengan penganut terbesar di Indonesia. Meskipun mayoritas, Islam di Indonesia mempunyai lapisan-lapisan tersendiri sehingga adanya pengotakan: mayoritas dan minoritas.
Hal itu muncul karena adanya perbedaan pemahaman dari beberapa kelompok Islam itu sendiri. Mayoritas Islam Indonesia berorientasi pada golongan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Kelompok mayoritas tersebut menguasai setengah populasi dari Muslim Indonesia.
Sedangkan setengah populasi lainnya hanya menjadi golongan minoritas yang terpecah-pecah dalam kelompok kecil, seperti golongan Syiah, Islam Wetu Telu di Lombok dan Ahmadiyah.
Tulisan ini akan mencoba mengangkat tentang kelompok minoritas Ahmadiyah, yaitu Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yogyakarta.
Berbicara tentang Ahmadiyah nampaknya masih menjadi hal yang sensitif bagi sebagian besar masyarakat Indonesia karena golongan ini merupakan minoritas dan dianggap sesat pula. Hal ini terlihat ketika saya memposting status di whattapps dengan caption “Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Love For All Hatred For None”, ketika itu saudara saya melihat postingan tersebut dan langsung melapor ke orang tua saya. Setelah itu saya mendapatkan kiriman SMS dari orang tua tentang Ahmadiyah tadi.
Ahmadiyah yang dipahami memang hanya lewat informasi dari mulut ke mulut (orality) yang menganggap bahwa Ahmadiyah itu mempunyai nabi dan kitab suci yang berbeda dari Islam sehingga Ahmadiyah dianggap sesat dan telah menyeleweng dari ajaran hakiki oleh kelompok mayoritas. Namun benarkah demikian adanya Ahmadiyah itu?
Kantor sekretariat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yogyakarta berada di Taman Pustaka Arif Rahman Hakim. Menarik untuk dicermati, adanya stereotip sesat terhadap Ahmadiyah menjadikan mereka tidak berani secara terang-terangan membeberkan identitasnya di ruang publik.
Hal ini terlihat dari nama kantor sekretariat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yogyakarta yang tidak secara eksplisit memampangkan atribut Ahmadiyah, melainkan dengan nama Taman Pustaka Arif Rahman Hakim yang merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh di Ahmadiyah.
Begitu pula dengan kantor pusat Ahmadiyah di Indonesia yang berada di Parung Bogor tidak menggunakan nama Ahmadiyah melainkan dengan nama Kampus Mubarak. Stereotip buruk itu membuat orang Ahmadi harus menyembunyikan identitasnya supaya dapat diterima di kalangan umum.
Berbeda dengan golongan yang sering dianggap golongan konservatif dengan pakaian jubah putih dan peci putih atau bersurban dan sering mengumandangkan takbir atas nama jihad fi sabilillah. Golongan Ahmadiyah hanya berpakaian biasa, ada yang berpeci hitam dan peci taliban, baju kemeja, baju muslim koko dan baju kemeja batik.
Meskipun sering dianggap sesat oleh kalangan umum maupun pemerintah golongan Ahmadiyah masih menghargai produk dalam negeri, ini terlihat dari peci hitam dan pakaian batik yang merupakan pakaian khas Indonesia.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yogyakarta memiliki kesadaran terhadap negara yang menjadi tempat domisili, yaitu Indonesia. Hal ini terlihat di dalam kantor sekretariat Ahmadiyah juga terdapat foto atau gambar presiden dan wakil presiden Indonesia.
Mengikuti logika rekognisi Axel Honneth yang menyatakan bahwa tahap pertama dari rekognisi yaitu kepercayaan diri (self-confidence) atau dalam bahasa Hegel menggunakan istilah kesadaran diri (self –awareness), yaitu prakondisi dari aktualisasi diri. Sebagaimana Ahmadiyah yang telah memiliki sikap tersebut yang tercermin dari kesadaran mereka akan cinta terhadap negara tempat tinggal mereka.
Tak hanya kesadaran diri yang dimiliki oleh Ahmadiyah, mereka pun memiliki semangat perjuangan untuk mendapatkan pengakuan (struggle for recognition). Semangat itu terlihat dari pakaian batik, peci hitam dan pemasangan gambar presiden dan wakil presiden di kantor mereka.
Lebih dari itu, mereka mempunyai banyak sekali kegiatan kemanusiaan, tidak hanya dikhususkan bagi jemaat belaka. Kegiatan tersebut meliputi donor darah, donor mata, clean the city, dan lainnya. Bahkan untuk donor mata, jemaat Ahmadiyah mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai calon pendonor mata terbanyak se-Indonesia.
Adanya kesadaran diri (self–awareness) dan perjuangan mendapatkan pengakuan (struggle for recognition) yang dilakukan oleh jemaat Ahmadiyah hanya bertepuk sebelah tangan tanpa adanya respons positif dari masyarakat umum maupun dari pemerintah. Tidak adanya pengakuan terhadap jemaat Ahmadiyah membuat relasi dari teori rekognisi ini terputus karena seharusnya adanya pengakuan timbal balik dari pihak yang diperjuangkan tersebut.
Relasi yang gagal tersebut malah menimbulkan disrespect, yaitu adanya penyangkalan terhadap hak dan ekslusi sosial sehingga minoritas merasa terlanggar martabatnya dengan tidak diberikan hak-hak moral terhadap minoritas tersebut.
Hal ini pula yang mengakibatkan adanya luka moral (moral injury) bagi jemaat Ahmadiyah karena perjuangan untuk mendapatkan pengakuannya tidak diakui oleh golongan mayoritas. Bahkan ketika diketahui yang melakukan suatu acara adalah jemaat Ahmadiyah, maka mayoritas cenderung menolak meskipun yang dilakukan sebuah hal yang baik.
Seperti halnya ketika jemaat Ahmadiyah akan melakukan clean the city di Jakarta karena pada saat itu akan berlangsung kegiatan Asian Games. Jemaat Ahmadiyah mencoba untuk membantu kegiatan tersebut, namun naas ketika diketahui mereka dari jemaat Ahmadiyah, panitia itu malah menolak tawaran bantuan tersebut.
Ketimpangan relasi mayoritas dan minoritas di Indonesia masih terjadi sampai sekarang. Adanya superioritas bagi golongan mayoritas menjadi mereka seolah berhak sewenang-wenang melakukan apa pun termasuk tindakan diskriminatif yang merugikan golongan minoritas.
Begitu pula yang dirasakan oleh jemaat Ahmadiyah, karena mereka merupakan golongan minoritas maka keberadaan mereka seolah tak perah mendapatkan pengakuan di ruang publik, bahkan mereka malah memilih menyembunyikan identitas supaya dapat berinteraksi semestinya dengan golongan mayoritas tanpa ada perasaan terancam.
0 Comments