Dunia Kata: Wajah Baru Kebebasan Perempuan

Dunia kata yang dalam setiap alur cerpen itu menjadi milik perempuan seutuhnya. Sosok perempuan seutuhnya yang mewujud sebagai makhluk hidup yang paripurna di dunia.5 min


5
5 points
Kartun Kebebasan Perempuan
Ilustrasi: Kebebasan Perempuan (Kredit: designani.com |Drawing — Nani Puspasari)

Hampir mendekati genap setahun saya berhasil menunda kehendak untuk mereview hasil pembacaan atas sebuah buku. Tepat pada bulan Agustus dua ribu sembilan belas, saya telah khatam membaca buku tersebut. Buku itu berjudul, Ayahmu Bulan, Engkau Matahari: Kumpulan Cerpen, yang merupakan anak produktivitas kesekian dari Lily Yulianti Farid, seorang jurnalis kawakan yang berpengalaman halang melintang di jagat peliputan dan penulisan.

Lily Yulianti Farid sendiri adalah seorang yang dikenal sebagai pecinta dunia kata yang gemar menulis cerita sejak bersekolah di putih biru, SMP. Hobi yang kemudian menjadikannya sebagai jurnalis terkemuka di harian Kompas, spesialis program Indonesia untuk Radio Jepang NHK (Tokyo) dan di Radio Australia ABC (Melbourne). Hobi ini pulalah yang mengantarkannya menjadi Alumnus penerima Australian Leadership Award pada program doktoral Universitas Melbourne di  bidang gender.

Perempuan kelahiran Makassar tersebut merupakan salah satu founder Rumata’ ArtSpace merangkap sebagai Direktur Makassar Internasional Writers Festival (MIWF), yang merupakan salah satu program unggulan dari rumah budaya yang berlokasi di Makassar tersebut.

Komunitas ini semacam grup yang mewadahi para pecinta dunia literasi, yang kemudian memiliki suatu program untuk memfestivalkan hasil buah tangan mereka. Dalam waktu yang bersamaan, mereka sekaligus berusaha menebarkan virus-virus budaya membaca dan menulis pada khalayak ramai.

Ketertarikan beliau pada bidang gender dan spirit menyeruakkan virus-virus berliterasi itulah yang kemudian melenggang wujud sebagai nutrisi-hasil pemikiran- yang disisipkan dalam cerpen, buah tangannya kali ini.

Bukunya yang berjudul Ayahmu Bulan, Engkau Matahari: Kumpulan Cerpen ini memiliki tebal lebih dari 250an halaman yang memuat tujuh belas cerpen. Ketujuh belas cerpen tersebut oleh Lily Yulianti Farid ditulis di beberapa tempat persinggahan tugas kerjanya. Ada cerpen yang ditulis di Tokyo, di Australia, di Beijing dan ada pula yang ditulis pada saat beliau di Jakarta.

Dari sini, beliau seakan-akan sedang mencambuk dan menghardik khalayak pembaca (red; khususnya saya) yang kerap kali menunda-nunda untuk menulis.

Menunda-nunda untuk menulis sendiri, berarti jalan mulus untuk melupakan kehendak menuangkan endapan ide dengan sengaja. Membiarkan berbagai jenis ide potensial yang mahal-karena jarang- bebas berhilir-mudik melintas di kepala tanpa merekam dan mengabadikannya.

Pesan tersurat penulis di sana hanya satu: di mana pun, kapanpun pun sedang apa, kalau ada ide brilian yang melintas di kepala, tulislah. Ikatlah gagasan itu dengan goresan penamu sesegera mungkin.

Baca juga: Menulis Untuk Keabadian

Bila dianalogikan, di kala membaca buku itu pula, seakan-akan penulis sedang berkoar-koar di atas podium sembari menandaskan seruan, “Tulis! Tulis! Tulis!” kepada khalayak pembaca. Seruan instruktif-persuasif yang saling bersahutan dengan firman-Nya yang di-sharih-kan malaikat Jibril kepada baginda agung, Nabi Muhammad Saw. Iqra’! Iqra’! Iqra’!

Kepekaan terhadap ide yang tercurah, kehendak kuat membaca realitas sosial dan tekad untuk berbagi kisah, adalah modal mendasar yang dimanfaatkan dengan baik oleh penulis.

Hal demikian dibuktikan dengan kebanyakan alur dan latar belakang cerita yang disodorkan tidak lepas dari kontekstulitas gejolak sosial, masyarakat, politik, kebudayaan, ekonomi dan serba-serbi yang menampakkan diri pada common sense dan keterbukaan dirinya -kepekaan diri- terhadap lingkungan sekitar.

Hal itu, tidak lain tertanam kuat dalam-dalam secara otomatis dari hobinya sebagai jurnalis yang kerap kali meliput suatu persoalan di lapangan.

Tidak percaya? Mari kita buktikan.

Dari tujuh belas judul cerpen yang ditawarkan, saya dibuatnya tercengang. Bagaimana tidak, semua alur cerita, tokoh utama yang berbeda dan cara menuang gagasannya berakhir pada satu simpulan yang sama: penulis hendak mengeja kembali sosok perempuan dalam semua aspek kehidupan yang telah carut-marut dan menggila di dunia nyata.

Bahkan, jika ditelisik lebih mendalam, semua tokoh utama dalam tujuh belas cerpen itu diperankan oleh sosok perempuan. Sementara keberadaan laki-laki dalam alur kisah sangat mengenaskan, melulu dinegasikan. Itu pun perannya sebagai premis minor. Selebihnya babakan peran yang panjang kali lebar dikuasai perempuan, premis mayor.

Dalam konteks penuangan alur kisah dalam setiap cerpen ini adalah wujud keterbalikan dari dunia nyata yang berjenis kelamin patriarkal.

Baca juga: Lelaki itu Tidak Sama dengan Perempuan

Nampaknya, penulis dengan sengaja hendak mendefinisikan kembali ruang gerak -pembagian ruang kerja- sekaligus menetralkan kembali interpretasi atas perempuan dalam dunia yang bebas. Dunia yang tak melulu harus memuja dan menjadi milik seorang lelaki. Melainkan, dunia kata yang dalam setiap alur cerpen itu menjadi milik perempuan seutuhnya. Sosok perempuan seutuhnya yang mewujud sebagai makhluk hidup yang paripurna di dunia.

Pendeskripsian itu tersematkan sempurna dalam  karakter setiap tokoh utama yang dimainkan perempuan.

Seperti halnya tokoh; Jannah (perempuan dari surga); Rie yang sangat setia dan jujur; Maryana tukang mie pangsit ayam yang mandiri, teguh dan tegas dalam mengambil keputusan; Sora perempuan cerdas, imajinatif dan penuh kasih sayang; Marraya perempuan pintar dan penuh perihatin atas kehidupan yang tak ada dua; Nayu gadis cantik yang suka akan kesederhanaan. Dan lain sebagainya.

Sementara pendeskripsian peran yang dimainkan laki-laki selalu diposisikan berkebalikan dari perempuan. Ayah Jannah misalnya; yang matinya dalam ketidakpastian. Kisah yang berjudul “Ruang Keluarga”, menempatkan sang ayah dalam kenistaan sebagai koruptor.

Juga tokoh lelaki lainnya: Rei, si lemah yang tak pernah memiliki komitmen dan keberanian yang tinggi dalam mengambil keputusan. Atau, si Akoh, lelaki bejat tukang selingkuh. Begitu juga para tentara Israel yang setiap detik membunuh perempuan hamil di perbatasan.

Sampai di sana, saya pikir penulis telah berhasil membawa pembaca pada pola pikir yang baru dalam menginterpretasikan sosok perempuan dan laki-laki. Berazaskan kepingan pengalaman analisis di lapangan, beliau berani mendobrak bangunan tinggi kebudayaan patriarki yang telah mengerak di setiap kepala khalayak umat manusia.

Dalam konteks ini pula, saya rasa ada benarnya perkataan Lao Tse, “jagalah pikiranmu, karena pikiran akan menjadi kata-kata. Jagalah kata-katamu, karena kata-kata tersebut akan menjadi tindakan. Jagalah tindakanmu, karena tindakan tersebut akan menjadi kebiasaan. Jagalah kebiasaanmu, karena kebiasaan tersebut akan menjadi karakter. Jagalah karaktermu, karena karakter tersebut akan menjadi takdirmu”.

Tidak hanya sampai di situ, lebih jauh, saya juga melihat, usaha penulis dalam meracik masing-masing alur kisah itu tidak semata-mata bersumber dari imajinasi dan pengalaman pribadi, melainkan bertumpu pula pada lembaran wawasannya yang luas akan feminisme.

Bagaimanapun penjabaran dari setiap cerpennya melintasi tantangan dan solusi yang ditawarkan oleh masing-masing aliran feminisme. Mulai dari aliran liberal, radikal, postmodern, anarkis, marxis, sosialis, postkolonial hingga nordik.

Tahukah anda perbedaan seks dan gender? Masihkah menganggap semua femnisme itu sama?
Baca: Menakar Gender dan Feminisme

Sodoran kisah dalam peran Marraya misalnya. Sesosok perempuan ideal; pintar dan penuh perihatin atas kehidupannya itu, saya pikir adalah representasi sempurna perempuan yang dicita-citakan ala gelombang feminisme liberal.

Feminisme liberal sendiri memiliki semangat penyetaraan hak dalam mengarungi dunia pendidikan, salah satu aspek yang dipandang ampuh dalam memberdayakan posisi perempuan di ruang publik.

Setidaknya modal wawasan dan ilmu pengetahuan mampu memberi peluang yang besar bagi perempuan untuk berkecimpung di ranah publik. Tidak hanya mengambil posisi strategis di ruang publik, namun juga memiliki kemampuan dalam memainkan peran, tugas dan tanggungjawab dalam urusan pekerjaan.

Begitu halnya dengan tokoh Maryana, si  tukang mie pangsit ayam yang mandiri, teguh dan tegas dalam mengambil keputusan.

Di permulaan kisah, ia diposisikan sebagai istri dari si Akoh, penjual mie ayam yang memiliki penghasilan melonjak tajam dari hari ke hari. Namun karena si Akoh ketangkap basah selingkuh dengan pelayan di warung miliknya itu, Maryana memilih untuk bercerai dengan suami bejatnya itu.

Dari sinilah awal mula peran perempuan yang dicitrakan gelombang feminisme marxis dimulai. Maryana yang mulanya hanya pelengkap usaha sang suami, (sebutkan saja di kala itu dia sebagai ‘budak’ proletar), kini Maryana bertransformasi diri sebagai kaum borjuis selaku pemilik modal dan bos secara langsung. Hal itu dibuktikan dengan warung mie ayam pangsit baru miliknya yang kian meroket. Bahkan omsetnya berlipat-lipat dari keuntungan tatkala dia menjadi isteri dari si Akoh.

Tak ayal, feminisme marxis memang tergila-gila dengan konsepsi perempuan ideal yang mampu menguasai tatanan kelas ekonomi. Semangat menjungkirbalikkan tatanan ekonomi yang berjenis kelamin patriarki adalah tugas utama yang melulu dielu-elukan.

Dengan proses panjang itu, setidaknya kaum perempuan mampu eksis di bidang ekonomi. Entah itu dalam urusan pengelolaan, memanajemen, menjadi bos bahkan menjadi investor utama sekalipun.

Ah sialan, pada akhirnya hasil pembacaan atas buku itu mengingatkan saya kembali pada masa-masa di mana mengkaji teori feminisme di lokal yang telah uzur. Dan Rosmarie Tong sebagai tokoh kunci yang telah membukakan daun pintu masuk menuju kesadaran baru saya sebagai lelaki. []

Data Buku

Judul: Ayahmu Bulan, Engkau Matahari (Kumpulan Cerpen)
Pengarang: Lily Yulianti Farid
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
CetakanPertama: Juli 2012
Jumlah Halaman: 255 halaman
ISBN: 978-979-22-8708-0
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya  di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

5
5 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
3
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
2
Terkejut
Roni Ramlan, M.Ag
Tim Redaksi Artikula.id

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals